“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Pepatah Minang yang sederhana ini menyimpan filosofi tajam: bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh derajat, jabatan, atau kekayaan; melainkan oleh budi dan akal.
Namun, di balik falsafah yang luhur itu, masih bersemayam satu warisan tua yang sulit mati di bumi Nusantara: feodalisme.
Dari Tanah dan Tuan: Asal Mula Feodalisme
Kata feodalisme berasal dari bahasa Latin feodum atau feudum, artinya tanah pemberian.
Pada abad pertengahan di Eropa, sistem ini menjadi tatanan sosial di mana raja memberikan tanah kepada bangsawan sebagai imbalan atas kesetiaan dan jasa militer.
Tanah menjadi sumber kekuasaan, dan rakyat jelata hanyalah penggarap yang harus tunduk.
Struktur sosialnya seperti piramida:
raja → bangsawan → ksatria → rakyat tani.
Di puncak segelintir orang berkuasa, di bawah berjuta yang taat tanpa hak bersuara.
Sistem ini runtuh seiring datangnya Revolusi Industri dan Revolusi Prancis; ketika manusia sadar bahwa kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan lebih berharga daripada silsilah keturunan.
Feodalisme di Timur: Lembut, tapi Mencengkeram
Meski istilahnya lahir di Barat, bentuk-bentuk feodalisme juga tumbuh di Timur.
Di Jepang, shogun, daimyo, dan samurai menciptakan tatanan ketat berlandaskan kehormatan (bushido).
Di Tiongkok, kekuasaan birokrat mandarin dan keluarga bangsawan menempatkan rakyat sebagai pelayan kekaisaran.
Di India, sistem zamindari menjadikan tuan tanah berkuasa penuh atas nasib petani.
Dan di Nusantara, terutama di Jawa, feodalisme bersalin rupa dalam budaya priyayi.
Rakyat kecil diposisikan sebagai abdi istana, dan dalam birokrasi modern, sikap itu masih terasa dalam bentuk “asal bapak senang”, “jangan lawan atasan”, atau “diam lebih aman”.
Feodalisme di Indonesia: Dari Istana ke Kantor
Feodalisme di Indonesia bukan hanya sejarah kerajaan, tapi juga mentalitas sosial.
Kita sering melihat:
-
pejabat dianggap “berkuasa atas rakyat”, bukan “pelayan rakyat”;
-
penghormatan berlebihan pada jabatan dan gelar;
-
sistem dinasti politik dan birokrasi penuh patronase;
-
takut mengkritik karena “tidak pantas melawan yang lebih tinggi”.
Padahal, bangsa yang ingin maju harus berani meratakan derajat dalam berpikir, berpendapat, dan berinovasi.
Apa Buruknya Feodalisme?
Feodalisme membuat:
-
Rakyat kehilangan keberanian berpikir kritis.
-
Inovasi terhambat karena keputusan hanya datang dari atas.
-
Ketimpangan sosial mengakar, melahirkan dua dunia: yang berkuasa dan yang pasrah.
-
Budaya menjilat dan basa-basi menjadi norma demi selamat dari risiko kehilangan jabatan.
Namun, kita juga harus adil: di masa lalu, feodalisme memiliki fungsi menjaga stabilitas sosial.
Dalam masa tanpa hukum modern, sistem hierarki memberi rasa aman.
Tapi kini, ia bukan lagi pelindung, melainkan belenggu kemajuan.
Adat Minang: Antitesis Feodalisme
Minangkabau sejak dulu menolak sistem feodal.
Struktur sosialnya berbasis musyawarah, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama.
Tak ada “tuan” atau “abdi” dalam adat Minang.
Yang ada hanya manusia yang saling hormat; bukan karena status, tapi karena akhlak.
“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, begitulah martabat manusia menurut adat.
Pepatah itu bukan sekadar kata bijak, melainkan perlawanan halus terhadap mentalitas tunduk dan kasta.
Ia mengingatkan kita: kekuasaan hanyalah amanah, bukan kemuliaan bawaan.
Menolak Feodalisme, Menjemput Kemajuan
Feodalisme modern sering tak terlihat. Ia bersembunyi dalam gaya bicara yang penuh basa-basi, dalam sistem kerja yang takut kritik, dalam politik yang dikuasai keluarga, bahkan dalam pikiran yang merasa “rakyat tak berhak bertanya.”
Jika bangsa ingin maju, kita harus membalik paradigma:
-
Pemimpin melayani, bukan dilayani.
-
Rakyat berdaulat, bukan ditundukkan.
-
Gelar dan jabatan hanya alat, bukan tujuan.
Karena kemajuan sejati hanya lahir dari keberanian berpikir setara.
No comments:
Post a Comment