Indahnya sore itu mulai terasa sejak kami tiba di rumah Freeman. Undangan yang sempat membuatku ragu, kini menjelma menjadi pertemuan yang tak terduga. Rumah besar bergaya kolonial di pinggir kota tampak hidup, seakan menyimpan cerita-cerita lama di balik setiap sudutnya. Aku dan keluargaku disambut hangat oleh Freeman dan isterinya yang tersenyum ramah. Senyuman Freeman seolah mengisyaratkan bahwa hari ini bukan sekadar jamuan makan, tapi juga pertemuan yang akan membawa aku ke masa lalu yang tak pernah aku duga.
Sebelum melangkah masuk lebih dalam, aku
menoleh ke arah meja makan di luar. Di sana, seorang chef muslim asal Makassar
tengah sibuk mengolah ikan bakar khas bumbu Makassar yang aromanya menggoda.
Aku belum pernah menyangka akan merasakan kelezatan nusantara di tanah Amerika,
apalagi diundang oleh seorang mantan militer Amerika seperti Freeman untuk
menikmatinya. Chef itu sudah 15 tahun di Amerika, membangun reputasi dari
dapur-dapur kecil hingga terkenal sebagai penyaji hidangan eksotis dari Timur.
Menariknya, istri Freeman adalah orang Vietnam, jadi mereka sudah terbiasa
dengan berbagai hidangan Asia Tenggara, termasuk masakan bercita rasa Indonesia.
Langkah kami menuju ruang tamu membawa
kehangatan tersendiri. Foto-foto yang terpajang di dinding seakan menjadi
penjaga masa lalu Freeman. Salah satu yang menarik perhatianku adalah sebuah
foto tua. Freeman, tampak lebih muda dan berpenampilan militer, berdiri di
samping seorang pria kulit putih dengan pakaian yang sama. Yang mengejutkan
adalah tulisan samar di latar belakang foto itu: RM Rindu Alam. Aku
mengenali tempat itu, sebuah restoran legendaris di Puncak, Bogor. Di foto
tersebut, Freeman tampak menggendong seorang anak kecil, mungkin berusia tiga
tahun, dengan senyuman tipis yang penuh teka-teki.
Aku terdiam sesaat, merenungkan latar
belakang foto itu. Freeman, yang dulunya adalah prajurit militer, tampak begitu
dekat dengan sosok prajurit Amerika yang berdiri di sampingnya. Seolah foto itu
mengandung rahasia yang belum terkuak. Saat aku tengah larut dalam pikiran,
tiba-tiba sebuah tepukan di pundakku mengejutkanku. Freeman berdiri di
belakangku, tersenyum dengan sorot mata yang tenang. "Tertarik dengan foto
itu?" tanyanya, seolah sudah membaca rasa penasaranku.
Malam itu, sambil menikmati hidangan ikan
bakar yang kaya bumbu, Freeman mulai bercerita tentang masa lalunya yang tak
pernah terbayang dalam benakku. Pria dalam foto itu, katanya, adalah Abraham
Stark, seorang Kolonel di Atase Militer Amerika di Jakarta. "Dan anak
kecil yang kugendong itu," Freeman melanjutkan, "adalah Jaloe. Kami
biasa memanggilnya si Jalu." Aku tertegun. Bagaimana bisa Jaloe yang
kutemui dalam peristiwa mencekam beberapa waktu lalu ternyata memiliki
keterkaitan yang begitu dekat dengan Freeman? Dan lebih mengejutkan lagi, Jalu
lahir di Indonesia.
Inilah sisi lain dari Freeman yang tak pernah
aku ketahui. Hubungan antara dia dan keluarga Stark dimulai di Vietnam, saat
perang berkecamuk. Abraham Stark adalah komandannya ketika mereka terlibat
dalam operasi militer yang keras dan penuh darah. Setelah perang usai, mereka
tetap menjalin hubungan dekat, bahkan setelah keluarga Stark pindah ke
Indonesia. "Kami sering berlibur ke Puncak," lanjut Freeman,
"dan di sanalah Jalu dilahirkan. Anak itu tumbuh di bawah bayang-bayang
ayahnya yang keras."
Saat Abraham Stark memutuskan untuk menetap
kembali di Amerika setelah 8 tahun di Indonesia, Freeman ikut serta dalam
kepindahan itu. Keluarga Stark memulai bisnis kecil-kecilan, dan Freeman
dipercaya untuk membantu mereka menjalankan usaha. Namun, hubungan Freeman
dengan anak-anak Stark, Joel dan Jaloe, mulai memburuk seiring berjalannya
waktu. “Joel selalu merasa bahwa aku terlalu dekat dengan ayahnya,” Freeman
menghela napas, “dan itu yang membuatnya penuh kebencian. Jaloe, di sisi lain,
lebih lembut, tapi terperangkap dalam bayang-bayang kakaknya.”
Obrolan kami berlanjut hingga malam,
menyusuri jejak-jejak masa lalu yang penuh teka-teki. Freeman mengungkapkan
bahwa Joel dan Jaloe tak pernah benar-benar memaafkannya atas kedekatannya
dengan ayah mereka. "Aku mencoba menjauh, tapi takdir selalu membawaku
kembali," katanya dengan nada berat. Aku bisa merasakan ada kepedihan yang
tersimpan di balik senyuman tenangnya.
Untuk sesaat, kami terdiam. Isteriku dan
anak-anak tengah bercengkerama dengan istri Freeman, sementara aku masih
mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Rasa ingin tahuku tentang
hubungan Freeman dan keluarga Stark semakin dalam, tapi aku juga tak ingin
terlalu jauh masuk ke dalam konflik batin mereka. Ada batas yang harus aku
jaga.
Ruang tamu mulai terasa hangat oleh obrolan
ringan dan gelak tawa anak-anak. Freeman menatapku seolah ingin mengatakan
sesuatu yang lebih, namun ia menahan diri. Mungkin karena hari sudah terlalu
malam, atau mungkin ia merasa tak semua cerita harus diungkap sekaligus. Namun,
satu hal yang aku tahu, pertemuan ini bukanlah akhir dari cerita panjang yang
melibatkan Freeman dan keluarga Stark.
Waktu berjalan begitu cepat. Sebelum aku
sadar, malam sudah semakin larut. Kami berpamitan, membawa pulang lebih banyak
dari sekadar makanan lezat. Kami membawa cerita-cerita lama yang tak hanya
menghiasi pikiran, tapi juga hati. Kisah Freeman dan Stark, serta hubungan yang
begitu kompleks, kini menjadi bagian dari pemahamanku tentang hidup dan
perjalanan manusia.
Aku merasa perjalanan hidup Freeman, yang
penuh liku, memberikan pelajaran tentang kepercayaan, pengkhianatan, dan cinta
yang tak selalu bisa dipahami dengan sederhana. Dan malam itu, di tengah
kebersamaan, aku merasa sedikit lebih dekat dengan rahasia-rahasia yang
disimpan oleh dunia ini.
Yang mengejutkan adalah, saat kami hendak
melangkah keluar, Freeman berbisik padaku, "Mungkin suatu hari nanti kau
akan tahu, mengapa semua ini terjadi." Dan dengan itu, kami melangkah
pulang, dengan rasa penasaran yang terus tumbuh, menunggu jawaban yang entah
kapan akan terungkap. Pertanyaan lain yang masih menggelayut di pikiranku
adalah, kenapa tidak ada foto si Joel di dinding rumah mereka.