"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

2025/10/09

Matinya Kepakaran di Era AI?

 

Matinya Kepakaran di Era AI: Ketika Semua Orang Bisa Jadi “Ahli”

Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh sebuah poster acara dari Universitas Sebelas Maret (UNS).
Dalam acara Sebelas Maret Islamic Festival 2025, panitia menghadirkan Guru Gembul sebagai pembicara utama.
Ya, bukan profesor sejarah Islam, bukan dosen filsafat, tapi seorang kreator konten edukatif yang populer di YouTube dan TikTok.

Bagi sebagian orang, ini hal biasa — bahkan keren, karena menunjukkan bahwa dunia pendidikan mulai “melek zaman.”
Namun bagi sebagian lain, ini adalah tanda tanya besar:
Apakah ini pertanda matinya kepakaran?
Apakah generasi sekarang kehilangan respek terhadap para ahli yang puluhan tahun menekuni bidangnya?


Dari Kampus ke Konten: Pergeseran Otoritas Ilmu

Kita hidup di masa ketika otoritas ilmu berpindah tangan.
Dulu, ruang kuliah dan jurnal ilmiah adalah sumber utama pengetahuan.
Sekarang, TikTok dan YouTube menjadi ruang belajar baru bagi jutaan orang.

Para akademisi sering berbicara dengan bahasa jurnal, penuh istilah asing, dan minim konteks sosial.
Sementara kreator seperti Guru Gembul justru mengubah sejarah, filsafat, dan agama menjadi cerita yang hidup.

Ia tidak menulis di jurnal, tapi di hati audiensnya.
Dan di dunia yang dikendalikan algoritma, engagement sering lebih kuat daripada gelar akademik.

Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi pergeseran budaya:
dari otoritas ke aksesibilitas, dari siapa yang tahu ke siapa yang bisa menjelaskan.

AI dan Kematian Proses Belajar

Kemudian datanglah era baru: Artificial Intelligence (AI).
Dengan ChatGPT, Claude, Gemini, dan lainnya, semua orang bisa menjadi “pakar instan.”
Cukup ketik satu prompt, dan dalam hitungan detik kamu bisa punya esai sekelas mahasiswa S2.

AI membuat pengetahuan terasa mudah, tapi justru karena itulah, proses belajar kehilangan makna.

AI bukan guru sejati. Ia hanya mesin prediksi kata.
Ia tahu banyak, tapi tidak memahami.
Ia bisa menjawab semua hal, tapi tak bisa mempertanggungjawabkan satu pun.

Jika manusia terlalu bergantung padanya, maka yang mati bukan kepakaran,
tapi etos intelektual , yang merupakan semangat untuk belajar, meneliti, dan berpikir kritis.

Kreator vs Akademisi: Pertarungan atau Kolaborasi?

Fenomena seperti Guru Gembul tidak seharusnya dianggap ancaman bagi dunia akademik.
Ia adalah cermin bahwa kampus perlu belajar berbicara dalam bahasa masyarakat.

Kreator punya kemampuan menjangkau; akademisi punya kedalaman berpikir.
Kalau keduanya bersatu, kita akan memiliki ilmu yang mencerahkan sekaligus memasyarakat.

Sayangnya, banyak kampus masih sibuk dengan seminar formal dan jurnal yang hanya dibaca segelintir orang.
Sementara masyarakat sudah bergerak ke arah pengetahuan cepat, visual, dan emosional.
Di sinilah “kematian kepakaran” terjadi. Sebenarnya itu terjadi bukan karena AI, tapi karena pakarnya berhenti berbicara kepada umat. Tepatnya, berhenti berbicara dengan bahasa yang lebih diminati umat.

Apa Sikap Terbaik Kita di Era AI?

  1. Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti berpikir.
    Ia bisa menulis untukmu, tapi tidak bisa menggantikan pemahamanmu.

  2. Bangun jembatan antara akademisi dan publik.
    Akademisi perlu belajar berkomunikasi seperti kreator; kreator perlu berakar pada riset akademik.

  3. Rawat rasa ingin tahu.
    Jangan puas dengan jawaban cepat. Belajar sejati adalah proses, bukan hasil instan.

Penutup: Yang Mati Bukan Pakar, Tapi Etos Belajar

“Matinya kepakaran” bukan karena munculnya AI atau populernya Guru Gembul.
Kepakaran mati karena manusia berhenti menghargai proses belajar yang panjang —
karena kita lebih tertarik pada yang viral daripada yang valid.

AI hanyalah cermin zaman.
Ia memperlihatkan siapa yang sungguh ingin belajar,
dan siapa yang hanya ingin tampak pintar.


Penting!
Di masa depan, kepakaran mungkin tidak lagi ditentukan oleh gelar atau algoritma,
melainkan oleh kejujuran intelektual: siapa yang tetap mau belajar, meski tidak sedang viral.


2025/10/03

Asal-usul Istilah Artificial Intelligence

*photo is generated by Gemini AI

Ketika hari ini kita bicara tentang Artificial Intelligence (AI), seringkali pikiran kita langsung melayang ke mesin pencari pintar, robot, atau bahkan ChatGPT. Namun, tahukah Anda kapan istilah ini pertama kali lahir?

Jawabannya: tahun 1956, di sebuah konferensi musim panas yang sederhana namun bersejarah di Dartmouth College, Amerika Serikat.

Siapa yang Mencetuskan?

Nama John McCarthy tercatat sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan frasa Artificial Intelligence. Ia seorang profesor matematika dan ilmu komputer, yang kala itu percaya bahwa kecerdasan manusia bisa ditiru oleh mesin jika dipahami secara sistematis.

Konteksnya

McCarthy bersama tiga rekannya – Marvin Minsky, Claude Shannon, dan Nathaniel Rochester – menyusun proposal untuk sebuah pertemuan riset. Proposal itu diberi judul:

“Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence.”

Di sanalah istilah Artificial Intelligence muncul untuk pertama kalinya. Dalam dokumen itu, McCarthy menulis sebuah visi:

"Setiap aspek pembelajaran atau kecerdasan dapat dijelaskan dengan begitu tepat, sehingga sebuah mesin dapat dibuat untuk menirunya."

Sebuah kalimat sederhana, tapi isinya revolusioner.

Dampak Sejarahnya

Meski konferensi Dartmouth tidak langsung menghasilkan terobosan besar, istilah Artificial Intelligence menjadi pondasi baru dalam dunia sains komputer. Dari sinilah, berbagai penelitian lahir: mulai dari sistem pakar di era 1970-an, gelombang machine learning di 1980–1990-an, hingga ledakan deep learning di abad ke-21.

Refleksi

Menariknya, istilah Artificial Intelligence bukan lahir dari percakapan publik atau media, melainkan dari imajinasi akademis sekelompok ilmuwan yang berani bermimpi. Mereka tidak hanya bertanya “bisakah mesin berpikir?”, tapi lebih jauh lagi: “bagaimana kita membuatnya berpikir?”

Dan kini, hampir tujuh dekade kemudian, mimpi itu sedang kita saksikan wujudnya di depan mata.

--
*from any source

2025/09/19

Empati, Sinergi, Adaptasi: Kunci Sukses 20 Tahun di Dunia Customer Experience

foto: Istimewa

Selama lebih dari 20 tahun berkarier di bidang Customer Operation, saya berkesempatan belajar banyak hal. Bukan hanya dari principal, tetapi juga dari tim internal dan mitra BPO (Business Process Outsourcing) yang menjadi bagian penting dalam perjalanan ini.

Dari proses panjang tersebut, ada tiga pelajaran utama yang paling membekas dan terus relevan hingga hari ini:

1. Empati Adalah Kunci

Dalam dunia customer experience, kemampuan mendengar sebelum berbicara adalah keterampilan paling berharga. Dengan empati, kita memahami permasalahan pelanggan secara lebih utuh, sehingga solusi yang diberikan bukan sekadar jawaban, melainkan benar-benar kebutuhan mereka.

2. Sinergi Itu Energi

Customer Operation tidak bisa berjalan sendiri. Principal, internal team, dan mitra BPO bukanlah stakeholder yang berdiri terpisah. Mereka adalah satu ekosistem yang saling menguatkan.
Ketika sinergi terbangun, energi positif mengalir dan hasil kerja pun lebih maksimal.

3. Adaptasi Menjadi Skill Utama

Teknologi terus berubah, ekspektasi pelanggan semakin tinggi, dan tren industri bergerak cepat. Namun, ada satu kemampuan yang selalu jadi penentu: adaptasi.
Mereka yang mampu beradaptasi akan tetap relevan, bertahan, dan bahkan tumbuh di tengah perubahan.

Karier Bukan Soal Posisi, Tapi Kontribusi

Pada akhirnya, perjalanan ini mengajarkan bahwa karier tidak diukur dari seberapa tinggi posisi yang kita capai, melainkan dari kontribusi apa yang kita tinggalkan. Nilai itulah yang membentuk legacy kita di dunia kerja.

Inilah pesan yang sering saya bagikan kepada tim, terutama mereka yang baru memulai perjalanan karier di bidang Customer Operation:

“Bukan tentang seberapa cepat naik jabatan, tapi tentang seberapa besar dampak yang bisa kita berikan.”

Refleksi untuk Anda

Kalau dari perjalanan karier Anda sendiri, apa pelajaran paling membekas hingga hari ini?
Mari berbagi pengalaman agar semakin banyak profesional yang terinspirasi untuk tumbuh dan berkontribusi di bidang Customer Experience dan Operations.

2025/09/03

✨ Belajar dari Siapapun, Kapanpun, Dimanapun ✨

Biiznillah, sudah lebih dari 20 tahun saya berkecimpung di industri telekomunikasi dan e-commerce, baik di sisi klien maupun bisnis processor sourcing. Satu hal yang selalu saya pegang: jangan pernah berhenti belajar, dan belajarlah dari siapa saja.

Dalam sesi coaching, counseling, maupun mentoring, peran kita bukan sekadar mengarahkan, memberi contoh, atau menyuruh. Lebih dari itu, kita perlu menyelami cara berpikir tim, mendengar gagasan mereka, dan belajar dari pengalaman mereka. Ternyata, banyak hal berharga yang justru datang dari tim sendiri.

Itulah yang kembali saya rasakan saat skip level meeting di Semarang beberapa hari lalu. Dari percakapan yang hangat dengan rekan-rekan di sana, saya mendapat inspirasi baru, sudut pandang segar, dan pelajaran yang tak kalah penting untuk perjalanan bersama.

Karena sejatinya, setiap pertemuan adalah kesempatan untuk tumbuh.

hashtagLeadership hashtagCoaching hashtagMentoring hashtagTeamwork

Stoikisme dan Islam: Dari Ketenangan Jiwa ke Jalan Ridha

Beberapa tahun terakhir, filsafat Stoikisme mendadak viral di media sosial Indonesia. Ia hadir dalam bentuk kutipan-kutipipan singkat, gambar estetik, atau video reflektif yang beredar di layar ponsel kita. Nama-nama kuno seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius tiba-tiba akrab di telinga anak muda. Mereka dijadikan pegangan saat menghadapi stres, kekecewaan, atau kegagalan. Fenomena ini tidak lepas dari konsistensi tokoh-tokoh kontemporer seperti Ferry Irwandi, yang dengan tekun menyuarakan Stoikisme sebagai etika praktis. Bagi sebagian orang, Stoikisme terasa segar: sederhana, lugas, dan sangat relevan dengan kehidupan modern yang sering kali menghimpit.

Stoikisme memang menawarkan sesuatu yang kuat. Ajarannya ibarat kompas batin: kendalikan apa yang bisa dikendalikan, dan terimalah dengan tenang apa yang berada di luar kuasa kita. Dari prinsip itu lahir sebuah sikap yang kokoh, sebuah jiwa yang tidak mudah terguncang oleh badai. Orang Stoik percaya, jika hati mampu menguasai diri, maka ia akan mencapai ataraxia; sebuah ketenangan yang tidak lagi tergantung pada dunia luar. Di tengah situasi sosial-ekonomi yang tidak pasti, banyak orang merasa Stoikisme adalah “obat penenang” yang mujarab, seolah memberi payung bagi jiwa yang basah kuyup diguyur ketidakpastian.

Namun, jika ditilik lebih dalam, Stoikisme hanya menjawab sebagian dari pertanyaan manusia. Ada irisan sekaligus perbedaan mendasar antara Stoikisme dan ajaran Islam. Islam pun menekankan pengendalian diri, kesabaran, dan keteguhan hati. Al-Qur’an berkali-kali menyebut ṣabr (kesabaran), tawakkal (berserah setelah ikhtiar), dan riḍā (rela dengan ketentuan Allah) sebagai kunci hidup yang baik. Tetapi Islam menambahkan satu dimensi yang tak dimiliki Stoikisme: dimensi tauhid. Dalam Islam, setiap peristiwa berasal dari Allah, penuh hikmah, dan mengandung pahala bagi orang beriman. Kesabaran bukan sekadar teknik mental, melainkan ibadah yang bernilai abadi.

Di sinilah titik bedanya. Stoikisme berdiri di atas landasan rasionalitas kosmik, percaya bahwa semesta diatur oleh logos yang impersonal. Tatanan alam itu memang bisa mengajarkan harmoni, tetapi tidak memberi wajah kasih. Bagi seorang Stoik, tujuan akhir adalah ketenangan diri. Sedangkan bagi seorang Muslim, tujuan tertinggi bukan hanya tenang, tetapi ridha Allah dan keselamatan di akhirat. Islam mengajarkan bahwa jiwa tidak cukup sekadar tabah, ia harus menemukan makna di balik setiap cobaan.

Ada lagi perbedaan yang penting. Stoikisme sering dianggap “dingin” terhadap emosi. Filosof Stoik menasihati: jangan terlalu larut dalam kesedihan, jangan pula terlalu mabuk dalam kegembiraan. Tetapi Islam memberi ruang bagi fitrah manusia. Nabi Ya‘qub menangis bertahun-tahun karena kehilangan Yusuf, sampai matanya memutih karena sedih. Nabi Muhammad ﷺ meneteskan air mata ketika putranya wafat, lalu bersabda bahwa air mata adalah rahmat. Kesedihan tidak dilarang, yang dilarang hanyalah berlebihan atau berputus asa. Dengan begitu, Islam menempatkan emosi bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai tanda kemanusiaan yang perlu diarahkan.

Bagi generasi Muslim hari ini, Stoikisme bisa menjadi pintu masuk untuk belajar menata diri. Tetapi alternatif sejati justru ada dalam khazanah Islam sendiri: tasawuf dan tazkiyah al-nafs, penyucian jiwa yang mengajarkan keseimbangan lahir dan batin. Melalui dzikir, seorang Muslim menemukan ketenangan lebih dalam dari sekadar “menenangkan pikiran.” Melalui muraqabah; kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi; manusia belajar hidup dalam keheningan batin yang penuh makna. Melalui ikhlas, manusia membersihkan niat sehingga amal kecil pun bernilai besar di sisi-Nya. Sabar menjadi ibadah, ikhlas menjadi cahaya hati, dan tawakkal menjadi penopang langkah dalam menghadapi gelombang kehidupan.

Maka, Islam tidak sekadar menerima Stoikisme, tetapi melampauinya. Jika Stoikisme mengajarkan manusia untuk bertahan dari guncangan hidup, Islam mengajarkan manusia untuk berjalan di atas guncangan itu, menuju Allah dengan hati yang tenang. Jika Stoikisme memberi ketabahan, Islam memberi ketabahan sekaligus makna. Seorang Stoik mungkin bisa berdiri tegak di tengah badai, tetapi seorang Muslim diajari untuk melihat badai itu sebagai ujian cinta dari Tuhan. Inilah perbedaan yang membuat jalan Islam bukan hanya jalan ketenangan, tetapi jalan ridha. Jalan pulang yang sesungguhnya.

2025/08/19

Sjafruddin Prawiranegara: Presiden Darurat yang Nyaris Dihapus dari Ingatan Bangsa


Sejarah Indonesia sering dipenuhi dengan nama-nama besar: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, hingga Jenderal Soedirman. Namun, ada satu sosok yang perannya begitu krusial pada masa genting Republik, tetapi nyaris hilang dari buku-buku pelajaran: Sjafruddin Prawiranegara.

Ketika Republik Hampir Lumpuh

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Yogyakarta, ibu kota Republik, jatuh. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah pemimpin nasional ditawan. Secara teori, Indonesia lumpuh. Dunia internasional bisa saja menganggap Republik sudah bubar.

Namun di titik kritis itulah, Sjafruddin Prawiranegara, saat itu Menteri Kemakmuran yang tengah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, mengambil keputusan berani: mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Langkah ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan strategi penyelamatan negara. Melalui PDRI, Indonesia tetap punya kepala pemerintahan yang sah, sehingga diplomasi luar negeri dan perlawanan rakyat tidak kehilangan legitimasi. 

Tanpa PDRI, kemungkinan besar dunia akan menganggap Republik sudah tamat. Indonesia mungkin akan bernasib sama seperti banyak negara jajahan lain yang gagal merdeka.

Presiden Darurat yang Tidak Dicatat

Fakta bahwa Sjafruddin adalah Presiden Darurat Republik Indonesia jarang muncul dalam buku-buku sejarah sekolah. Padahal, dari 19 Desember 1948 sampai Juli 1949, beliaulah yang menjalankan roda pemerintahan. Dalam masa itu, Republik masih bisa melakukan komunikasi dengan dunia internasional, menjaga semangat perlawanan, dan memberi bukti bahwa Indonesia belum menyerah.

Namun, ketika Soekarno-Hatta kembali dari penahanan dan PDRI menyerahkan mandat, nama Sjafruddin seolah dipinggirkan.

Politik yang Menyingkirkan

Mengapa demikian? Salah satu jawabannya ada pada politik pasca-revolusi. Sjafruddin kemudian aktif di Partai Masyumi, partai besar yang mewakili aspirasi Islam modernis. Namun, sejak awal 1950-an, hubungan Masyumi dengan penguasa semakin tegang.

Masyumi dikaitkan dengan PRRI/Permesta dan dicap sebagai oposisi yang membahayakan stabilitas negara. Ditambah lagi, hasutan dan provokasi politik yang dimainkan PKI membuat Masyumi semakin dipandang sebagai “musuh negara”. Pada akhirnya, Masyumi dibubarkan dan banyak tokohnya dipenjarakan. Dalam iklim politik seperti itu, wajar bila jasa Sjafruddin yang identik dengan Masyumi diabaikan, bahkan dihapus dari narasi resmi sejarah nasional.

Ironi Sejarah

Inilah ironi: sosok yang menyelamatkan Republik dari kebangkrutan politik dan kehancuran diplomasi internasional justru dilupakan bangsanya sendiri. Generasi muda lebih mengenal pahlawan asing atau selebritas ketimbang Sjafruddin Prawiranegara. Padahal, tanpa keberaniannya, Indonesia mungkin tidak pernah sampai pada tahap pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Saatnya Mengingat Kembali

Generasi muda Indonesia perlu tahu bahwa sejarah tidak hitam-putih. Ada tokoh-tokoh besar yang dipinggirkan karena politik, bukan karena kurang berjasa. Mengingat Sjafruddin berarti belajar bahwa keberlangsungan negara ini bukan hanya ditopang satu-dua tokoh, melainkan oleh banyak figur yang siap mengambil risiko demi kemerdekaan.

Sejarah tidak boleh hanya menjadi propaganda penguasa. Sejarah harus jujur, adil, dan memberikan tempat bagi siapa pun yang berjasa. Dan Sjafruddin Prawiranegara adalah salah satunya, seorang Presiden Darurat yang berjasa besar, meski nyaris dihapus dari ingatan bangsa.

#jasmerah #jashijau @sorotan #jangkauanluas Narasipostmedia Literasi Kata Chandu Sejarah #sejarah #indonesia #masyumi Moeflich H. Hart Ahmad Mansur Suryanegara

Sejarah Bluetooth: Dari Raja Bergigi Biru hingga Teknologi Tanpa Kabel

Pada abad ke-10, jauh sebelum ponsel pintar, laptop, dan smartwatch ada, Eropa Utara diwarnai pertikaian antar suku. Di wilayah yang kini dikenal sebagai Denmark, lahirlah seorang raja bernama Harald Gormsson. Ia memerintah Denmark (sekitar 958 M) dan kemudian menaklukkan sebagian Norwegia.

Harald punya julukan unik: “Bluetooth”, yang dalam bahasa Inggris berarti “gigi biru”. Sejarawan percaya julukan itu muncul karena satu giginya berwarna kebiruan atau gelap, entah akibat penyakit gigi atau kebiasaan makan tertentu. Namun, yang membuat namanya abadi bukanlah warna giginya, melainkan kemampuannya menyatukan suku-suku Skandinavia yang tadinya terpecah.

Harald juga dikenal membawa Kristen ke wilayahnya, memperkuat pertahanan, dan membangun infrastruktur yang menghubungkan berbagai daerah. Dalam satu kalimat sederhana: ia adalah pemersatu.


Dari Skandinavia ke Dunia Digital

Lompatan ke masa kini: akhir abad ke-20. Tahun 1994, di kota Lund, Swedia, perusahaan telekomunikasi Ericsson sedang mencari cara menghubungkan perangkat elektronik secara nirkabel jarak pendek.

Di bawah kepemimpinan Dr. Jaap Haartsen, tim peneliti Ericsson mengembangkan sistem komunikasi berbasis gelombang radio 2,4 GHz yang hemat energi. Tujuannya sederhana tapi revolusioner:

 • Menghilangkan kabel antara ponsel dan perangkat tambahan

 • Membuat berbagai merek dan jenis perangkat bisa “bicara” dengan bahasa yang sama

Teknologi ini kemudian mendapat dukungan dari raksasa teknologi lain; IBM, Intel, Nokia, dan Toshiba; yang pada 1998 membentuk Bluetooth Special Interest Group (SIG) untuk menjadikannya standar global.


Kenapa Namanya Bluetooth?

Di sinilah kisah Harald kembali hidup. Saat proyek ini masih dalam tahap pengembangan, Jim Kardach dari Intel (yang juga penggemar sejarah Nordik) mengusulkan nama “Bluetooth”. Alasannya:

“Seperti Raja Harald menyatukan Skandinavia, teknologi ini akan menyatukan berbagai perangkat komunikasi.”

Nama itu awalnya hanya dimaksudkan sebagai codename proyek. Namun, ketika para pendiri menyadari belum ada nama komersial yang lebih kuat, “Bluetooth” resmi dipakai.


Simbol Rahasia di Logo

Logo Bluetooth bukan sekadar ikon acak. Desainnya menggabungkan dua huruf rune Nordik:

 • ᚼ (H) untuk Harald

 • ᛒ (B) untuk Bluetooth

Keduanya disatukan, melambangkan persatuan yang menjadi roh dari teknologi ini.


Peluncuran dan Dampak

Teknologi Bluetooth resmi dipublikasikan tahun 1998. Tahun 1999, produk konsumen pertama dengan Bluetooth lahir: handsfree nirkabel untuk ponsel. Sejak itu, Bluetooth berkembang menjadi standar komunikasi global, dipakai di headset, speaker, komputer, kamera, mobil, hingga perangkat IoT.

Dari seorang raja bergigi biru yang mempersatukan bangsa, hingga sebuah teknologi yang mempersatukan perangkat di seluruh dunia. Kisah Bluetooth adalah bukti bahwa kadang, sejarah dan teknologi bisa bertaut dalam cara yang paling tak terduga.

#teknologi #fersus #jangkauansemuaorang #Bluetooth #skandinavia #kingharald #denmark #norway #sweden

2025/07/16

Menumbuhkan Kejeniusan di Contact Center: Belajar dari The Geography of Genius

Dalam bukunya yang terkenal, The Geography of Genius, Eric Weiner mengajak kita menjelajahi tempat-tempat paling kreatif dalam sejarah manusia; Athena, Hangzhou, Florence, Edinburgh, hingga Silicon Valley. Di tiap tempat, ia menemukan satu benang merah yang tak terbantahkan: kejeniusaan bukan sesuatu yang lahir secara tiba-tiba atau murni dari bakat bawaan, melainkan hasil dari lingkungan yang kaya akan budaya belajar, diskusi, dan kolaborasi.

Pertanyaannya: mungkinkah kita menumbuhkan ekosistem seperti itu, bukan di kota-kota besar dunia, melainkan di tempat kerja kita sehari-hari? Jawabannya: sangat mungkin. Bahkan di tengah kesibukan operasional sebuah contact center sekalipun.

Mengapa Contact Center Butuh Budaya Belajar dan Berbagi?

Contact center sering dianggap sebagai pusat layanan cepat, penuh SOP, dan ritme kerja yang repetitif. Namun di balik layar, pekerjaan agen contact center sangatlah kompleks: mereka menjadi ujung tombak interaksi brand dengan pelanggan, memecahkan masalah, dan menjaga kepuasan pelanggan dalam tekanan waktu yang sempit.

Tanpa budaya belajar, agen akan berhenti berkembang.

Tanpa budaya berbagi, pengetahuan praktis akan terputus, hanya bertahan dalam kepala masing-masing individu.

Tanpa komunitas keilmuan, organisasi kehilangan potensi besar untuk tumbuh dari dalam.

Padahal, seperti yang dikisahkan Weiner, kejeniusaan justru lahir dari lingkungan yang ramai, yang bising oleh pertanyaan, terbuka terhadap perbedaan, dan terus bergerak dalam diskusi.


Membangun “Athena” di Contact Center

Berikut beberapa prinsip yang bisa kita tiru dari kota-kota “genius” versi Eric Weiner dan terapkan di contact center:

1. Sediakan Ruang untuk Rasa Ingin Tahu

Athena dikenal karena filsuf-filsufnya yang tidak takut bertanya. Di contact center, penting menyediakan ruang di mana agen bisa bertanya, mengusulkan perbaikan, atau menyampaikan kebingungan tanpa takut dihakimi.

2. Dorong Budaya Berbagi Pengetahuan

Di Hangzhou dan Florence, ide-ide menyebar cepat karena adanya komunitas yang aktif. Demikian pula, agen perlu dilatih untuk saling berbagi teknik komunikasi, pengalaman kasus sulit, hingga best practice yang mereka temukan di lapangan.

3. Rayakan Keberagaman Pendekatan

Weiner menyebut bahwa keberagaman (diversity) adalah unsur penting dalam munculnya inovasi. Dalam tim contact center, keberagaman pengalaman, gaya bicara, atau strategi pendekatan pelanggan harus dihargai dan dibagikan.

4. Bangun Komunitas Pembelajar

Buat sesi berbagi rutin, micro-learning, mentoring antar agen senior-junior, hingga gamifikasi untuk tantangan knowledge sharing. Dari sana bisa lahir komunitas internal yang hidup, seperti “klub pemikir” ala Edinburgh abad ke-18.

5. Jangan Takut Kekacauan

Weiner menegaskan bahwa kejeniusan kerap lahir dari kekacauan yang terorganisir. Artinya, jangan takut dengan percobaan, ketidaksempurnaan, atau bahkan kegagalan. Di balik satu kesalahan, bisa lahir solusi jitu yang belum pernah dicoba sebelumnya.


Penting! Kejeniusan Itu Menular

Buku The Geography of Genius memberi pelajaran penting: kejeniusaan bisa ditumbuhkan, dan lebih dari itu, ia bisa menular. Asal ada budaya belajar, budaya berbagi, dan ruang sosial yang aktif, contact center bisa menjadi inkubator bagi agen-agen cerdas yang tidak hanya andal dalam melayani, tapi juga berkembang menjadi pemikir, pemecah masalah, dan bahkan pemimpin masa depan.

Mewujudkan itu semua bukan hanya tanggung jawab tim Learning & Development, tetapi tanggung jawab bersama, mulai dari pimpinan tim hingga setiap agen yang punya satu ide kecil untuk dibagikan.

Mari kita bangun Athena kita sendiri.

2025/07/15

Tanpa Unit Baru, Ini Cara Cerdas Memulai Fungsi Customer Experience di Tim Anda

Dalam dunia bisnis yang makin kompetitif, pengalaman pelanggan (Customer Experience/CX) bukan lagi sekadar pelengkap; ia bisa menjadi penentu keberhasilan. Namun, tak semua organisasi punya kemewahan untuk langsung membentuk unit CX khusus. Apalagi jika constraint anggaran masih jadi kenyataan sehari-hari.

Tapi tenang. Fungsi CX tetap bisa dijalankan tanpa harus menunggu terbentuknya departemen baru. Kuncinya? Memberdayakan yang sudah ada.

Berikan Kepercayaan pada Tim Customer Service

Langkah paling efektif adalah mempercayakan sebagian fungsi CX kepada para Leaders di unit Customer Service (CS). Mereka adalah garda depan, yang paling dekat dengan pelanggan, dan paling sering mendengar langsung suara mereka.

Namun agar fungsi ini berjalan efektif, perlu dilakukan dengan strategi sederhana tapi berdampak. Berikut pendekatannya:

1. Mulai dari Kompilasi Voice of Customer (VoC)

Jangan terburu-buru membentuk program besar. Mulailah dari apa yang sudah ada. Review secara berkala semua Voice of Customer; data interaksi, keluhan, pujian, maupun saran dari pelanggan yang tercatat di CRM, ticketing system, hingga media sosial.

Kompilasi data ini adalah fondasi. Ia menyimpan insight berharga yang sering tersembunyi dalam tumpukan percakapan harian.

2. Review dan Update Customer Journey Mapping

Jika tim Anda sudah memiliki customer journey mapping, jangan anggap itu dokumen mati. Dunia berubah. Ekspektasi pelanggan pun ikut berubah. Maka penting untuk terus me-review dan menilai ulang peta perjalanan pelanggan (customer journey).

Tanyakan:

  • Apakah titik-titik interaksi masih relevan? Cek semua omni-channels yang dimiliki.

  • Di mana pelanggan mulai frustrasi? Catat dan perhatikan.

  • Apakah semua touchpoints memberi nilai tambah?

3. Kelompokkan VoC Berdasarkan Touchpoints

Setelah memiliki VoC dan mapping journey, langkah berikutnya adalah memilah semua feedback pelanggan berdasarkan titik kontak (touchpoints) dalam perjalanan mereka.

Identifikasi masalah yang sering muncul di masing-masing titik; apakah saat onboarding, penggunaan layanan, atau saat mengajukan komplain pasca pembelian.

Catat semuanya. Tak perlu sempurna di awal, yang penting mulai.

4. Ajak Kolaborasi Lintas Departemen

CX bukan urusan satu divisi. Agar pengalaman pelanggan benar-benar seamless, semua pemimpin lintas tim harus diajak duduk bersama.

Buat sesi collaborative mapping. Identifikasi akar masalah bersama, lalu rumuskan action plan yang fokus pada satu tujuan utama: membuat perjalanan pelanggan bebas hambatan (frictionless).

Tak perlu rumit. Cukup sederhana, konsisten, dan dijalankan bersama. Yang sangat penting juga adalah komunikasi lintas divisi. Top management perlu membuatkan semacam surat keputusan bahwa CS Leader dijadikan sebagai orkestrator dalam pembenahan pengalaman pelanggan di setiap journey yang mereka rasakan terhadap produk atau layanan yang disediakan oleh bisnis. Dengan demikian, CS Leader ini memiliki ' dasar kekuatan' untuk menyatukan semua kapasitas yang ada dalam sebuah 'komite CX'.


Key Takeaways: CX Adalah Mindset, Bukan Sekadar Struktur

Memulai fungsi CX tak harus menunggu terbentuknya unit atau anggaran besar. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memulai, kemauan untuk mendengar, dan komitmen untuk terus memperbaiki.

Pemimpin CS adalah kandidat alami untuk memulai peran ini. Dan dengan kolaborasi lintas tim, organisasi Anda bisa menciptakan pengalaman pelanggan yang lebih baik, tanpa harus menunggu waktu yang "sempurna".

Karena dalam CX, yang paling penting bukan siapa yang punya jabatan, tapi siapa yang paling peduli pada pelanggan.

2025/06/19

Skill Akan Dicari, Meski Ijazahmu Biasa

Dulu, ijazah dan gelar akademik dianggap sebagai tiket utama menuju pekerjaan impian dan karier yang menjanjikan. Lulusan universitas ternama sering kali menjadi incaran utama perusahaan. Tapi zaman telah berubah. Dunia kerja kini tidak lagi hanya bertanya kamu lulusan dari mana, melainkan lebih tertarik pada satu hal yang sangat praktis dan relevan: apa yang bisa kamu lakukan.
Perusahaan hari ini tidak selalu mencari nama besar kampus di CV-mu. Mereka mencari bukti nyata. Mereka ingin melihat portofolio yang menunjukkan kemampuanmu dalam menyelesaikan masalah nyata. Mereka ingin tahu bagaimana kamu berpikir, mengambil keputusan, beradaptasi, dan menciptakan nilai. Bukan sekadar nilai IPK, tapi nilai yang benar-benar dirasakan oleh tim dan organisasi.
Banyak pemimpin sukses di era sekarang yang bahkan tidak memiliki gelar tinggi. Tapi mereka memiliki keterampilan yang tajam, kemauan belajar yang kuat, dan karakter yang dapat diandalkan. Dari entrepreneur muda yang membangun bisnis dari kamar tidur, hingga developer teknologi yang menciptakan aplikasi revolusioner tanpa pernah lulus dari bangku kuliah formal, semuanya membuktikan bahwa skill adalah mata uang masa depan.
Skill adalah jalan masuk menuju kepercayaan. Dengan skill, orang lain mulai mempercayakan tanggung jawab. Skill juga menciptakan peluang baru. Di dunia yang sangat cepat berubah ini, keterampilan teknis dan interpersonal menjadi sangat penting. Bukan hanya bisa melakukan, tapi juga bisa menyampaikan, bekerja sama, memimpin, dan belajar hal baru dengan cepat.
Kisah Nabi Yusuf alayhissalam menjadi bukti betapa keterampilan menjadi nilai yang sangat diperhitungkan. Ketika beliau menawarkan diri untuk mengelola perbendaharaan negeri, beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS Yusuf: 55). Dua hal yang beliau sebut adalah amanah dan keahlian. Inilah kombinasi sempurna yang membuatnya layak dipercaya memimpin dan membawa perubahan besar.
Jika kamu sudah belajar, maka saatnya mempraktikkan. Jika kamu belum bisa, maka teruslah melatih diri. Karena keterampilan bukan warisan atau takdir, melainkan buah dari latihan, ketekunan, dan kesungguhan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang jika ia bekerja, maka ia menyempurnakannya.” (HR Thabrani). Maka sempurnakanlah ilmu dengan keterampilan agar mimpi tidak hanya tinggal wacana, tapi benar-benar menjadi nyata.

2025/06/09

Don’t Explain Your Philosophy. Embody It!

Ada kalanya kata-kata terlalu murah. Kita hidup di zaman di mana siapa saja bisa mengutip filsuf, berbicara tentang prinsip hidup, atau menyusun kalimat bijak yang terlihat mengesankan di media sosial. Tapi Epictetus, seorang filsuf Stoik dari abad pertama, mengingatkan kita dengan satu kalimat yang menusuk dan membongkar semua basa-basi: “Don’t explain your philosophy. Embody it.”

Jangan jelaskan filosofi hidupmu. Jalani!
Kutipan ini terdengar sederhana, tapi menyimpan kedalaman yang brutal. Karena menjalani filosofi hidup jauh lebih sulit daripada menjelaskannya. Menjelaskan bisa dilakukan dalam beberapa menit; dengan pidato, status, atau podcast. Tapi mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan, dalam konsistensi harian, dalam diam saat tidak ada yang melihat. Itulah ujian sejati.
Kita sering terjebak dalam keinginan untuk dikenal sebagai orang yang bermakna, yang punya prinsip, yang berpikir dalam. Kita ingin orang tahu bahwa kita kuat, sabar, tangguh, jujur. Tapi Epictetus bilang: jangan beri tahu. Buktikan. Dunia tidak butuh lebih banyak deklarasi. Dunia butuh contoh nyata.
Filosofi yang sebenarnya bukan tentang kata-kata yang kamu kumpulkan, tapi bagaimana kamu bereaksi saat hidup menguji batasmu. Saat kecewa, apakah kamu menyerah atau tetap tenang? Saat gagal, apakah kamu menyalahkan atau belajar? Saat tak ada yang menonton, apakah kamu tetap melakukan hal yang benar? Di sanalah tempat filosofi hidupmu berbicara, meski kamu tak mengucapkan sepatah kata pun.
Dan justru karena kamu tidak sibuk menjelaskan siapa dirimu, orang-orang bisa melihatnya lebih jelas. Kamu tidak sedang menjual citra, kamu sedang membangun karakter. Kamu tidak mencoba mempengaruhi persepsi, kamu sedang membentuk kenyataan.
Ini bukan ajakan untuk diam. Tapi peringatan agar kita tidak berhenti di permukaan. Karena dunia tidak diubah oleh mereka yang paling pandai bicara, tapi oleh mereka yang hidup dengan integritas, dengan prinsip yang tak goyah meski tak selalu dimengerti.
Jadi jika kamu punya filosofi hidup tentang kejujuran, kesederhanaan, disiplin, atau kasih, jangan sibuk menjelaskannya. Hidupkan. Biarkan orang merasakannya melalui sikapmu. Bukan karena kamu bicara, tapi karena mereka melihat kamu benar-benar berbeda.
Karena filosofi yang paling kuat bukan yang diucapkan, tapi yang dijalani. Diam-diam. Konsisten. Utuh.