"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

Showing posts sorted by date for query label:Computer OR label:Tips OR label:Gadget OR label:MS.Excel OR label:Internet. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query label:Computer OR label:Tips OR label:Gadget OR label:MS.Excel OR label:Internet. Sort by relevance Show all posts

2025/10/09

Matinya Kepakaran di Era AI?

 

Matinya Kepakaran di Era AI: Ketika Semua Orang Bisa Jadi “Ahli”

Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh sebuah poster acara dari Universitas Sebelas Maret (UNS).
Dalam acara Sebelas Maret Islamic Festival 2025, panitia menghadirkan Guru Gembul sebagai pembicara utama.
Ya, bukan profesor sejarah Islam, bukan dosen filsafat, tapi seorang kreator konten edukatif yang populer di YouTube dan TikTok.

Bagi sebagian orang, ini hal biasa — bahkan keren, karena menunjukkan bahwa dunia pendidikan mulai “melek zaman.”
Namun bagi sebagian lain, ini adalah tanda tanya besar:
Apakah ini pertanda matinya kepakaran?
Apakah generasi sekarang kehilangan respek terhadap para ahli yang puluhan tahun menekuni bidangnya?


Dari Kampus ke Konten: Pergeseran Otoritas Ilmu

Kita hidup di masa ketika otoritas ilmu berpindah tangan.
Dulu, ruang kuliah dan jurnal ilmiah adalah sumber utama pengetahuan.
Sekarang, TikTok dan YouTube menjadi ruang belajar baru bagi jutaan orang.

Para akademisi sering berbicara dengan bahasa jurnal, penuh istilah asing, dan minim konteks sosial.
Sementara kreator seperti Guru Gembul justru mengubah sejarah, filsafat, dan agama menjadi cerita yang hidup.

Ia tidak menulis di jurnal, tapi di hati audiensnya.
Dan di dunia yang dikendalikan algoritma, engagement sering lebih kuat daripada gelar akademik.

Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi pergeseran budaya:
dari otoritas ke aksesibilitas, dari siapa yang tahu ke siapa yang bisa menjelaskan.

AI dan Kematian Proses Belajar

Kemudian datanglah era baru: Artificial Intelligence (AI).
Dengan ChatGPT, Claude, Gemini, dan lainnya, semua orang bisa menjadi “pakar instan.”
Cukup ketik satu prompt, dan dalam hitungan detik kamu bisa punya esai sekelas mahasiswa S2.

AI membuat pengetahuan terasa mudah, tapi justru karena itulah, proses belajar kehilangan makna.

AI bukan guru sejati. Ia hanya mesin prediksi kata.
Ia tahu banyak, tapi tidak memahami.
Ia bisa menjawab semua hal, tapi tak bisa mempertanggungjawabkan satu pun.

Jika manusia terlalu bergantung padanya, maka yang mati bukan kepakaran,
tapi etos intelektual , yang merupakan semangat untuk belajar, meneliti, dan berpikir kritis.

Kreator vs Akademisi: Pertarungan atau Kolaborasi?

Fenomena seperti Guru Gembul tidak seharusnya dianggap ancaman bagi dunia akademik.
Ia adalah cermin bahwa kampus perlu belajar berbicara dalam bahasa masyarakat.

Kreator punya kemampuan menjangkau; akademisi punya kedalaman berpikir.
Kalau keduanya bersatu, kita akan memiliki ilmu yang mencerahkan sekaligus memasyarakat.

Sayangnya, banyak kampus masih sibuk dengan seminar formal dan jurnal yang hanya dibaca segelintir orang.
Sementara masyarakat sudah bergerak ke arah pengetahuan cepat, visual, dan emosional.
Di sinilah “kematian kepakaran” terjadi. Sebenarnya itu terjadi bukan karena AI, tapi karena pakarnya berhenti berbicara kepada umat. Tepatnya, berhenti berbicara dengan bahasa yang lebih diminati umat.

Apa Sikap Terbaik Kita di Era AI?

  1. Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti berpikir.
    Ia bisa menulis untukmu, tapi tidak bisa menggantikan pemahamanmu.

  2. Bangun jembatan antara akademisi dan publik.
    Akademisi perlu belajar berkomunikasi seperti kreator; kreator perlu berakar pada riset akademik.

  3. Rawat rasa ingin tahu.
    Jangan puas dengan jawaban cepat. Belajar sejati adalah proses, bukan hasil instan.

Penutup: Yang Mati Bukan Pakar, Tapi Etos Belajar

“Matinya kepakaran” bukan karena munculnya AI atau populernya Guru Gembul.
Kepakaran mati karena manusia berhenti menghargai proses belajar yang panjang —
karena kita lebih tertarik pada yang viral daripada yang valid.

AI hanyalah cermin zaman.
Ia memperlihatkan siapa yang sungguh ingin belajar,
dan siapa yang hanya ingin tampak pintar.


Penting!
Di masa depan, kepakaran mungkin tidak lagi ditentukan oleh gelar atau algoritma,
melainkan oleh kejujuran intelektual: siapa yang tetap mau belajar, meski tidak sedang viral.


2025/10/03

Asal-usul Istilah Artificial Intelligence

*photo is generated by Gemini AI

Ketika hari ini kita bicara tentang Artificial Intelligence (AI), seringkali pikiran kita langsung melayang ke mesin pencari pintar, robot, atau bahkan ChatGPT. Namun, tahukah Anda kapan istilah ini pertama kali lahir?

Jawabannya: tahun 1956, di sebuah konferensi musim panas yang sederhana namun bersejarah di Dartmouth College, Amerika Serikat.

Siapa yang Mencetuskan?

Nama John McCarthy tercatat sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan frasa Artificial Intelligence. Ia seorang profesor matematika dan ilmu komputer, yang kala itu percaya bahwa kecerdasan manusia bisa ditiru oleh mesin jika dipahami secara sistematis.

Konteksnya

McCarthy bersama tiga rekannya – Marvin Minsky, Claude Shannon, dan Nathaniel Rochester – menyusun proposal untuk sebuah pertemuan riset. Proposal itu diberi judul:

“Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence.”

Di sanalah istilah Artificial Intelligence muncul untuk pertama kalinya. Dalam dokumen itu, McCarthy menulis sebuah visi:

"Setiap aspek pembelajaran atau kecerdasan dapat dijelaskan dengan begitu tepat, sehingga sebuah mesin dapat dibuat untuk menirunya."

Sebuah kalimat sederhana, tapi isinya revolusioner.

Dampak Sejarahnya

Meski konferensi Dartmouth tidak langsung menghasilkan terobosan besar, istilah Artificial Intelligence menjadi pondasi baru dalam dunia sains komputer. Dari sinilah, berbagai penelitian lahir: mulai dari sistem pakar di era 1970-an, gelombang machine learning di 1980–1990-an, hingga ledakan deep learning di abad ke-21.

Refleksi

Menariknya, istilah Artificial Intelligence bukan lahir dari percakapan publik atau media, melainkan dari imajinasi akademis sekelompok ilmuwan yang berani bermimpi. Mereka tidak hanya bertanya “bisakah mesin berpikir?”, tapi lebih jauh lagi: “bagaimana kita membuatnya berpikir?”

Dan kini, hampir tujuh dekade kemudian, mimpi itu sedang kita saksikan wujudnya di depan mata.

--
*from any source

2025/08/19

Sejarah Bluetooth: Dari Raja Bergigi Biru hingga Teknologi Tanpa Kabel

Pada abad ke-10, jauh sebelum ponsel pintar, laptop, dan smartwatch ada, Eropa Utara diwarnai pertikaian antar suku. Di wilayah yang kini dikenal sebagai Denmark, lahirlah seorang raja bernama Harald Gormsson. Ia memerintah Denmark (sekitar 958 M) dan kemudian menaklukkan sebagian Norwegia.

Harald punya julukan unik: “Bluetooth”, yang dalam bahasa Inggris berarti “gigi biru”. Sejarawan percaya julukan itu muncul karena satu giginya berwarna kebiruan atau gelap, entah akibat penyakit gigi atau kebiasaan makan tertentu. Namun, yang membuat namanya abadi bukanlah warna giginya, melainkan kemampuannya menyatukan suku-suku Skandinavia yang tadinya terpecah.

Harald juga dikenal membawa Kristen ke wilayahnya, memperkuat pertahanan, dan membangun infrastruktur yang menghubungkan berbagai daerah. Dalam satu kalimat sederhana: ia adalah pemersatu.


Dari Skandinavia ke Dunia Digital

Lompatan ke masa kini: akhir abad ke-20. Tahun 1994, di kota Lund, Swedia, perusahaan telekomunikasi Ericsson sedang mencari cara menghubungkan perangkat elektronik secara nirkabel jarak pendek.

Di bawah kepemimpinan Dr. Jaap Haartsen, tim peneliti Ericsson mengembangkan sistem komunikasi berbasis gelombang radio 2,4 GHz yang hemat energi. Tujuannya sederhana tapi revolusioner:

 • Menghilangkan kabel antara ponsel dan perangkat tambahan

 • Membuat berbagai merek dan jenis perangkat bisa “bicara” dengan bahasa yang sama

Teknologi ini kemudian mendapat dukungan dari raksasa teknologi lain; IBM, Intel, Nokia, dan Toshiba; yang pada 1998 membentuk Bluetooth Special Interest Group (SIG) untuk menjadikannya standar global.


Kenapa Namanya Bluetooth?

Di sinilah kisah Harald kembali hidup. Saat proyek ini masih dalam tahap pengembangan, Jim Kardach dari Intel (yang juga penggemar sejarah Nordik) mengusulkan nama “Bluetooth”. Alasannya:

“Seperti Raja Harald menyatukan Skandinavia, teknologi ini akan menyatukan berbagai perangkat komunikasi.”

Nama itu awalnya hanya dimaksudkan sebagai codename proyek. Namun, ketika para pendiri menyadari belum ada nama komersial yang lebih kuat, “Bluetooth” resmi dipakai.


Simbol Rahasia di Logo

Logo Bluetooth bukan sekadar ikon acak. Desainnya menggabungkan dua huruf rune Nordik:

 • ᚼ (H) untuk Harald

 • ᛒ (B) untuk Bluetooth

Keduanya disatukan, melambangkan persatuan yang menjadi roh dari teknologi ini.


Peluncuran dan Dampak

Teknologi Bluetooth resmi dipublikasikan tahun 1998. Tahun 1999, produk konsumen pertama dengan Bluetooth lahir: handsfree nirkabel untuk ponsel. Sejak itu, Bluetooth berkembang menjadi standar komunikasi global, dipakai di headset, speaker, komputer, kamera, mobil, hingga perangkat IoT.

Dari seorang raja bergigi biru yang mempersatukan bangsa, hingga sebuah teknologi yang mempersatukan perangkat di seluruh dunia. Kisah Bluetooth adalah bukti bahwa kadang, sejarah dan teknologi bisa bertaut dalam cara yang paling tak terduga.

#teknologi #fersus #jangkauansemuaorang #Bluetooth #skandinavia #kingharald #denmark #norway #sweden

2025/04/28

Skip Level Meeting: Mendengar Suara Garis Depan

Pernahkah Anda merasa bahwa meski laporan bulanan — mulai dari KPI, SLA, hingga grafik tren performa — sangat membantu, tetapi terkadang ada “sesuatu” yang masih hilang? Suatu gagasan segar, tantangan tersembunyi, atau semangat inovasi yang terpendam di lapisan terbawah organisasi. Di sinilah Skip Level Meeting memainkan peran kunci: menghubungkan leader langsung dengan barisan terdepan, melewati lapisan manajerial, untuk mendengar secara langsung kisah, tantangan, dan ide dari SPV, TL, hingga agent.

Apa itu Skip Level Meeting?

Secara sederhana, Skip Level Meeting adalah sesi tatap muka antara pemimpin senior (Head/VP) dengan anggota tim yang berada dua atau lebih level di bawahnya, tanpa hadirnya manajer langsung. Tujuannya bukan untuk “memeriksa” atau menggantikan fungsi manajer, tetapi untuk:

  1. Mendapatkan perspektif autentik – Data kuantitatif memberi gambaran umum, tetapi cerita dari lapangan mengungkap detail yang sering luput.

  2. Membangun kepercayaan – Tim merasa suara mereka dihargai ketika pemimpin puncak mau mendengar langsung.

  3. Mempercepat inovasi – Ide-ide cemerlang sering muncul di percakapan santai, bukan di rapat formal.

Mengapa Penting?

  1. Insight yang Tak Tertangkap Laporan
    Laporan operasional umumnya fokus pada angka-angka: call handle time, first contact resolution, hingga NPS. Namun, di balik angka itu, ada kendala teknis sederhana, kebijakan yang kurang fleksibel, atau bahkan pengalaman pelanggan yang penuh warna. Lewat Skip Level Meeting, kita menemukan cerita-cerita tersebut dan bisa segera menindaklanjutinya.

  2. Meningkatkan Engagement dan Rasa Dihargai
    Ketika frontline tahu bahwa pemimpin senior benar-benar peduli dengan pendapat mereka, motivasi dan kepuasan kerja meningkat. Rasa “saya penting bagi perusahaan” ini memacu semangat kolektif.

  3. Budaya Terbuka dan Kolaboratif
    Budaya organisasi dibangun dari kepercayaan dan komunikasi dua arah. Skip Level Meeting memecah sekat hierarki, menegaskan bahwa setiap ide punya ruang untuk didengar.

  4. Perbaikan dan Inovasi yang Lebih Cepat
    Bukan rahasia lagi, ide-ide kecil dari lapangan—seperti tweak alur kerja sederhana atau usulan pada script panggilan—bisa menghemat waktu, biaya, bahkan meningkatkan kepuasan pelanggan secara signifikan.


Tips Menyelenggarakan Skip Level Meeting yang Efektif

  • Jadwalkan Secara Rutin
    Buatlah jadwal berkala (misalnya triwulanan), sehingga tim tak perlu menunggu “kesempatan langka” untuk berbicara.

  • Buat Suasana Santai
    Pilih ruang yang nyaman atau bahkan forum virtual informal. Tujuannya: agar diskusi mengalir dan peserta merasa bebas berbicara.

  • Siapkan Pertanyaan Terbuka
    Hindari “Ya/Tidak question”. Misalnya: “Apa tantangan terbesar Anda minggu ini?” atau “Ide apa yang ingin Anda coba untuk meningkatkan layanan?”

  • Catat dan Tindaklanjuti
    Rekam poin-poin penting—tanpa membuat peserta merasa diawasi—lalu komunikasikan hasil tindak lanjutnya. Ini menunjukkan komitmen Anda.

  • Libatkan Manajer
    Meskipun manajer tak hadir saat sesi, mereka harus mendapatkan ringkasan hasil meeting dan dilibatkan dalam implementasi solusi.

Skip Level Meeting bukanlah “mode” manajemen sesaat. Ia adalah komitmen berkelanjutan untuk memastikan strategi dan kebijakan perusahaan selaras dengan realitas di lapangan. Dengan mendengar langsung dari garis depan, kita mendapatkan pijakan yang kokoh untuk melangkah maju — bersama.

“Suara dari barisan terdepan bukan hanya pantulan, tapi pijakan.”

Penulis sesaat setelah melakukan 'Skip Level Meeting' dengan supervisors dan leaders di office Semarang

Mari terapkan Skip Level Meeting di organisasi kita, dan saksikan bagaimana perspektif autentik dan kolaborasi terbuka mengantarkan kita pada inovasi dan keunggulan operasional yang berkelanjutan.

Artikel ini dipersembahkan untuk Anda yang percaya bahwa kepemimpinan sejati lahir dari mendengar.

2024/09/23

Pentingnya Digital Customer Care di Era Kompetisi Modern

Digital customer care atau layanan pelanggan digital menjadi semakin krusial dalam era kompetisi bisnis yang semakin dinamis. Transformasi digital telah mengubah cara bisnis berinteraksi dengan pelanggan, memungkinkan perusahaan untuk memberikan layanan lebih cepat, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan konsumen masa kini. Pelanggan modern tidak hanya menuntut produk berkualitas tinggi, tetapi juga pengalaman pelanggan yang mulus dan memuaskan. Oleh karena itu, digital customer care berperan penting dalam menciptakan pengalaman yang membuat pelanggan merasa dihargai dan diperhatikan, yang pada akhirnya meningkatkan loyalitas pelanggan. 

Salah satu keuntungan terbesar dari layanan pelanggan digital adalah ketersediaannya yang tanpa batas waktu. Di dunia yang terhubung secara global dan beroperasi 24/7, pelanggan mengharapkan akses ke layanan kapan saja mereka membutuhkannya, bahkan di luar jam kerja. Teknologi seperti chatbot dan platform media sosial memungkinkan perusahaan untuk merespons pertanyaan atau keluhan pelanggan secara instan, memberikan solusi yang cepat dan efisien. Ini membantu perusahaan dalam menjaga kepuasan pelanggan dan memberikan pengalaman yang konsisten, di mana pun dan kapan pun. 

Selain kecepatan, digital customer care juga memungkinkan bisnis untuk mempersonalisasi interaksi mereka dengan pelanggan. Dengan memanfaatkan data pelanggan yang dikumpulkan dari berbagai platform digital, perusahaan dapat memahami preferensi individu dan memberikan solusi yang lebih relevan. Personalisasi ini tidak hanya meningkatkan kepuasan pelanggan, tetapi juga menciptakan hubungan yang lebih erat antara pelanggan dan brand. Pelanggan yang merasa diperlakukan secara personal akan lebih cenderung tetap setia dan bahkan merekomendasikan bisnis kepada orang lain. 

Layanan pelanggan digital juga berperan dalam meningkatkan efisiensi operasional. Dengan adanya teknologi otomatisasi seperti AI, banyak tugas rutin dapat diselesaikan tanpa campur tangan manusia, mengurangi beban kerja tim layanan pelanggan. Hal ini memungkinkan bisnis untuk menangani volume permintaan yang lebih besar tanpa harus memperbesar tim mereka secara signifikan. Selain itu, solusi digital ini membantu mengurangi kesalahan manusia dan mempercepat waktu respons, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya operasional. 

Digital customer care juga memainkan peran penting dalam memperluas jangkauan pasar. Dengan adanya layanan berbasis digital, perusahaan tidak lagi terbatas pada batasan geografis dalam melayani pelanggan. Bisnis kecil dan menengah dapat menjangkau konsumen global dengan lebih mudah, berkat platform digital yang memungkinkan komunikasi lintas zona waktu dan bahasa. Hal ini memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk bersaing di pasar global tanpa memerlukan infrastruktur fisik yang besar. 

Reputasi perusahaan sangat bergantung pada seberapa baik mereka menangani interaksi dengan pelanggan. Dalam dunia digital, ulasan dan feedback pelanggan dapat tersebar dengan cepat melalui media sosial dan platform ulasan online. Oleh karena itu, digital customer care sangat penting dalam membangun dan mempertahankan reputasi yang baik. Respons yang cepat dan tepat terhadap keluhan atau masalah pelanggan dapat meminimalkan dampak negatif dan mendorong ulasan positif, yang pada akhirnya mempengaruhi keputusan calon pelanggan. 

Selain menjaga reputasi, layanan pelanggan digital juga menawarkan keunggulan dalam hal pengumpulan data. Setiap interaksi digital dengan pelanggan dapat diolah menjadi data berharga yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi pola, tren, dan kebutuhan pelanggan. Informasi ini kemudian dapat digunakan untuk mengoptimalkan strategi pemasaran, pengembangan produk, dan peningkatan layanan, sehingga bisnis bisa lebih responsif terhadap perubahan preferensi pelanggan. Dalam jangka panjang, ini memberikan perusahaan wawasan yang lebih mendalam untuk pengambilan keputusan yang lebih cerdas. 

Di tengah persaingan yang semakin ketat, digital customer care juga membantu bisnis tetap adaptif terhadap tren konsumen yang terus berubah. Teknologi digital memungkinkan perusahaan untuk memantau perilaku pelanggan secara real-time, sehingga mereka bisa dengan cepat menyesuaikan strategi untuk memenuhi ekspektasi yang berubah. Bisnis yang mampu merespons dengan cepat terhadap perubahan ini akan lebih unggul dalam persaingan dibandingkan dengan yang lambat beradaptasi. 

Keberadaan layanan pelanggan digital juga memberikan peluang untuk meningkatkan keterlibatan pelanggan. Melalui media sosial, email, dan platform obrolan langsung, perusahaan dapat membangun interaksi yang lebih aktif dengan pelanggan. Ini menciptakan hubungan yang lebih erat dan memperkuat loyalitas pelanggan terhadap brand. Keterlibatan yang kuat ini tidak hanya menghasilkan kepuasan pelanggan yang lebih tinggi, tetapi juga membuka peluang untuk penjualan berulang dan peningkatan rekomendasi dari mulut ke mulut. 

Secara keseluruhan, digital customer care menjadi komponen yang tidak dapat diabaikan dalam strategi bisnis modern. Di tengah persaingan yang semakin sengit, perusahaan yang mampu memberikan layanan pelanggan yang cepat, responsif, dan personal akan lebih unggul dalam menarik dan mempertahankan pelanggan. Digital customer care bukan lagi sekadar tambahan, tetapi menjadi elemen kunci dalam menciptakan pengalaman pelanggan yang optimal, meningkatkan loyalitas, dan mendukung pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan.
***

Artikel menarik lainnya:
Taksonomi Bloom: Enam Tingkat Berpikir
Perjalanan Web1 hingga Web3
5 Komponen Utama Digital Customer Care

2024/09/21

Transformasi Internet: Web1 hingga Web3

pict source: dumbways.id

Sejak kemunculannya, internet telah mengalami tiga fase utama yang dikenal sebagai Web1, Web2, dan Web3. Setiap fase membawa perubahan signifikan dalam cara kita mengakses, berinteraksi, dan memanfaatkan teknologi web. Berikut adalah evolusi teknologi web dari Web1 hingga Web3:

Web1: Era Statis (1990-an hingga awal 2000-an)

Web1, atau Web 1.0, adalah generasi pertama internet, ditandai dengan situs-situs web statis yang hanya bisa dibaca (read-only). Pada era ini, situs web berfungsi sebagai sumber informasi yang tidak memungkinkan interaksi pengguna. Pengguna bertindak sebagai konsumen pasif, hanya dapat mengakses informasi yang disediakan oleh pemilik situs, seperti halaman HTML sederhana tanpa adanya elemen dinamis atau interaktif.

Ciri khas Web1 meliputi:

  • Konten statis yang jarang diperbarui.
  • Minim interaksi antara pengguna dan situs web.
  • Hyperlink menjadi sarana utama navigasi.
  • Situs web yang bersifat pribadi atau korporat, seperti Geocities dan Yahoo! Directory.

Web1 lebih fokus pada penyampaian informasi secara satu arah, tanpa fitur seperti forum, komentar, atau personalisasi yang luas.

Web2: Era Interaktif dan Sosial (2000-an hingga sekarang)

Web2, atau Web 2.0, membawa perubahan besar dalam cara kita menggunakan internet. Fase ini dikenal sebagai internet read-write, di mana pengguna tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga bisa membuat dan berbagi konten. Web2 memungkinkan interaksi sosial yang intens melalui platform seperti blog, media sosial, dan wiki. Teknologi yang mendukung Web2, seperti JavaScript, AJAX, dan CSS, memungkinkan halaman web menjadi lebih dinamis dan interaktif.

Ciri utama Web2:

  • Munculnya media sosial seperti Facebook, Twitter, dan YouTube.
  • Konten yang dihasilkan pengguna (user-generated content), seperti blog dan video.
  • Interaksi langsung antara pengguna melalui platform berbasis komunitas.
  • Layanan cloud dan aplikasi web, seperti Google Docs dan Dropbox.
  • Ekonomi berbasis data, di mana perusahaan besar mengumpulkan, mengelola, dan memonetisasi data pengguna.

Web2 memberikan kemampuan kepada pengguna untuk berinteraksi, berkolaborasi, dan berbagi, tetapi juga menimbulkan masalah privasi dan sentralisasi data oleh perusahaan-perusahaan besar.

Web3: Era Desentralisasi (Masa Depan Internet)

Web3 adalah fase terbaru dari evolusi internet, yang sedang berkembang. Web3 berfokus pada desentralisasi, privasi, dan kepemilikan data pengguna melalui teknologi blockchain. Berbeda dengan Web2, di mana data dan aset digital dikelola oleh perusahaan besar, Web3 memungkinkan pengguna untuk memiliki kendali penuh atas data mereka dan mengelola aset digital tanpa perantara.

Ciri khas Web3 meliputi:

  • Desentralisasi: Jaringan blockchain menggantikan server terpusat, memberikan lebih banyak kekuasaan kepada pengguna.
  • Kepemilikan Aset Digital: Pengguna memiliki aset digital seperti cryptocurrency dan NFT (Non-Fungible Token) secara langsung.
  • Smart Contracts: Aplikasi dan transaksi otomatis yang dijalankan oleh kontrak pintar, tanpa perlu perantara.
  • Aplikasi Terdesentralisasi (dApps): Aplikasi yang berjalan di blockchain, memberi pengguna lebih banyak kontrol dan privasi.

Dengan Web3, internet tidak hanya tentang interaksi sosial dan konsumsi konten, tetapi juga tentang kepemilikan dan keterlibatan langsung dalam ekosistem digital.

Kesimpulan

Perjalanan dari Web1 yang statis, menuju Web2 yang interaktif dan terpusat, hingga Web3 yang desentralisasi dan berbasis blockchain, menunjukkan evolusi signifikan dalam cara manusia berkomunikasi dan berinteraksi secara digital. Setiap fase membawa tantangan dan peluang baru, dengan Web3 berpotensi menciptakan internet yang lebih transparan, terbuka, dan demokratis.

2024/08/11

Navigating the Intersection of Human Empowerment and AI Technology

I find it challenging to choose between the two; (a) human empowerment and (b) AI / Chatbot tech worshipper; as I believe both will continue to synergize and evolve together. Embracing human empowerment and advancing AI technology are not mutually exclusive; rather, they complement each other in shaping a future where technology enhances human potential and creativity.

In today’s rapidly evolving technological landscape, the debate between prioritizing human empowerment and indulging in the allure of AI and chatbot technologies has become increasingly prominent. On platforms like LinkedIn, where professionals debate the merits of these two sides, the conversation often boils down to whether we should focus on amplifying human capabilities or celebrating the capabilities of advanced technology.

The Case for Human Empowerment

Human empowerment revolves around the idea of enhancing our abilities, skills, and potential. It’s about ensuring that individuals have the tools, support, and opportunities to achieve their goals and contribute meaningfully to society. This perspective advocates for a world where people are at the center of technological advancements, with technology serving as a means to augment human capabilities rather than replace them.

Empowerment manifests in various ways, from educational initiatives that foster skill development to workplace environments that nurture creativity and collaboration. It also includes leveraging technology to support and amplify human efforts rather than overshadowing them. For instance, tools like project management software, communication platforms, and data analytics can significantly enhance productivity and innovation, provided they are used to support and empower the workforce.


The Allure of AI and Chatbot Technologies

On the other hand, the fascination with AI and chatbot technologies represents a forward-looking perspective that celebrates the potential of machines to perform tasks, solve problems, and even make decisions. This viewpoint often embraces the idea that AI can drive efficiencies, uncover new insights, and offer capabilities beyond human reach.

AI technologies, such as machine learning algorithms and natural language processing, have made significant strides in recent years. Chatbots, for instance, can handle customer service inquiries with increasing sophistication, providing instant support and freeing up human agents to tackle more complex issues. AI-driven analytics can sift through vast amounts of data to reveal trends and predictions that might otherwise remain hidden.


Finding the Synergy

Rather than viewing human empowerment and AI technology as opposing forces, it is more productive to recognize their potential for synergy. The future lies in harnessing the strengths of both to create an environment where technology enhances rather than diminishes human experience.

For example, consider how AI tools can assist in data-driven decision-making, allowing humans to focus on strategy and creative problem-solving. Chatbots can manage routine queries, giving customer service representatives more time to build relationships and address more nuanced concerns. In these scenarios, AI acts as a partner, not a replacement.

Similarly, human oversight is crucial in guiding the ethical development and deployment of AI technologies. As we integrate more AI into our daily lives, it is essential to ensure that these systems are designed with human values and needs in mind. Collaboration between technologists and human-centric stakeholders can help ensure that AI advancements align with broader societal goals.

Conclusion

In conclusion, the question of whether to prioritize human empowerment or AI technology need not be a binary choice. Instead, the real challenge—and opportunity—lies in finding ways for these elements to coexist and complement each other. By fostering a collaborative relationship between human ingenuity and technological innovation, we can unlock new possibilities and drive progress in a way that benefits both individuals and society as a whole.

As we navigate this dynamic intersection, let’s keep in mind that the ultimate goal is not to choose sides but to integrate and leverage the best of both worlds to create a brighter, more empowered future.

Note: This article is an example of how the synergy between human empowerment and AI truly helps us. :)
--

Artikel lainnya:
Memahami Customer Experience (CX) dan Customer Service (CS): Perbedaan dan Keterkaitannya

TTL; A Holistic Marketing Approach!

2023/04/11

Tutorial Cara Menghapus Like di Twitter dengan Mudah

Twitter adalah salah satu aplikasi sosial media yang sekarang ini banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Tidak hanya oleh generasi mudanya saja, tetapi juga menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan informasi terkait isu terkini yang terjadi di Indonesia dan luar negeri. Namun, sebagian pengguna biasanya merasa rishi dengan banyaknya like pada akun Twitter mereka. Lantas, bagaimana cara menghapus like di Twitter? Yuk, simak tutorial selengkapnya dalam artikel ini.

Tutorial Cara Menghapus Like di Twitter dengan Mudah
Dikutip dari laman Twitter Help Center, Twitter merupakan layanan bagi semua orang untuk menjalin komunikasi dan saling terhubung melalui pertukaran pesan yang cepat dan juga instan. Pada pengguna Twitter bisa memposting tweet yang beiri foto, video, teks, ataupun tautan dan nantinya akan otomatis terposting pada profil Anda.
Adapun tutorial cara menghapus like di Twitter dengan mudah yang bisa Anda ikuti adalah sebagai berikut.

1. Cara Menghapus Like di Twitter

  • Buka aplikasi Twitter yang ada di smartphone Anda. Selain itu, Anda juga bisa membuka Twitter melalui browser.
  • Kemudian, login menggunakan akun Twitter Anda.
  • Silahkan pergi ke halaman profil Twitter Anda.
  • JIka sudah berada di halaman profil, pilih tab menu Suka.
  • Nantinya Anda akan melihat semua tweet yang telah Anda Like.
  • Untuk unlike tweet tersebut, cukup tekan ikon love yang ada di bagian bawahnya.

2. Cara Menghapus Semua Like di Twitter Secara Otomatis

  • Untuk melakukan cara ini, Anda perlu membuka Twitter melalui browser di laptop atau PC.
  • Copy script unlike twitter massal di bawah ini

setInterval(() => {

for (const d of document.querySelectorAll('div[data-testid="unlike"]')) {

d.click()

}

window.scrollTo(0, document.body.scrollHeight)

}, 1000)

Kunjungi profil Twitter Anda dan masuk ke tab Suka.

  • Tekan CTRL+Shift+I atau tombol F12 untuk membuka inspect element.
  • Klik tab Console, kemudian Anda bisa langsung paste script yang sudah di copy tadi.
  • Terakhir, tekan Enter pada keyboard untuk memulai unlike.
Itu dia penjelasan tentang tutorial cara menghapus like di Twitter dengan mudah. Semoga bermanfaat.

(source:Klik Disini)

2019/07/22

Arti dan Kepanjangan TWITTER

Selamat siang sobat FerSus!

It has been long long time for me not updating this blog. Kangen juga. Setelah di 2018 gak ada satupun postingan, dan hingga pertengahan tahun ini juga masih kosong. Baru akhir Juni kemarin aja saya mulai update lagi. Itupun sharing tulisan aja dari sumber lain. Terlaaaaluu.

Well, kalo begitu saya mulai lagi deh commited to post at least 1 postingan satu bulan. Bismillah!

Kita mulai dengan tulisan ringan dulu aja ya.
Ini bisa official emang seperti itu, atau bisa juga kebetulan belaka. So kategorinya 'Not verified' sih. Ngomogin apa sih ini FerSus? Itu lho, judul tulisan ini: Arti dan Kepanjangan TWITTER.

Sobats pasti sudah gak asing dengan TWITTER dong. Microblogging buat nge-twit atau nge-'cuit' itu lho. Khasnya adalah jumlah karakter yang minim alias terbatas. Dulu kan benar-benar dibatasi ya karakternya. Cuman 140 karakater aja. Jadi untuk membuat sebuah cuitan, perlu pandai-pandai memadatkan idenya dalam sebuat kalimat super simple. Disitu letak tantangannya. Tapi kemudian pembatasan karakter ini diakhiri juga oleh pihak Twitternya. Tepatnya mulai September 2017 yang lalu, ciri khas 140 karakter itu mereka rubah menjadi 280 karakter. Keputusan ini sontak disambut riang gembira oleh para pengguna Twitter seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia yang penggunanya memang luar biasa banyaknya. But this short article ini bukan untuk bahas itu ko. :)

Back to the tittle!
Sesuai dengan namanya 'TWITTER', berasal dari kata TWIT (English) yang artinya dalam Bahasa Indonesia adalah berkicau. Kata berkicau memang identik dengan suara burung kan?  No wonder then pihak perusahaanya menggunakan 'burung' sebagai icon/logo perusahaan mereka. Twit artinya berkicau, maka 'Twitter' adalah subjeknya, pelakunya, yaitu orang yang berkicau tersebut. Berkicau disini diartikan sebagai ungkapan untuk menyampaikan ide-ide sederhana, singkat, to the point!

But, selain pengertian di atas FerSus pernah menemukan juga ada penjelasan lain. Tampak benar juga penjelasannya. Twitter itu ternyata ada kepanjangannya lho. Apa itu?
To.Write.I'm.Thinking.To.Everyone.Reading 
yang Dalam bahasa Indonesia kurang lebih bisa diartikan, "Menulis apa yang saya pikirkan untuk semua orang yang membacanya." Pas juga ya? Meski demikian, kalau kita cek di laman resmi mereka, tidak ada kok penjelasan begitu. Hehe.

Demikian. Tetap semangat! :)




   

2019/06/27

5 Cara Dapatkan Pekerjaan Tanpa Apply

Di saat banyak orang merasa kesulitan dalam mencari lapangan kerja, sebagian lainnya terlihat cepat dan mudah mendapatkan pekerjaan yang diinginkan tanpa perlu menyebarkan resume atau CV. Mungkin kamu pun bertanya-tanya, apa strategi mereka sehingga bisa beruntung mendapatkan pekerjaan tanpa ribet?
Tentunya ada beberapa trik yang jarang diketahui orang lain. Berikut ini beberapa trik yang bisa kamu tiru agar bisa mendapatkan kesempatan kerja tanpa kerja keras.

1. Buat profil LinkedIn lebih menarik

Di era digital ini, umumnya perekrut atau HRD akan menjadikan LinkedIn sebagai salah satu sarana dalam mencari kandidat. Oleh karena itu, cara dapat kesempatan kerja yang pertama adalah dengan mempercantik tampilan profil LinkedIn-mu.
Mulailah dengan membuat foto profilmu nampak profesional, lalu buat deskripsi singkat serta jelas mengenai dirimu, dan kemampuanmu pada bagian headline.
Hal ini dapat membantu perekrut dalam mengenali kemampuanmu tanpa harus menghabiskan banyak waktu membaca detail profilmu. Biasanya, jika perekrut tertarik, mereka akan langsung menghubungimu via pesan di LinkedIn.
Selain itu, jangan lupa untuk mencantumkan pencapaianmu selama bekerja, sertifikat, dan kontribusi lainnya baik di dalam perusahaan, maupun di luar perusahaan. Pastikan kamu terus memperbarui pencapaianmu di LinkedIn dapat memberikan nilai tambah untukmu.

2. Bergabunglah dengan komunitas atau grup profesional

Setelah memiliki akun LinkedIn, cobalah untuk bergabung ke dalam komunitas atau grup profesional. Kamu bisa memilih grup yang sesuai dengan bidang yang kamu minati. Misalnya, jika kamu seorang Software Engineer, kamu bisa bergabung dengan komunitas Software Engineer, dan sebagainya.
Selain dapat bertukar informasi dengan sesama anggota, baik informasi mengenai perkembangan bidang tersebut, maupun informasi lowongan pekerjaan, beberapa perekrut juga terkadang mencari kandidat di dalam komunitas ini. Dengan begini, kamu tidak perlu kerja keras untuk mendapat kesempatan kerja.
Jadi, tentu tidak ada salahnya untuk bergabung di komunitas bukan?

3. Perhatikan juga media sosial lainnya

Setelah menemukanmu di LinkedIn, beberapa perekrut mungkin akan melihat media sosialmu. Tujuannya adalah untuk mengira seperti apa karaktermu. Pasalnya, beberapa perekrut percaya bahwa media sosial dapat menjadi perwakilan diri seseorang. Oleh karena itu, perhatikan juga media sosialmu seperti Facebook, dan Instagram.
Mulailah merapikan feed Instagram, dan Facebook milikmu. Selain di LinkedIn, kamu juga bisa mencantumkan pencapaianmu di media sosial. Misalnya, jika kamu mendapatkan penghargaan sebagai karyawan teladan, atau kamu mendapatkan sertifikat untuk keahlian tertentu.

4. Bangun citra dirimu melalui konten

Selain dengan memastikan bahwa feed Instagram, Facebook, dan LinkedIn rapi, cobalah untuk lebih aktif dalam menyuarakan pemikiranmu. Kamu bisa membahas beberapa topik yang berhubungan dengan industri yang kamu minati, atau posisimu saat ini. Dengan begini, kamu akan membuat perekrut tertarik untuk menghubungi, dan bekerja sama denganmu.
Misalnya, jika kamu seorang Software Engineer, kamu mungkin dapat menuliskan pemikiranmu serta informasi terbaru yang berhubungan dengan perkembangan dunia industri ini.

5. Daftar kerja melalui talent marketplace

Selain melalui media sosial seperti Linkedin, situs talent marketplace saat ini juga menjadi alternatif dalam mendapatkan kesempatan kerja. Para talent yang mendaftar ke dalam situs ini akan mendapatkan kesempatan untuk direkrut oleh perusahaan berdasarkan kriteria.
Kelebihan daftar kerja melalui talent marketplace adalah kamu tidak perlu kirim CV ke sana-kemari lagi. Cukup mendaftarkan dirimu dengan menggunakan akun LinkedIn, lalu kamu akan dihubungi melalui email atau telepon untuk proses interview saat perusahaan yang tepat telah menemuimu.
Kamu juga tidak perlu khawatir mendapatkan tawaran kerja palsu, karena selayaknya marketplace, baik kandidat maupun perusahaan yang bergabung di situs ini sudah melalui proses verifikasi terlebih dahulu. 

Cara baru dapat kerja dengan EKRUT

Sebelum mendaftar ke situs talent marketplace, tentu kamu juga perlu memastikan bahwa situs tersebut terpercaya, bukan? Tak perlu bingung, EKRUT bisa menjadi pilihanmu. Kenapa? Karena selain terpercaya, beberapa perusahaan ternama juga telah bergabung dengan EKRUT.
Sebut saja Traveloka, JD.id, Home Credit Lemonilo, Jenius, IDN Media, Coca Cola, Toshiba, Kalbe Farma, Kopi Kenangan, Inspigo, dan beragam perusahaan besar lainnya sudah bergabung dengan EKRUT.
Dengan kemampuanmu serta melakukan beberapa langkah di atas, tentu tidak menutup kemungkinan kamu akan dapat kesempatan kerja dengan mudah, bukan? Yuk, mulai daftarkan dirimu di EKRUT dengan klik link di bawah ini.
Cari kerja jaman sekarang, enggak perlu kerja keras. #byebyeapply
Artikel asal diambil dari link INI.
*Image is from Here.