Babad Dipanegara adalah karya sastra dan sejarah monumental yang ditulis oleh Pangeran Dipanegara sendiri, atau Kanjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra, ketika beliau diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara setelah kekalahannya dalam Perang Jawa (1825–1830).
2025/11/13
Sinopsis “Babad Dipanegara”
2025/10/31
It’s Not AI vs Human, But AI for Human
Di banyak organisasi hari ini, tim Customer Experience sedang dikejar euforia yang sama. Semua ingin terlihat “AI-ready”. Mereka bicara tentang transformasi digital, otomatisasi, dan kecerdasan buatan seolah itu adalah tiket menuju masa depan. Dalam setiap presentasi, kata AI menjadi mantra baru: simbol kemajuan, bukti inovasi, bahkan kadang pelarian dari kenyataan bahwa pelayanan pelanggan masih jauh dari sempurna.
Namun di tengah hiruk pikuk itu, ada satu pertanyaan sederhana yang jarang diajukan: apa sebenarnya yang diinginkan pelanggan? Jawabannya sering kali bukan teknologi. Mereka tidak bangun pagi dengan harapan untuk berbicara dengan bot atau menavigasi menu otomatis yang tak berujung. Mereka hanya ingin masalahnya cepat diselesaikan, dipahami tanpa harus menjelaskan berulang kali, dan diperlakukan sebagai manusia, bukan tiket antrian yang harus ditutup sebelum akhir shift.AI bisa mempercepat, memprediksi, bahkan menebak perilaku. Tapi AI tidak tahu rasanya kecewa. Ia tidak mengerti nada lelah dalam suara seseorang, atau kehangatan dari sapaan yang tulus. AI bisa menyalin kata-kata empati, tapi tidak bisa benar-benar merasakannya. Di sinilah letak paradoks besar industri CX hari ini. Semakin banyak organisasi bicara tentang human-centric experience, semakin sedikit yang benar-benar memberi ruang bagi kemanusiaan itu sendiri.
Teknologi seharusnya membantu manusia bekerja lebih baik, bukan menggantikannya. AI seharusnya membebaskan waktu agent untuk fokus pada percakapan yang benar-benar penting, bukan menjauhkan pelanggan di balik lapisan sistem yang rumit. AI bisa menjadi alat yang luar biasa ketika diarahkan dengan benar, AI for human, bukan AI versus human.
CX yang hebat tidak lahir dari sistem paling canggih, melainkan dari manusia yang menggunakan teknologi untuk membuat hubungan menjadi lebih manusiawi. Sebuah sistem mungkin bisa menutup tiket dengan cepat, tapi hanya manusia yang bisa menenangkan pelanggan yang kecewa. Sebuah bot mungkin mampu memberi jawaban akurat, tapi hanya manusia yang bisa memberi rasa dimengerti.
Kita sedang hidup di masa di mana setiap perusahaan ingin menjadi AI-driven, tapi pelanggan tetap menginginkan satu hal yang sama sejak dulu: diperlakukan dengan hormat dan penuh perhatian. Pada akhirnya, pelanggan tidak akan mengingat algoritma yang kita gunakan, tapi mereka akan selalu mengingat bagaimana mereka merasa setelah berinteraksi dengan kita.
Maka sebelum menempelkan label AI-powered di setiap presentasi, ada baiknya kita bertanya: apakah ini benar-benar membantu manusia, atau sekadar menenangkan rasa takut kita tertinggal tren? Sebab masa depan Customer Experience bukan tentang siapa yang paling cepat mengadopsi AI, melainkan siapa yang paling bijak menggunakannya untuk memperkuat kemanusiaan itu sendiri.
Karena pada akhirnya, bukan AI versus human yang akan menentukan arah pelayanan pelanggan, tetapi bagaimana kita menjadikan AI for human, teknologi yang berpihak pada manusia.
Ketika Semua BPO Menjual “AI”: Di Mana Letak Pembeda yang Sebenarnya?
Artinya: AI sudah dijual, tapi belum benar-benar dijalankan semuanya.
Semua berlomba bicara AI, tapi pelanggan tetap bicara satu hal: hasil.
Harga? Semua Bisa Murah.
Bersaing lewat harga hari ini bukan strategi, melainkan keputusasaan yang dipoles dengan kata “efisiensi.”
Karena dengan semakin banyaknya freelancer platform, shared service, dan cloud automation tools, harga bukan lagi kekuatan, melainkan titik lemah.
BPO yang hanya menonjolkan tarif rendah akan terjebak menjadi “operator tanpa identitas.”
Cepat diganti, mudah dilupakan.
Produk? Semua Juga Bisa Buat.
Hari ini, customer support tools, chatbot, dan CX dashboard bisa dibangun dalam hitungan minggu.
Tidak ada yang eksklusif.
Bahkan teknologi yang disebut “proprietary” pun seringkali hanyalah rebranding dari vendor global.
Jika semua BPO berbicara dengan pitch deck yang sama, otomatisasi, omnichannel, AI, analytics maka yang tersisa bukan lagi apa yang dijual, melainkan bagaimana dan siapa yang menjalankannya.
Pembeda yang Sesungguhnya: Budaya Operasional dan Kecerdasan Kontekstual
Ke depan, pembeda bukan lagi tools, melainkan cara kerja dan nilai yang dibawa ke klien.
-
Budaya Operasional
Apakah setiap agent, team leader, dan manajer punya ownership terhadap pengalaman pelanggan yang mereka layani?
Atau mereka hanya menjalankan SLA seperti robot tanpa empati?
AI bisa membantu menjawab cepat, tapi hanya manusia yang bisa memahami konteks dan niat di balik pertanyaan. -
Kecerdasan Kontekstual (Contextual Intelligence)
Inilah kekuatan baru yang tak bisa digantikan AI murni.
BPO yang memahami konteks industri kliennya; asuransi, kesehatan, telekomunikasi, logistik, keuangan, dll akan selalu lebih bernilai dibanding BPO yang sekadar menjawab tiket.
Mereka bukan sekadar penyedia layanan, tapi partner strategis yang bisa membaca denyut bisnis klien. -
Sense of Humanity dalam Teknologi
Dalam dunia di mana semua orang bicara machine learning, justru human learning yang harus ditonjolkan. Bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat empati, bukan menggantikan sentuhan manusia.
BPO yang bisa menyeimbangkan ini; antara kecerdasan buatan dan kecerdasan emosional; akan memenangkan loyalitas, bukan sekadar kontrak.
Poin PENTING:
Yang Bertahan Bukan yang Tercanggih, Tapi yang Paling Relevan
Dalam perlombaan BPO modern, relevansi menjadi kata kunci. AI boleh datang dan pergi, tapi kepercayaan dan hasil nyata akan selalu abadi. BPO masa depan bukan sekadar “operator pintar”, melainkan mitra bisnis yang mampu berpikir, beradaptasi, dan tumbuh bersama kliennya.
Di era penuh jargon ini, mungkin pembeda terbaik bukan lagi teknologi,
melainkan ketulusan untuk benar-benar memahami apa yang dibutuhkan manusia di balik sistem.
2025/10/30
Antara Freud dan Khalil bin Syahin: Dua Jalan Menafsir Mimpi
Freud dan Alam Bawah Sadar
Menurut Freud, setiap mimpi adalah bentuk penyamaran dari keinginan-keinginan yang tidak dapat diterima secara sosial maupun moral. Mimpi bekerja melalui mekanisme simbolisasi, pemindahan (displacement), dan kondensasi, menjadikan pesan batin itu tampil samar dan sering membingungkan.
Di balik teori ini, Freud memetakan struktur jiwa manusia ke dalam tiga lapisan: Id, Ego, dan Superego.
• Id adalah sumber dorongan naluriah — terutama dorongan seksual dan agresif.
• Ego berperan sebagai penengah antara realitas dan dorongan Id.
• Superego adalah suara moral, nilai, dan norma sosial yang menekan Id.
Bagi Freud, mimpi adalah cara alam bawah sadar (Id) untuk menyalurkan hasrat yang tidak sempat terwujud di dunia sadar. Karena itu, tidak heran bila banyak pengkritiknya menilai teori mimpi Freud terlalu “seksual-oriented”, seolah semua makna mimpi berakar dari libido. Namun di balik kritik itu, Freud berhasil membuka ruang baru: bahwa mimpi bisa menjadi pintu refleksi diri, bukan sekadar pengalaman pasif di malam hari.
Khalil bin Syahin dan Tafsir Spiritual Mimpi
Di sisi lain, dalam khazanah Islam, mimpi justru ditempatkan dalam spektrum spiritual dan moral. Buku Tafsir Mimpi Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis karya Khalil bin Syahin Adz-Dzahiri mewakili tradisi panjang ulama yang menganggap mimpi bukan hanya fenomena psikis, melainkan juga bagian dari komunikasi antara manusia dan alam ruh.
Dalam Islam, mimpi dibagi menjadi tiga macam:
1. Ru’yâ shâlihah — mimpi baik yang datang sebagai petunjuk dari Allah.
2. Hulm — mimpi buruk atau gangguan yang berasal dari setan.
3. Adghâtsu ahlâm — mimpi yang lahir dari kondisi psikologis atau pikiran yang lelah.
Khalil bin Syahin menulis tafsir mimpi dengan dasar al-Qur’an, hadis, dan pengalaman para ulama terdahulu. Dalam pandangan Islam, mimpi dapat menjadi pesan, isyarat, atau peringatan, tetapi juga tetap diakui adanya dimensi psikologis yang murni manusiawi.
Pertemuan Dua Dunia
Membaca Freud dan Khalil bin Syahin berdampingan membuat saya berpikir bahwa keduanya tidak perlu dipertentangkan. Freud memberi kita alat untuk membaca struktur batin, sementara Islam memberi kita panduan moral dan spiritual untuk menafsirkan makna yang lebih tinggi dari mimpi.
Mimpi, dalam hal ini, adalah jembatan antara dunia sadar dan bawah sadar, antara jiwa dan ruh, antara sains dan wahyu. Freud mungkin melihatnya sebagai ekspresi keinginan yang ditekan; Islam melihatnya sebagai kemungkinan wahyu kecil yang menyentuh hati.
Keduanya bisa saling memperkaya: Freud mengajarkan kita bagaimana mimpi bekerja di dalam jiwa, sementara Khalil bin Syahin mengajarkan untuk apa mimpi itu dihadirkan dalam hidup manusia.
Mungkin, memahami mimpi berarti memahami diri baik dari sisi batin yang ilmiah maupun spiritual. Seperti kata seorang sufi, “Tidurmu adalah perjalanan ruhmu; maka jagalah agar ia kembali dengan cahaya, bukan kelam.”
2025/10/16
Feodalisme: Warisan yang Tak Lagi Layak Disembah
“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Pepatah Minang yang sederhana ini menyimpan filosofi tajam: bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh derajat, jabatan, atau kekayaan; melainkan oleh budi dan akal.
Namun, di balik falsafah yang luhur itu, masih bersemayam satu warisan tua yang sulit mati di bumi Nusantara: feodalisme.
Dari Tanah dan Tuan: Asal Mula Feodalisme
Kata feodalisme berasal dari bahasa Latin feodum atau feudum, artinya tanah pemberian.
Pada abad pertengahan di Eropa, sistem ini menjadi tatanan sosial di mana raja memberikan tanah kepada bangsawan sebagai imbalan atas kesetiaan dan jasa militer.
Tanah menjadi sumber kekuasaan, dan rakyat jelata hanyalah penggarap yang harus tunduk.
Struktur sosialnya seperti piramida:
raja → bangsawan → ksatria → rakyat tani.
Di puncak segelintir orang berkuasa, di bawah berjuta yang taat tanpa hak bersuara.
Sistem ini runtuh seiring datangnya Revolusi Industri dan Revolusi Prancis; ketika manusia sadar bahwa kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan lebih berharga daripada silsilah keturunan.
Feodalisme di Timur: Lembut, tapi Mencengkeram
Meski istilahnya lahir di Barat, bentuk-bentuk feodalisme juga tumbuh di Timur.
Di Jepang, shogun, daimyo, dan samurai menciptakan tatanan ketat berlandaskan kehormatan (bushido).
Di Tiongkok, kekuasaan birokrat mandarin dan keluarga bangsawan menempatkan rakyat sebagai pelayan kekaisaran.
Di India, sistem zamindari menjadikan tuan tanah berkuasa penuh atas nasib petani.
Dan di Nusantara, terutama di Jawa, feodalisme bersalin rupa dalam budaya priyayi.
Rakyat kecil diposisikan sebagai abdi istana, dan dalam birokrasi modern, sikap itu masih terasa dalam bentuk “asal bapak senang”, “jangan lawan atasan”, atau “diam lebih aman”.
Feodalisme di Indonesia: Dari Istana ke Kantor
Feodalisme di Indonesia bukan hanya sejarah kerajaan, tapi juga mentalitas sosial.
Kita sering melihat:
-
pejabat dianggap “berkuasa atas rakyat”, bukan “pelayan rakyat”;
-
penghormatan berlebihan pada jabatan dan gelar;
-
sistem dinasti politik dan birokrasi penuh patronase;
-
takut mengkritik karena “tidak pantas melawan yang lebih tinggi”.
Padahal, bangsa yang ingin maju harus berani meratakan derajat dalam berpikir, berpendapat, dan berinovasi.
Apa Buruknya Feodalisme?
Feodalisme membuat:
-
Rakyat kehilangan keberanian berpikir kritis.
-
Inovasi terhambat karena keputusan hanya datang dari atas.
-
Ketimpangan sosial mengakar, melahirkan dua dunia: yang berkuasa dan yang pasrah.
-
Budaya menjilat dan basa-basi menjadi norma demi selamat dari risiko kehilangan jabatan.
Namun, kita juga harus adil: di masa lalu, feodalisme memiliki fungsi menjaga stabilitas sosial.
Dalam masa tanpa hukum modern, sistem hierarki memberi rasa aman.
Tapi kini, ia bukan lagi pelindung, melainkan belenggu kemajuan.
Adat Minang: Antitesis Feodalisme
Minangkabau sejak dulu menolak sistem feodal.
Struktur sosialnya berbasis musyawarah, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama.
Tak ada “tuan” atau “abdi” dalam adat Minang.
Yang ada hanya manusia yang saling hormat; bukan karena status, tapi karena akhlak.
“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, begitulah martabat manusia menurut adat.
Pepatah itu bukan sekadar kata bijak, melainkan perlawanan halus terhadap mentalitas tunduk dan kasta.
Ia mengingatkan kita: kekuasaan hanyalah amanah, bukan kemuliaan bawaan.
Menolak Feodalisme, Menjemput Kemajuan
Feodalisme modern sering tak terlihat. Ia bersembunyi dalam gaya bicara yang penuh basa-basi, dalam sistem kerja yang takut kritik, dalam politik yang dikuasai keluarga, bahkan dalam pikiran yang merasa “rakyat tak berhak bertanya.”
Jika bangsa ingin maju, kita harus membalik paradigma:
-
Pemimpin melayani, bukan dilayani.
-
Rakyat berdaulat, bukan ditundukkan.
-
Gelar dan jabatan hanya alat, bukan tujuan.
Karena kemajuan sejati hanya lahir dari keberanian berpikir setara.
2025/10/09
Matinya Kepakaran di Era AI?
Matinya Kepakaran di Era AI: Ketika Semua Orang Bisa Jadi “Ahli”
Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh sebuah poster acara dari Universitas Sebelas Maret (UNS).
Dalam acara Sebelas Maret Islamic Festival 2025, panitia menghadirkan Guru Gembul sebagai pembicara utama.
Ya, bukan profesor sejarah Islam, bukan dosen filsafat, tapi seorang kreator konten edukatif yang populer di YouTube dan TikTok.
Bagi sebagian orang, ini hal biasa — bahkan keren, karena menunjukkan bahwa dunia pendidikan mulai “melek zaman.”
Namun bagi sebagian lain, ini adalah tanda tanya besar:
Apakah ini pertanda matinya kepakaran?
Apakah generasi sekarang kehilangan respek terhadap para ahli yang puluhan tahun menekuni bidangnya?
Dari Kampus ke Konten: Pergeseran Otoritas Ilmu
AI dan Kematian Proses Belajar
AI membuat pengetahuan terasa mudah, tapi justru karena itulah, proses belajar kehilangan makna.
Kreator vs Akademisi: Pertarungan atau Kolaborasi?
Apa Sikap Terbaik Kita di Era AI?
-
Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti berpikir.Ia bisa menulis untukmu, tapi tidak bisa menggantikan pemahamanmu.
-
Bangun jembatan antara akademisi dan publik.Akademisi perlu belajar berkomunikasi seperti kreator; kreator perlu berakar pada riset akademik.
-
Rawat rasa ingin tahu.Jangan puas dengan jawaban cepat. Belajar sejati adalah proses, bukan hasil instan.
Penutup: Yang Mati Bukan Pakar, Tapi Etos Belajar
Penting!
2025/10/03
Asal-usul Istilah Artificial Intelligence
![]() |
| *photo is generated by Gemini AI |
Ketika hari ini kita bicara tentang Artificial Intelligence (AI), seringkali pikiran kita langsung melayang ke mesin pencari pintar, robot, atau bahkan ChatGPT. Namun, tahukah Anda kapan istilah ini pertama kali lahir?
--
*from any source
2025/09/19
Empati, Sinergi, Adaptasi: Kunci Sukses 20 Tahun di Dunia Customer Experience
![]() |
| foto: Istimewa |
Selama lebih dari 20 tahun berkarier di bidang Customer Operation, saya berkesempatan belajar banyak hal. Bukan hanya dari principal, tetapi juga dari tim internal dan mitra BPO (Business Process Outsourcing) yang menjadi bagian penting dalam perjalanan ini.
Dari proses panjang tersebut, ada tiga pelajaran utama yang paling membekas dan terus relevan hingga hari ini:
1. Empati Adalah Kunci
Dalam dunia customer experience, kemampuan mendengar sebelum berbicara adalah keterampilan paling berharga. Dengan empati, kita memahami permasalahan pelanggan secara lebih utuh, sehingga solusi yang diberikan bukan sekadar jawaban, melainkan benar-benar kebutuhan mereka.
2. Sinergi Itu Energi
Customer Operation tidak bisa berjalan sendiri. Principal, internal team, dan mitra BPO bukanlah stakeholder yang berdiri terpisah. Mereka adalah satu ekosistem yang saling menguatkan.
Ketika sinergi terbangun, energi positif mengalir dan hasil kerja pun lebih maksimal.
3. Adaptasi Menjadi Skill Utama
Teknologi terus berubah, ekspektasi pelanggan semakin tinggi, dan tren industri bergerak cepat. Namun, ada satu kemampuan yang selalu jadi penentu: adaptasi.
Mereka yang mampu beradaptasi akan tetap relevan, bertahan, dan bahkan tumbuh di tengah perubahan.
Karier Bukan Soal Posisi, Tapi Kontribusi
Pada akhirnya, perjalanan ini mengajarkan bahwa karier tidak diukur dari seberapa tinggi posisi yang kita capai, melainkan dari kontribusi apa yang kita tinggalkan. Nilai itulah yang membentuk legacy kita di dunia kerja.
Inilah pesan yang sering saya bagikan kepada tim, terutama mereka yang baru memulai perjalanan karier di bidang Customer Operation:
“Bukan tentang seberapa cepat naik jabatan, tapi tentang seberapa besar dampak yang bisa kita berikan.”
Refleksi untuk Anda
Kalau dari perjalanan karier Anda sendiri, apa pelajaran paling membekas hingga hari ini?
Mari berbagi pengalaman agar semakin banyak profesional yang terinspirasi untuk tumbuh dan berkontribusi di bidang Customer Experience dan Operations.
2025/09/03
✨ Belajar dari Siapapun, Kapanpun, Dimanapun ✨
Biiznillah, sudah lebih dari 20 tahun saya berkecimpung di industri telekomunikasi dan e-commerce, baik di sisi klien maupun bisnis processor sourcing. Satu hal yang selalu saya pegang: jangan pernah berhenti belajar, dan belajarlah dari siapa saja.Dalam sesi coaching, counseling, maupun mentoring, peran kita bukan sekadar mengarahkan, memberi contoh, atau menyuruh. Lebih dari itu, kita perlu menyelami cara berpikir tim, mendengar gagasan mereka, dan belajar dari pengalaman mereka. Ternyata, banyak hal berharga yang justru datang dari tim sendiri.
Itulah yang kembali saya rasakan saat skip level meeting di Semarang beberapa hari lalu. Dari percakapan yang hangat dengan rekan-rekan di sana, saya mendapat inspirasi baru, sudut pandang segar, dan pelajaran yang tak kalah penting untuk perjalanan bersama.
Karena sejatinya, setiap pertemuan adalah kesempatan untuk tumbuh.
hashtag#Leadership hashtag#Coaching hashtag#Mentoring hashtag#Teamwork
Stoikisme dan Islam: Dari Ketenangan Jiwa ke Jalan Ridha
Beberapa tahun terakhir, filsafat Stoikisme mendadak viral di media sosial Indonesia. Ia hadir dalam bentuk kutipan-kutipipan singkat, gambar estetik, atau video reflektif yang beredar di layar ponsel kita. Nama-nama kuno seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius tiba-tiba akrab di telinga anak muda. Mereka dijadikan pegangan saat menghadapi stres, kekecewaan, atau kegagalan. Fenomena ini tidak lepas dari konsistensi tokoh-tokoh kontemporer seperti Ferry Irwandi, yang dengan tekun menyuarakan Stoikisme sebagai etika praktis. Bagi sebagian orang, Stoikisme terasa segar: sederhana, lugas, dan sangat relevan dengan kehidupan modern yang sering kali menghimpit.
Stoikisme memang menawarkan sesuatu yang kuat. Ajarannya ibarat kompas batin: kendalikan apa yang bisa dikendalikan, dan terimalah dengan tenang apa yang berada di luar kuasa kita. Dari prinsip itu lahir sebuah sikap yang kokoh, sebuah jiwa yang tidak mudah terguncang oleh badai. Orang Stoik percaya, jika hati mampu menguasai diri, maka ia akan mencapai ataraxia; sebuah ketenangan yang tidak lagi tergantung pada dunia luar. Di tengah situasi sosial-ekonomi yang tidak pasti, banyak orang merasa Stoikisme adalah “obat penenang” yang mujarab, seolah memberi payung bagi jiwa yang basah kuyup diguyur ketidakpastian.
Namun, jika ditilik lebih dalam, Stoikisme hanya menjawab sebagian dari pertanyaan manusia. Ada irisan sekaligus perbedaan mendasar antara Stoikisme dan ajaran Islam. Islam pun menekankan pengendalian diri, kesabaran, dan keteguhan hati. Al-Qur’an berkali-kali menyebut ṣabr (kesabaran), tawakkal (berserah setelah ikhtiar), dan riḍā (rela dengan ketentuan Allah) sebagai kunci hidup yang baik. Tetapi Islam menambahkan satu dimensi yang tak dimiliki Stoikisme: dimensi tauhid. Dalam Islam, setiap peristiwa berasal dari Allah, penuh hikmah, dan mengandung pahala bagi orang beriman. Kesabaran bukan sekadar teknik mental, melainkan ibadah yang bernilai abadi.
Di sinilah titik bedanya. Stoikisme berdiri di atas landasan rasionalitas kosmik, percaya bahwa semesta diatur oleh logos yang impersonal. Tatanan alam itu memang bisa mengajarkan harmoni, tetapi tidak memberi wajah kasih. Bagi seorang Stoik, tujuan akhir adalah ketenangan diri. Sedangkan bagi seorang Muslim, tujuan tertinggi bukan hanya tenang, tetapi ridha Allah dan keselamatan di akhirat. Islam mengajarkan bahwa jiwa tidak cukup sekadar tabah, ia harus menemukan makna di balik setiap cobaan.
Ada lagi perbedaan yang penting. Stoikisme sering dianggap “dingin” terhadap emosi. Filosof Stoik menasihati: jangan terlalu larut dalam kesedihan, jangan pula terlalu mabuk dalam kegembiraan. Tetapi Islam memberi ruang bagi fitrah manusia. Nabi Ya‘qub menangis bertahun-tahun karena kehilangan Yusuf, sampai matanya memutih karena sedih. Nabi Muhammad ﷺ meneteskan air mata ketika putranya wafat, lalu bersabda bahwa air mata adalah rahmat. Kesedihan tidak dilarang, yang dilarang hanyalah berlebihan atau berputus asa. Dengan begitu, Islam menempatkan emosi bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai tanda kemanusiaan yang perlu diarahkan.
Bagi generasi Muslim hari ini, Stoikisme bisa menjadi pintu masuk untuk belajar menata diri. Tetapi alternatif sejati justru ada dalam khazanah Islam sendiri: tasawuf dan tazkiyah al-nafs, penyucian jiwa yang mengajarkan keseimbangan lahir dan batin. Melalui dzikir, seorang Muslim menemukan ketenangan lebih dalam dari sekadar “menenangkan pikiran.” Melalui muraqabah; kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi; manusia belajar hidup dalam keheningan batin yang penuh makna. Melalui ikhlas, manusia membersihkan niat sehingga amal kecil pun bernilai besar di sisi-Nya. Sabar menjadi ibadah, ikhlas menjadi cahaya hati, dan tawakkal menjadi penopang langkah dalam menghadapi gelombang kehidupan.
Maka, Islam tidak sekadar menerima Stoikisme, tetapi melampauinya. Jika Stoikisme mengajarkan manusia untuk bertahan dari guncangan hidup, Islam mengajarkan manusia untuk berjalan di atas guncangan itu, menuju Allah dengan hati yang tenang. Jika Stoikisme memberi ketabahan, Islam memberi ketabahan sekaligus makna. Seorang Stoik mungkin bisa berdiri tegak di tengah badai, tetapi seorang Muslim diajari untuk melihat badai itu sebagai ujian cinta dari Tuhan. Inilah perbedaan yang membuat jalan Islam bukan hanya jalan ketenangan, tetapi jalan ridha. Jalan pulang yang sesungguhnya.
2025/08/19
Sjafruddin Prawiranegara: Presiden Darurat yang Nyaris Dihapus dari Ingatan Bangsa
Sejarah Indonesia sering dipenuhi dengan nama-nama besar: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, hingga Jenderal Soedirman. Namun, ada satu sosok yang perannya begitu krusial pada masa genting Republik, tetapi nyaris hilang dari buku-buku pelajaran: Sjafruddin Prawiranegara.
Ketika Republik Hampir Lumpuh
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Yogyakarta, ibu kota Republik, jatuh. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah pemimpin nasional ditawan. Secara teori, Indonesia lumpuh. Dunia internasional bisa saja menganggap Republik sudah bubar.
Namun di titik kritis itulah, Sjafruddin Prawiranegara, saat itu Menteri Kemakmuran yang tengah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, mengambil keputusan berani: mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Langkah ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan strategi penyelamatan negara. Melalui PDRI, Indonesia tetap punya kepala pemerintahan yang sah, sehingga diplomasi luar negeri dan perlawanan rakyat tidak kehilangan legitimasi.
Tanpa PDRI, kemungkinan besar dunia akan menganggap Republik sudah tamat. Indonesia mungkin akan bernasib sama seperti banyak negara jajahan lain yang gagal merdeka.
Presiden Darurat yang Tidak Dicatat
Fakta bahwa Sjafruddin adalah Presiden Darurat Republik Indonesia jarang muncul dalam buku-buku sejarah sekolah. Padahal, dari 19 Desember 1948 sampai Juli 1949, beliaulah yang menjalankan roda pemerintahan. Dalam masa itu, Republik masih bisa melakukan komunikasi dengan dunia internasional, menjaga semangat perlawanan, dan memberi bukti bahwa Indonesia belum menyerah.
Namun, ketika Soekarno-Hatta kembali dari penahanan dan PDRI menyerahkan mandat, nama Sjafruddin seolah dipinggirkan.
Politik yang Menyingkirkan
Mengapa demikian? Salah satu jawabannya ada pada politik pasca-revolusi. Sjafruddin kemudian aktif di Partai Masyumi, partai besar yang mewakili aspirasi Islam modernis. Namun, sejak awal 1950-an, hubungan Masyumi dengan penguasa semakin tegang.
Masyumi dikaitkan dengan PRRI/Permesta dan dicap sebagai oposisi yang membahayakan stabilitas negara. Ditambah lagi, hasutan dan provokasi politik yang dimainkan PKI membuat Masyumi semakin dipandang sebagai “musuh negara”. Pada akhirnya, Masyumi dibubarkan dan banyak tokohnya dipenjarakan. Dalam iklim politik seperti itu, wajar bila jasa Sjafruddin yang identik dengan Masyumi diabaikan, bahkan dihapus dari narasi resmi sejarah nasional.
Ironi Sejarah
Inilah ironi: sosok yang menyelamatkan Republik dari kebangkrutan politik dan kehancuran diplomasi internasional justru dilupakan bangsanya sendiri. Generasi muda lebih mengenal pahlawan asing atau selebritas ketimbang Sjafruddin Prawiranegara. Padahal, tanpa keberaniannya, Indonesia mungkin tidak pernah sampai pada tahap pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Saatnya Mengingat Kembali
Generasi muda Indonesia perlu tahu bahwa sejarah tidak hitam-putih. Ada tokoh-tokoh besar yang dipinggirkan karena politik, bukan karena kurang berjasa. Mengingat Sjafruddin berarti belajar bahwa keberlangsungan negara ini bukan hanya ditopang satu-dua tokoh, melainkan oleh banyak figur yang siap mengambil risiko demi kemerdekaan.
Sejarah tidak boleh hanya menjadi propaganda penguasa. Sejarah harus jujur, adil, dan memberikan tempat bagi siapa pun yang berjasa. Dan Sjafruddin Prawiranegara adalah salah satunya, seorang Presiden Darurat yang berjasa besar, meski nyaris dihapus dari ingatan bangsa.
#jasmerah #jashijau @sorotan #jangkauanluas Narasipostmedia Literasi Kata Chandu Sejarah #sejarah #indonesia #masyumi Moeflich H. Hart Ahmad Mansur Suryanegara
Sejarah Bluetooth: Dari Raja Bergigi Biru hingga Teknologi Tanpa Kabel
Harald punya julukan unik: “Bluetooth”, yang dalam bahasa Inggris berarti “gigi biru”. Sejarawan percaya julukan itu muncul karena satu giginya berwarna kebiruan atau gelap, entah akibat penyakit gigi atau kebiasaan makan tertentu. Namun, yang membuat namanya abadi bukanlah warna giginya, melainkan kemampuannya menyatukan suku-suku Skandinavia yang tadinya terpecah.
Harald juga dikenal membawa Kristen ke wilayahnya, memperkuat pertahanan, dan membangun infrastruktur yang menghubungkan berbagai daerah. Dalam satu kalimat sederhana: ia adalah pemersatu.
Dari Skandinavia ke Dunia Digital
Lompatan ke masa kini: akhir abad ke-20. Tahun 1994, di kota Lund, Swedia, perusahaan telekomunikasi Ericsson sedang mencari cara menghubungkan perangkat elektronik secara nirkabel jarak pendek.
Di bawah kepemimpinan Dr. Jaap Haartsen, tim peneliti Ericsson mengembangkan sistem komunikasi berbasis gelombang radio 2,4 GHz yang hemat energi. Tujuannya sederhana tapi revolusioner:
• Menghilangkan kabel antara ponsel dan perangkat tambahan
• Membuat berbagai merek dan jenis perangkat bisa “bicara” dengan bahasa yang sama
Teknologi ini kemudian mendapat dukungan dari raksasa teknologi lain; IBM, Intel, Nokia, dan Toshiba; yang pada 1998 membentuk Bluetooth Special Interest Group (SIG) untuk menjadikannya standar global.
Kenapa Namanya Bluetooth?
Di sinilah kisah Harald kembali hidup. Saat proyek ini masih dalam tahap pengembangan, Jim Kardach dari Intel (yang juga penggemar sejarah Nordik) mengusulkan nama “Bluetooth”. Alasannya:
“Seperti Raja Harald menyatukan Skandinavia, teknologi ini akan menyatukan berbagai perangkat komunikasi.”
Nama itu awalnya hanya dimaksudkan sebagai codename proyek. Namun, ketika para pendiri menyadari belum ada nama komersial yang lebih kuat, “Bluetooth” resmi dipakai.
Simbol Rahasia di Logo
Logo Bluetooth bukan sekadar ikon acak. Desainnya menggabungkan dua huruf rune Nordik:
• ᚼ (H) untuk Harald
• ᛒ (B) untuk Bluetooth
Keduanya disatukan, melambangkan persatuan yang menjadi roh dari teknologi ini.
Peluncuran dan Dampak
Teknologi Bluetooth resmi dipublikasikan tahun 1998. Tahun 1999, produk konsumen pertama dengan Bluetooth lahir: handsfree nirkabel untuk ponsel. Sejak itu, Bluetooth berkembang menjadi standar komunikasi global, dipakai di headset, speaker, komputer, kamera, mobil, hingga perangkat IoT.
Dari seorang raja bergigi biru yang mempersatukan bangsa, hingga sebuah teknologi yang mempersatukan perangkat di seluruh dunia. Kisah Bluetooth adalah bukti bahwa kadang, sejarah dan teknologi bisa bertaut dalam cara yang paling tak terduga.
#teknologi #fersus #jangkauansemuaorang #Bluetooth #skandinavia #kingharald #denmark #norway #sweden
2025/07/16
Menumbuhkan Kejeniusan di Contact Center: Belajar dari The Geography of Genius
Dalam bukunya yang terkenal, The Geography of Genius, Eric Weiner mengajak kita menjelajahi tempat-tempat paling kreatif dalam sejarah manusia; Athena, Hangzhou, Florence, Edinburgh, hingga Silicon Valley. Di tiap tempat, ia menemukan satu benang merah yang tak terbantahkan: kejeniusaan bukan sesuatu yang lahir secara tiba-tiba atau murni dari bakat bawaan, melainkan hasil dari lingkungan yang kaya akan budaya belajar, diskusi, dan kolaborasi.
Pertanyaannya: mungkinkah kita menumbuhkan ekosistem seperti itu, bukan di kota-kota besar dunia, melainkan di tempat kerja kita sehari-hari? Jawabannya: sangat mungkin. Bahkan di tengah kesibukan operasional sebuah contact center sekalipun.
Mengapa Contact Center Butuh Budaya Belajar dan Berbagi?
Contact center sering dianggap sebagai pusat layanan cepat, penuh SOP, dan ritme kerja yang repetitif. Namun di balik layar, pekerjaan agen contact center sangatlah kompleks: mereka menjadi ujung tombak interaksi brand dengan pelanggan, memecahkan masalah, dan menjaga kepuasan pelanggan dalam tekanan waktu yang sempit.
Tanpa budaya belajar, agen akan berhenti berkembang.
Tanpa budaya berbagi, pengetahuan praktis akan terputus, hanya bertahan dalam kepala masing-masing individu.
Tanpa komunitas keilmuan, organisasi kehilangan potensi besar untuk tumbuh dari dalam.
Padahal, seperti yang dikisahkan Weiner, kejeniusaan justru lahir dari lingkungan yang ramai, yang bising oleh pertanyaan, terbuka terhadap perbedaan, dan terus bergerak dalam diskusi.
Membangun “Athena” di Contact Center
Berikut beberapa prinsip yang bisa kita tiru dari kota-kota “genius” versi Eric Weiner dan terapkan di contact center:
1. Sediakan Ruang untuk Rasa Ingin Tahu
Athena dikenal karena filsuf-filsufnya yang tidak takut bertanya. Di contact center, penting menyediakan ruang di mana agen bisa bertanya, mengusulkan perbaikan, atau menyampaikan kebingungan tanpa takut dihakimi.
2. Dorong Budaya Berbagi Pengetahuan
Di Hangzhou dan Florence, ide-ide menyebar cepat karena adanya komunitas yang aktif. Demikian pula, agen perlu dilatih untuk saling berbagi teknik komunikasi, pengalaman kasus sulit, hingga best practice yang mereka temukan di lapangan.
3. Rayakan Keberagaman Pendekatan
Weiner menyebut bahwa keberagaman (diversity) adalah unsur penting dalam munculnya inovasi. Dalam tim contact center, keberagaman pengalaman, gaya bicara, atau strategi pendekatan pelanggan harus dihargai dan dibagikan.
4. Bangun Komunitas Pembelajar
Buat sesi berbagi rutin, micro-learning, mentoring antar agen senior-junior, hingga gamifikasi untuk tantangan knowledge sharing. Dari sana bisa lahir komunitas internal yang hidup, seperti “klub pemikir” ala Edinburgh abad ke-18.
5. Jangan Takut Kekacauan
Weiner menegaskan bahwa kejeniusan kerap lahir dari kekacauan yang terorganisir. Artinya, jangan takut dengan percobaan, ketidaksempurnaan, atau bahkan kegagalan. Di balik satu kesalahan, bisa lahir solusi jitu yang belum pernah dicoba sebelumnya.
Penting! Kejeniusan Itu Menular
Buku The Geography of Genius memberi pelajaran penting: kejeniusaan bisa ditumbuhkan, dan lebih dari itu, ia bisa menular. Asal ada budaya belajar, budaya berbagi, dan ruang sosial yang aktif, contact center bisa menjadi inkubator bagi agen-agen cerdas yang tidak hanya andal dalam melayani, tapi juga berkembang menjadi pemikir, pemecah masalah, dan bahkan pemimpin masa depan.
Mewujudkan itu semua bukan hanya tanggung jawab tim Learning & Development, tetapi tanggung jawab bersama, mulai dari pimpinan tim hingga setiap agen yang punya satu ide kecil untuk dibagikan.
Mari kita bangun Athena kita sendiri.











