"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

Showing posts with label Inspiration. Show all posts
Showing posts with label Inspiration. Show all posts

2025/12/05

Kenapa Kebahagiaan Karyawan Selalu Menjadi Titik Awal Kebahagiaan Pelanggan?

Penulis bersama team dan perwakilan klien dalam satu event Team Engagement di Jakarta

Di banyak perusahaan, kita sering bicara tentang customer experience, service excellence, atau bagaimana membuat pelanggan merasa puas. Namun ada satu hal yang sering terlupakan: semua itu dimulai dari orang-orang di balik layar. Customer happiness tidak pernah muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari tim yang bahagia, yang merasa dihargai, dan yang menjalani hari-harinya dengan energi positif.

People engagement bukan sekadar program internal atau aktivitas seremonial. Ia adalah cara kita hadir untuk satu sama lain. Kadang bentuknya sederhana; menonton film bareng, makan siang bersama, outing, hangout bareng atau sekadar ngobrol santai tanpa agenda. Kehadiran seperti itu membangun jarak yang lebih dekat antara kita sebagai manusia. Ketika kedekatan itu tumbuh, rasa percaya muncul. Dan ketika percaya sudah terbentuk, bekerja sama menjadi jauh lebih natural.

Di dunia kerja yang serba cepat, sering kali kita lupa bahwa kebahagiaan juga perlu di-deliver. Bukan hanya kepada pelanggan, tetapi pertama-tama kepada tim kita sendiri. Ketika karyawan merasa diperhatikan, dihormati, dan dihargai, mereka menjadi jauh lebih puas. Kepuasan itu mengubah cara mereka bekerja. Mereka lebih ringan, lebih positif, dan lebih bersemangat menghadapi tantangan.


Employee satisfaction bukan hanya perkara gaji atau benefit. Ia lahir dari pengalaman sehari-hari, dari suasana kerja yang membuat mereka merasa aman, dari interaksi yang membuat mereka merasa dihargai, dari momen-momen kebersamaan yang membuat mereka merasa menjadi bagian penting dari sebuah perjalanan. Ketika seseorang merasa bahagia di tempat kerjanya, ia akan memberikan yang terbaik tanpa perlu diminta.

Dan pada akhirnya, pelanggan akan merasakan itu. Mereka bisa membedakan mana layanan yang datang dari seseorang yang tertekan, dan mana yang datang dari seseorang yang benar-benar menikmati pekerjaannya. Energi itu menular. Senyum yang tulus, sikap yang ramah, kesediaan membantu tanpa keluhan—semuanya lahir dari hati yang bahagia.

Itulah sebabnya people engagement seharusnya bukan sekadar program HR. Ia adalah mindset kepemimpinan. Cara kita membangun budaya. Cara kita menunjukkan bahwa perusahaan bukan hanya tempat bekerja, tetapi tempat tumbuh bersama. Ketika pemimpin menghadirkan kebahagiaan di dalam tim, tim akan menghadirkan kebahagiaan itu kembali kepada pelanggan.

Pada akhirnya, kebahagiaan selalu mengalir ke bawah. Jika tim kita merasa terhubung, mereka akan melayani dengan hati. Jika mereka merasa dihargai, mereka akan bekerja dengan percaya diri. Dan jika mereka bahagia, maka pelanggan pun akan merasakan kebahagiaan itu.

Inilah inti dari people engagement: kebahagiaan yang dimulai dari dalam, lalu menjelma menjadi pengalaman terbaik bagi semua yang kita layani.







2025/11/13

Sinopsis “Babad Dipanegara”

Babad Dipanegara adalah karya sastra dan sejarah monumental yang ditulis oleh Pangeran Dipanegara sendiri, atau Kanjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra, ketika beliau diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara setelah kekalahannya dalam Perang Jawa (1825–1830).

Naskah ini ditulis dalam bentuk tembang (puisi berbahasa Jawa) yang terdiri dari 43 pupuh, dan merupakan kombinasi unik antara autobiografi, kronik sejarah, dan renungan spiritual.
Isi babad tidak hanya menceritakan perjuangan fisik melawan penjajahan Belanda, tetapi juga menggambarkan pandangan dunia Jawa, sejarah Majapahit, kerajaan Islam di Jawa, hingga kisah para wali dan nabi-nabi. Dengan gaya tutur khas Jawa, Dipanegara menulis bukan sekadar untuk hiburan, tetapi untuk mendidik dan menyadarkan bangsanya akan pentingnya kemerdekaan dan kemandirian.
Naskah ini kemudian diakui oleh UNESCO pada tahun 2013 sebagai bagian dari “Memory of the World” (MoW) karena nilainya yang luar biasa bagi sejarah dunia, menjadikannya salah satu manuskrip terpenting dari Indonesia.
Ringkasan Isi (Summary)
“Babad Dipanegara” terdiri dari empat jilid besar (Babad I–IV) dan 43 pupuh.
Berikut garis besar isinya:
Babad Dipanegara I (Pupuh I–XI)
Berisi asal-usul dan latar belakang sejarah Jawa:
• Menceritakan tentang kejayaan Majapahit, masa Hayam Wuruk, hingga kemunculan kerajaan Islam di tanah Jawa.
• Dikisahkan pula sejarah para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati.
• Pangeran Dipanegara mulai memperkenalkan dirinya dan pandangannya tentang kerusakan moral bangsawan Jawa akibat pengaruh Belanda.
Babad Dipanegara II (Pupuh XII–XIX)
• Mengisahkan masa kecil dan pendidikan spiritual Pangeran Dipanegara.
• Ia menolak kemewahan keraton dan memilih hidup sederhana di Tegalrejo, di tengah rakyat.
• Mulai terlihat ketegangan antara dirinya dan pihak Belanda yang ikut campur dalam urusan kerajaan Yogyakarta.
Babad Dipanegara III (Pupuh XX–XXXI)
• Awal Perang Jawa. Pangeran Dipanegara tampil sebagai pemimpin rakyat dan ulama pejuang yang menegakkan keadilan.
• Diceritakan strategi, taktik perang, dan keberanian pasukannya.
• Tercermin pula kebijaksanaan spiritualnya—ia melihat perjuangan bukan semata perang duniawi, tapi jihad fi sabilillah melawan kezaliman.
Babad Dipanegara IV (Pupuh XXXII–XLIII)
• Menggambarkan masa akhir perjuangan, pengkhianatan, dan penangkapannya.
• Dipanegara tetap sabar dan tegar, menulis naskah ini dalam pengasingan di Manado.
• Ia merefleksikan hidup, keadilan, dan takdir Allah, serta menyerahkan hasil perjuangannya kepada generasi berikutnya.

Siapa Pangeran Dipanegara?
Pangeran Dipanegara (1785–1855) adalah putra dari Sultan Hamengkubuwono III dari Kesultanan Yogyakarta. Nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo.
Ia dikenal sebagai pemimpin besar Perang Jawa, seorang pahlawan nasional Indonesia, dan juga ulama serta cendekiawan yang mendalam pengetahuannya tentang agama dan budaya Jawa.
Beliau menolak kehidupan istana yang berbau kolonial dan lebih memilih hidup asketis, dekat dengan rakyat. Dipanegara dikenal sebagai “Ratu Adil”, sosok mesianis yang diyakini masyarakat Jawa akan datang membawa keadilan dan kedamaian.

Kejeniusan Pangeran Dipanegara dalam Menulis
1. Struktur Sastra yang Kompleks
Ia menggunakan bentuk tembang macapat—puisi tradisional Jawa dengan aturan metrum ketat. Hal ini menunjukkan keluasan pengetahuan sastra klasiknya.
2. Gaya Bahasa Simbolik dan Filosofis
Tiap bait memuat lapisan makna: sejarah, spiritual, dan moral. Ia menulis dengan kecerdikan sufistik, mengaitkan peristiwa sejarah dengan nilai-nilai ketauhidan.
3. Fungsi Didaktik dan Dakwah
Babad ini bukan hanya sejarah, tetapi nasihat moral dan ajakan religius.
Dalam Islam, menulis untuk mengabadikan ilmu dan pengalaman merupakan amal jariyah.
Dipanegara menulis bukan untuk membanggakan diri, tapi untuk memberi pelajaran bagi generasi berikutnya; sebuah jihad intelektual.

Paralel dengan Tuanku Imam Bonjol
Menariknya, Pangeran Dipanegara semasa dengan Tuanku Imam Bonjol di Sumatra Barat, keduanya:
• Pejuang Islam melawan kolonial Belanda.
• Tokoh karismatik yang menggabungkan peran ulama dan panglima perang.
• Sama-sama pandai menulis; Imam Bonjol juga meninggalkan memoir “Riwayat Tuanku Imam Bonjol”.
• Dan keduanya diakhiri hidupnya dalam pengasingan di Sulawesi (Diponegoro di Manado, Imam Bonjol di Minahasa).
Dua tokoh ini menjadi teladan “ulil albab” dalam Islam, orang berakal yang menggunakan pena dan pedang dalam perjuangan: menulis untuk melawan lupa, dan berjuang untuk menegakkan kebenaran.

Keterangan dari Foto Buku
• Judul: Babad Dipanegara
• Penulis: Pangeran Dipanegara / Kanjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra
• Penerbit: Narasi, Yogyakarta
• Harga: Rp 150.000,-
• Diakui UNESCO (2013) sebagai Memory of the World
• Isi: 43 pupuh dalam 4 babad besar
• Kategori: Sejarah & Budaya (U17+)
• Bahasa: Jawa (terjemahan dalam bahasa Indonesia)

2025/10/30

Antara Freud dan Khalil bin Syahin: Dua Jalan Menafsir Mimpi

Sejak masa kuliah, ketertarikan saya terhadap psikologi sastra membawa saya berkenalan dengan teori behaviorisme dan kemudian berlanjut pada psikoanalisis Sigmund Freud, tokoh yang menempatkan mimpi sebagai “jalan kerajaan menuju alam bawah sadar.” Dalam karyanya Dream Psychology: Psychoanalysis for Beginners, Freud mengajak pembacanya memahami bahwa mimpi bukan sekadar bunga tidur, melainkan ekspresi terselubung dari dorongan dan keinginan yang ditekan oleh kesadaran.

Freud dan Alam Bawah Sadar

Menurut Freud, setiap mimpi adalah bentuk penyamaran dari keinginan-keinginan yang tidak dapat diterima secara sosial maupun moral. Mimpi bekerja melalui mekanisme simbolisasi, pemindahan (displacement), dan kondensasi, menjadikan pesan batin itu tampil samar dan sering membingungkan.

Di balik teori ini, Freud memetakan struktur jiwa manusia ke dalam tiga lapisan: Id, Ego, dan Superego.

 • Id adalah sumber dorongan naluriah — terutama dorongan seksual dan agresif.

 • Ego berperan sebagai penengah antara realitas dan dorongan Id.

 • Superego adalah suara moral, nilai, dan norma sosial yang menekan Id.

Bagi Freud, mimpi adalah cara alam bawah sadar (Id) untuk menyalurkan hasrat yang tidak sempat terwujud di dunia sadar. Karena itu, tidak heran bila banyak pengkritiknya menilai teori mimpi Freud terlalu “seksual-oriented”, seolah semua makna mimpi berakar dari libido. Namun di balik kritik itu, Freud berhasil membuka ruang baru: bahwa mimpi bisa menjadi pintu refleksi diri, bukan sekadar pengalaman pasif di malam hari.

Khalil bin Syahin dan Tafsir Spiritual Mimpi

Di sisi lain, dalam khazanah Islam, mimpi justru ditempatkan dalam spektrum spiritual dan moral. Buku Tafsir Mimpi Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis karya Khalil bin Syahin Adz-Dzahiri mewakili tradisi panjang ulama yang menganggap mimpi bukan hanya fenomena psikis, melainkan juga bagian dari komunikasi antara manusia dan alam ruh.

Dalam Islam, mimpi dibagi menjadi tiga macam:

 1. Ru’yâ shâlihah — mimpi baik yang datang sebagai petunjuk dari Allah.

 2. Hulm — mimpi buruk atau gangguan yang berasal dari setan.

 3. Adghâtsu ahlâm — mimpi yang lahir dari kondisi psikologis atau pikiran yang lelah.

Khalil bin Syahin menulis tafsir mimpi dengan dasar al-Qur’an, hadis, dan pengalaman para ulama terdahulu. Dalam pandangan Islam, mimpi dapat menjadi pesan, isyarat, atau peringatan, tetapi juga tetap diakui adanya dimensi psikologis yang murni manusiawi.

Pertemuan Dua Dunia

Membaca Freud dan Khalil bin Syahin berdampingan membuat saya berpikir bahwa keduanya tidak perlu dipertentangkan. Freud memberi kita alat untuk membaca struktur batin, sementara Islam memberi kita panduan moral dan spiritual untuk menafsirkan makna yang lebih tinggi dari mimpi.

Mimpi, dalam hal ini, adalah jembatan antara dunia sadar dan bawah sadar, antara jiwa dan ruh, antara sains dan wahyu. Freud mungkin melihatnya sebagai ekspresi keinginan yang ditekan; Islam melihatnya sebagai kemungkinan wahyu kecil yang menyentuh hati.

Keduanya bisa saling memperkaya: Freud mengajarkan kita bagaimana mimpi bekerja di dalam jiwa, sementara Khalil bin Syahin mengajarkan untuk apa mimpi itu dihadirkan dalam hidup manusia.

Mungkin, memahami mimpi berarti memahami diri baik dari sisi batin yang ilmiah maupun spiritual. Seperti kata seorang sufi, “Tidurmu adalah perjalanan ruhmu; maka jagalah agar ia kembali dengan cahaya, bukan kelam.”

2025/10/16

Feodalisme: Warisan yang Tak Lagi Layak Disembah

“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Pepatah Minang yang sederhana ini menyimpan filosofi tajam: bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh derajat, jabatan, atau kekayaan; melainkan oleh budi dan akal.

Namun, di balik falsafah yang luhur itu, masih bersemayam satu warisan tua yang sulit mati di bumi Nusantara: feodalisme.


Dari Tanah dan Tuan: Asal Mula Feodalisme

Kata feodalisme berasal dari bahasa Latin feodum atau feudum, artinya tanah pemberian.
Pada abad pertengahan di Eropa, sistem ini menjadi tatanan sosial di mana raja memberikan tanah kepada bangsawan sebagai imbalan atas kesetiaan dan jasa militer.
Tanah menjadi sumber kekuasaan, dan rakyat jelata hanyalah penggarap yang harus tunduk.

Struktur sosialnya seperti piramida:
raja → bangsawan → ksatria → rakyat tani.
Di puncak segelintir orang berkuasa, di bawah berjuta yang taat tanpa hak bersuara.

Sistem ini runtuh seiring datangnya Revolusi Industri dan Revolusi Prancis; ketika manusia sadar bahwa kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan lebih berharga daripada silsilah keturunan.

Feodalisme di Timur: Lembut, tapi Mencengkeram

Meski istilahnya lahir di Barat, bentuk-bentuk feodalisme juga tumbuh di Timur.
Di Jepang, shogun, daimyo, dan samurai menciptakan tatanan ketat berlandaskan kehormatan (bushido).
Di Tiongkok, kekuasaan birokrat mandarin dan keluarga bangsawan menempatkan rakyat sebagai pelayan kekaisaran.
Di India, sistem zamindari menjadikan tuan tanah berkuasa penuh atas nasib petani.

Dan di Nusantara, terutama di Jawa, feodalisme bersalin rupa dalam budaya priyayi.
Rakyat kecil diposisikan sebagai abdi istana, dan dalam birokrasi modern, sikap itu masih terasa dalam bentuk “asal bapak senang”, “jangan lawan atasan”, atau “diam lebih aman”.

Feodalisme di Indonesia: Dari Istana ke Kantor

Feodalisme di Indonesia bukan hanya sejarah kerajaan, tapi juga mentalitas sosial.
Kita sering melihat:

  • pejabat dianggap “berkuasa atas rakyat”, bukan “pelayan rakyat”;

  • penghormatan berlebihan pada jabatan dan gelar;

  • sistem dinasti politik dan birokrasi penuh patronase;

  • takut mengkritik karena “tidak pantas melawan yang lebih tinggi”.

Padahal, bangsa yang ingin maju harus berani meratakan derajat dalam berpikir, berpendapat, dan berinovasi.

Apa Buruknya Feodalisme?

Feodalisme membuat:

  1. Rakyat kehilangan keberanian berpikir kritis.

  2. Inovasi terhambat karena keputusan hanya datang dari atas.

  3. Ketimpangan sosial mengakar, melahirkan dua dunia: yang berkuasa dan yang pasrah.

  4. Budaya menjilat dan basa-basi menjadi norma demi selamat dari risiko kehilangan jabatan.

Namun, kita juga harus adil: di masa lalu, feodalisme memiliki fungsi menjaga stabilitas sosial.
Dalam masa tanpa hukum modern, sistem hierarki memberi rasa aman.
Tapi kini, ia bukan lagi pelindung, melainkan belenggu kemajuan.

Adat Minang: Antitesis Feodalisme

Minangkabau sejak dulu menolak sistem feodal.
Struktur sosialnya berbasis musyawarah, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama.
Tak ada “tuan” atau “abdi” dalam adat Minang.
Yang ada hanya manusia yang saling hormat; bukan karena status, tapi karena akhlak.

“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, begitulah martabat manusia menurut adat.

Pepatah itu bukan sekadar kata bijak, melainkan perlawanan halus terhadap mentalitas tunduk dan kasta.
Ia mengingatkan kita: kekuasaan hanyalah amanah, bukan kemuliaan bawaan.

Menolak Feodalisme, Menjemput Kemajuan

Feodalisme modern sering tak terlihat. Ia bersembunyi dalam gaya bicara yang penuh basa-basi, dalam sistem kerja yang takut kritik, dalam politik yang dikuasai keluarga, bahkan dalam pikiran yang merasa “rakyat tak berhak bertanya.”

Jika bangsa ingin maju, kita harus membalik paradigma:

  • Pemimpin melayani, bukan dilayani.

  • Rakyat berdaulat, bukan ditundukkan.

  • Gelar dan jabatan hanya alat, bukan tujuan.

Karena kemajuan sejati hanya lahir dari keberanian berpikir setara.


2025/10/09

Matinya Kepakaran di Era AI?

 

Matinya Kepakaran di Era AI: Ketika Semua Orang Bisa Jadi “Ahli”

Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh sebuah poster acara dari Universitas Sebelas Maret (UNS).
Dalam acara Sebelas Maret Islamic Festival 2025, panitia menghadirkan Guru Gembul sebagai pembicara utama.
Ya, bukan profesor sejarah Islam, bukan dosen filsafat, tapi seorang kreator konten edukatif yang populer di YouTube dan TikTok.

Bagi sebagian orang, ini hal biasa — bahkan keren, karena menunjukkan bahwa dunia pendidikan mulai “melek zaman.”
Namun bagi sebagian lain, ini adalah tanda tanya besar:
Apakah ini pertanda matinya kepakaran?
Apakah generasi sekarang kehilangan respek terhadap para ahli yang puluhan tahun menekuni bidangnya?


Dari Kampus ke Konten: Pergeseran Otoritas Ilmu

Kita hidup di masa ketika otoritas ilmu berpindah tangan.
Dulu, ruang kuliah dan jurnal ilmiah adalah sumber utama pengetahuan.
Sekarang, TikTok dan YouTube menjadi ruang belajar baru bagi jutaan orang.

Para akademisi sering berbicara dengan bahasa jurnal, penuh istilah asing, dan minim konteks sosial.
Sementara kreator seperti Guru Gembul justru mengubah sejarah, filsafat, dan agama menjadi cerita yang hidup.

Ia tidak menulis di jurnal, tapi di hati audiensnya.
Dan di dunia yang dikendalikan algoritma, engagement sering lebih kuat daripada gelar akademik.

Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi pergeseran budaya:
dari otoritas ke aksesibilitas, dari siapa yang tahu ke siapa yang bisa menjelaskan.

AI dan Kematian Proses Belajar

Kemudian datanglah era baru: Artificial Intelligence (AI).
Dengan ChatGPT, Claude, Gemini, dan lainnya, semua orang bisa menjadi “pakar instan.”
Cukup ketik satu prompt, dan dalam hitungan detik kamu bisa punya esai sekelas mahasiswa S2.

AI membuat pengetahuan terasa mudah, tapi justru karena itulah, proses belajar kehilangan makna.

AI bukan guru sejati. Ia hanya mesin prediksi kata.
Ia tahu banyak, tapi tidak memahami.
Ia bisa menjawab semua hal, tapi tak bisa mempertanggungjawabkan satu pun.

Jika manusia terlalu bergantung padanya, maka yang mati bukan kepakaran,
tapi etos intelektual , yang merupakan semangat untuk belajar, meneliti, dan berpikir kritis.

Kreator vs Akademisi: Pertarungan atau Kolaborasi?

Fenomena seperti Guru Gembul tidak seharusnya dianggap ancaman bagi dunia akademik.
Ia adalah cermin bahwa kampus perlu belajar berbicara dalam bahasa masyarakat.

Kreator punya kemampuan menjangkau; akademisi punya kedalaman berpikir.
Kalau keduanya bersatu, kita akan memiliki ilmu yang mencerahkan sekaligus memasyarakat.

Sayangnya, banyak kampus masih sibuk dengan seminar formal dan jurnal yang hanya dibaca segelintir orang.
Sementara masyarakat sudah bergerak ke arah pengetahuan cepat, visual, dan emosional.
Di sinilah “kematian kepakaran” terjadi. Sebenarnya itu terjadi bukan karena AI, tapi karena pakarnya berhenti berbicara kepada umat. Tepatnya, berhenti berbicara dengan bahasa yang lebih diminati umat.

Apa Sikap Terbaik Kita di Era AI?

  1. Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti berpikir.
    Ia bisa menulis untukmu, tapi tidak bisa menggantikan pemahamanmu.

  2. Bangun jembatan antara akademisi dan publik.
    Akademisi perlu belajar berkomunikasi seperti kreator; kreator perlu berakar pada riset akademik.

  3. Rawat rasa ingin tahu.
    Jangan puas dengan jawaban cepat. Belajar sejati adalah proses, bukan hasil instan.

Penutup: Yang Mati Bukan Pakar, Tapi Etos Belajar

“Matinya kepakaran” bukan karena munculnya AI atau populernya Guru Gembul.
Kepakaran mati karena manusia berhenti menghargai proses belajar yang panjang —
karena kita lebih tertarik pada yang viral daripada yang valid.

AI hanyalah cermin zaman.
Ia memperlihatkan siapa yang sungguh ingin belajar,
dan siapa yang hanya ingin tampak pintar.


Penting!
Di masa depan, kepakaran mungkin tidak lagi ditentukan oleh gelar atau algoritma,
melainkan oleh kejujuran intelektual: siapa yang tetap mau belajar, meski tidak sedang viral.


2025/09/03

✨ Belajar dari Siapapun, Kapanpun, Dimanapun ✨

Biiznillah, sudah lebih dari 20 tahun saya berkecimpung di industri telekomunikasi dan e-commerce, baik di sisi klien maupun bisnis processor sourcing. Satu hal yang selalu saya pegang: jangan pernah berhenti belajar, dan belajarlah dari siapa saja.

Dalam sesi coaching, counseling, maupun mentoring, peran kita bukan sekadar mengarahkan, memberi contoh, atau menyuruh. Lebih dari itu, kita perlu menyelami cara berpikir tim, mendengar gagasan mereka, dan belajar dari pengalaman mereka. Ternyata, banyak hal berharga yang justru datang dari tim sendiri.

Itulah yang kembali saya rasakan saat skip level meeting di Semarang beberapa hari lalu. Dari percakapan yang hangat dengan rekan-rekan di sana, saya mendapat inspirasi baru, sudut pandang segar, dan pelajaran yang tak kalah penting untuk perjalanan bersama.

Karena sejatinya, setiap pertemuan adalah kesempatan untuk tumbuh.

hashtagLeadership hashtagCoaching hashtagMentoring hashtagTeamwork

Stoikisme dan Islam: Dari Ketenangan Jiwa ke Jalan Ridha

Beberapa tahun terakhir, filsafat Stoikisme mendadak viral di media sosial Indonesia. Ia hadir dalam bentuk kutipan-kutipipan singkat, gambar estetik, atau video reflektif yang beredar di layar ponsel kita. Nama-nama kuno seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius tiba-tiba akrab di telinga anak muda. Mereka dijadikan pegangan saat menghadapi stres, kekecewaan, atau kegagalan. Fenomena ini tidak lepas dari konsistensi tokoh-tokoh kontemporer seperti Ferry Irwandi, yang dengan tekun menyuarakan Stoikisme sebagai etika praktis. Bagi sebagian orang, Stoikisme terasa segar: sederhana, lugas, dan sangat relevan dengan kehidupan modern yang sering kali menghimpit.

Stoikisme memang menawarkan sesuatu yang kuat. Ajarannya ibarat kompas batin: kendalikan apa yang bisa dikendalikan, dan terimalah dengan tenang apa yang berada di luar kuasa kita. Dari prinsip itu lahir sebuah sikap yang kokoh, sebuah jiwa yang tidak mudah terguncang oleh badai. Orang Stoik percaya, jika hati mampu menguasai diri, maka ia akan mencapai ataraxia; sebuah ketenangan yang tidak lagi tergantung pada dunia luar. Di tengah situasi sosial-ekonomi yang tidak pasti, banyak orang merasa Stoikisme adalah “obat penenang” yang mujarab, seolah memberi payung bagi jiwa yang basah kuyup diguyur ketidakpastian.

Namun, jika ditilik lebih dalam, Stoikisme hanya menjawab sebagian dari pertanyaan manusia. Ada irisan sekaligus perbedaan mendasar antara Stoikisme dan ajaran Islam. Islam pun menekankan pengendalian diri, kesabaran, dan keteguhan hati. Al-Qur’an berkali-kali menyebut ṣabr (kesabaran), tawakkal (berserah setelah ikhtiar), dan riḍā (rela dengan ketentuan Allah) sebagai kunci hidup yang baik. Tetapi Islam menambahkan satu dimensi yang tak dimiliki Stoikisme: dimensi tauhid. Dalam Islam, setiap peristiwa berasal dari Allah, penuh hikmah, dan mengandung pahala bagi orang beriman. Kesabaran bukan sekadar teknik mental, melainkan ibadah yang bernilai abadi.

Di sinilah titik bedanya. Stoikisme berdiri di atas landasan rasionalitas kosmik, percaya bahwa semesta diatur oleh logos yang impersonal. Tatanan alam itu memang bisa mengajarkan harmoni, tetapi tidak memberi wajah kasih. Bagi seorang Stoik, tujuan akhir adalah ketenangan diri. Sedangkan bagi seorang Muslim, tujuan tertinggi bukan hanya tenang, tetapi ridha Allah dan keselamatan di akhirat. Islam mengajarkan bahwa jiwa tidak cukup sekadar tabah, ia harus menemukan makna di balik setiap cobaan.

Ada lagi perbedaan yang penting. Stoikisme sering dianggap “dingin” terhadap emosi. Filosof Stoik menasihati: jangan terlalu larut dalam kesedihan, jangan pula terlalu mabuk dalam kegembiraan. Tetapi Islam memberi ruang bagi fitrah manusia. Nabi Ya‘qub menangis bertahun-tahun karena kehilangan Yusuf, sampai matanya memutih karena sedih. Nabi Muhammad ﷺ meneteskan air mata ketika putranya wafat, lalu bersabda bahwa air mata adalah rahmat. Kesedihan tidak dilarang, yang dilarang hanyalah berlebihan atau berputus asa. Dengan begitu, Islam menempatkan emosi bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai tanda kemanusiaan yang perlu diarahkan.

Bagi generasi Muslim hari ini, Stoikisme bisa menjadi pintu masuk untuk belajar menata diri. Tetapi alternatif sejati justru ada dalam khazanah Islam sendiri: tasawuf dan tazkiyah al-nafs, penyucian jiwa yang mengajarkan keseimbangan lahir dan batin. Melalui dzikir, seorang Muslim menemukan ketenangan lebih dalam dari sekadar “menenangkan pikiran.” Melalui muraqabah; kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi; manusia belajar hidup dalam keheningan batin yang penuh makna. Melalui ikhlas, manusia membersihkan niat sehingga amal kecil pun bernilai besar di sisi-Nya. Sabar menjadi ibadah, ikhlas menjadi cahaya hati, dan tawakkal menjadi penopang langkah dalam menghadapi gelombang kehidupan.

Maka, Islam tidak sekadar menerima Stoikisme, tetapi melampauinya. Jika Stoikisme mengajarkan manusia untuk bertahan dari guncangan hidup, Islam mengajarkan manusia untuk berjalan di atas guncangan itu, menuju Allah dengan hati yang tenang. Jika Stoikisme memberi ketabahan, Islam memberi ketabahan sekaligus makna. Seorang Stoik mungkin bisa berdiri tegak di tengah badai, tetapi seorang Muslim diajari untuk melihat badai itu sebagai ujian cinta dari Tuhan. Inilah perbedaan yang membuat jalan Islam bukan hanya jalan ketenangan, tetapi jalan ridha. Jalan pulang yang sesungguhnya.

2025/07/16

Menumbuhkan Kejeniusan di Contact Center: Belajar dari The Geography of Genius

Dalam bukunya yang terkenal, The Geography of Genius, Eric Weiner mengajak kita menjelajahi tempat-tempat paling kreatif dalam sejarah manusia; Athena, Hangzhou, Florence, Edinburgh, hingga Silicon Valley. Di tiap tempat, ia menemukan satu benang merah yang tak terbantahkan: kejeniusaan bukan sesuatu yang lahir secara tiba-tiba atau murni dari bakat bawaan, melainkan hasil dari lingkungan yang kaya akan budaya belajar, diskusi, dan kolaborasi.

Pertanyaannya: mungkinkah kita menumbuhkan ekosistem seperti itu, bukan di kota-kota besar dunia, melainkan di tempat kerja kita sehari-hari? Jawabannya: sangat mungkin. Bahkan di tengah kesibukan operasional sebuah contact center sekalipun.

Mengapa Contact Center Butuh Budaya Belajar dan Berbagi?

Contact center sering dianggap sebagai pusat layanan cepat, penuh SOP, dan ritme kerja yang repetitif. Namun di balik layar, pekerjaan agen contact center sangatlah kompleks: mereka menjadi ujung tombak interaksi brand dengan pelanggan, memecahkan masalah, dan menjaga kepuasan pelanggan dalam tekanan waktu yang sempit.

Tanpa budaya belajar, agen akan berhenti berkembang.

Tanpa budaya berbagi, pengetahuan praktis akan terputus, hanya bertahan dalam kepala masing-masing individu.

Tanpa komunitas keilmuan, organisasi kehilangan potensi besar untuk tumbuh dari dalam.

Padahal, seperti yang dikisahkan Weiner, kejeniusaan justru lahir dari lingkungan yang ramai, yang bising oleh pertanyaan, terbuka terhadap perbedaan, dan terus bergerak dalam diskusi.


Membangun “Athena” di Contact Center

Berikut beberapa prinsip yang bisa kita tiru dari kota-kota “genius” versi Eric Weiner dan terapkan di contact center:

1. Sediakan Ruang untuk Rasa Ingin Tahu

Athena dikenal karena filsuf-filsufnya yang tidak takut bertanya. Di contact center, penting menyediakan ruang di mana agen bisa bertanya, mengusulkan perbaikan, atau menyampaikan kebingungan tanpa takut dihakimi.

2. Dorong Budaya Berbagi Pengetahuan

Di Hangzhou dan Florence, ide-ide menyebar cepat karena adanya komunitas yang aktif. Demikian pula, agen perlu dilatih untuk saling berbagi teknik komunikasi, pengalaman kasus sulit, hingga best practice yang mereka temukan di lapangan.

3. Rayakan Keberagaman Pendekatan

Weiner menyebut bahwa keberagaman (diversity) adalah unsur penting dalam munculnya inovasi. Dalam tim contact center, keberagaman pengalaman, gaya bicara, atau strategi pendekatan pelanggan harus dihargai dan dibagikan.

4. Bangun Komunitas Pembelajar

Buat sesi berbagi rutin, micro-learning, mentoring antar agen senior-junior, hingga gamifikasi untuk tantangan knowledge sharing. Dari sana bisa lahir komunitas internal yang hidup, seperti “klub pemikir” ala Edinburgh abad ke-18.

5. Jangan Takut Kekacauan

Weiner menegaskan bahwa kejeniusan kerap lahir dari kekacauan yang terorganisir. Artinya, jangan takut dengan percobaan, ketidaksempurnaan, atau bahkan kegagalan. Di balik satu kesalahan, bisa lahir solusi jitu yang belum pernah dicoba sebelumnya.


Penting! Kejeniusan Itu Menular

Buku The Geography of Genius memberi pelajaran penting: kejeniusaan bisa ditumbuhkan, dan lebih dari itu, ia bisa menular. Asal ada budaya belajar, budaya berbagi, dan ruang sosial yang aktif, contact center bisa menjadi inkubator bagi agen-agen cerdas yang tidak hanya andal dalam melayani, tapi juga berkembang menjadi pemikir, pemecah masalah, dan bahkan pemimpin masa depan.

Mewujudkan itu semua bukan hanya tanggung jawab tim Learning & Development, tetapi tanggung jawab bersama, mulai dari pimpinan tim hingga setiap agen yang punya satu ide kecil untuk dibagikan.

Mari kita bangun Athena kita sendiri.

2025/06/19

Skill Akan Dicari, Meski Ijazahmu Biasa

Dulu, ijazah dan gelar akademik dianggap sebagai tiket utama menuju pekerjaan impian dan karier yang menjanjikan. Lulusan universitas ternama sering kali menjadi incaran utama perusahaan. Tapi zaman telah berubah. Dunia kerja kini tidak lagi hanya bertanya kamu lulusan dari mana, melainkan lebih tertarik pada satu hal yang sangat praktis dan relevan: apa yang bisa kamu lakukan.
Perusahaan hari ini tidak selalu mencari nama besar kampus di CV-mu. Mereka mencari bukti nyata. Mereka ingin melihat portofolio yang menunjukkan kemampuanmu dalam menyelesaikan masalah nyata. Mereka ingin tahu bagaimana kamu berpikir, mengambil keputusan, beradaptasi, dan menciptakan nilai. Bukan sekadar nilai IPK, tapi nilai yang benar-benar dirasakan oleh tim dan organisasi.
Banyak pemimpin sukses di era sekarang yang bahkan tidak memiliki gelar tinggi. Tapi mereka memiliki keterampilan yang tajam, kemauan belajar yang kuat, dan karakter yang dapat diandalkan. Dari entrepreneur muda yang membangun bisnis dari kamar tidur, hingga developer teknologi yang menciptakan aplikasi revolusioner tanpa pernah lulus dari bangku kuliah formal, semuanya membuktikan bahwa skill adalah mata uang masa depan.
Skill adalah jalan masuk menuju kepercayaan. Dengan skill, orang lain mulai mempercayakan tanggung jawab. Skill juga menciptakan peluang baru. Di dunia yang sangat cepat berubah ini, keterampilan teknis dan interpersonal menjadi sangat penting. Bukan hanya bisa melakukan, tapi juga bisa menyampaikan, bekerja sama, memimpin, dan belajar hal baru dengan cepat.
Kisah Nabi Yusuf alayhissalam menjadi bukti betapa keterampilan menjadi nilai yang sangat diperhitungkan. Ketika beliau menawarkan diri untuk mengelola perbendaharaan negeri, beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS Yusuf: 55). Dua hal yang beliau sebut adalah amanah dan keahlian. Inilah kombinasi sempurna yang membuatnya layak dipercaya memimpin dan membawa perubahan besar.
Jika kamu sudah belajar, maka saatnya mempraktikkan. Jika kamu belum bisa, maka teruslah melatih diri. Karena keterampilan bukan warisan atau takdir, melainkan buah dari latihan, ketekunan, dan kesungguhan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang jika ia bekerja, maka ia menyempurnakannya.” (HR Thabrani). Maka sempurnakanlah ilmu dengan keterampilan agar mimpi tidak hanya tinggal wacana, tapi benar-benar menjadi nyata.