"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

2025/12/05

Kenapa Kebahagiaan Karyawan Selalu Menjadi Titik Awal Kebahagiaan Pelanggan?

Penulis bersama team dan perwakilan klien dalam satu event Team Engagement di Jakarta

Di banyak perusahaan, kita sering bicara tentang customer experience, service excellence, atau bagaimana membuat pelanggan merasa puas. Namun ada satu hal yang sering terlupakan: semua itu dimulai dari orang-orang di balik layar. Customer happiness tidak pernah muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari tim yang bahagia, yang merasa dihargai, dan yang menjalani hari-harinya dengan energi positif.

People engagement bukan sekadar program internal atau aktivitas seremonial. Ia adalah cara kita hadir untuk satu sama lain. Kadang bentuknya sederhana; menonton film bareng, makan siang bersama, outing, hangout bareng atau sekadar ngobrol santai tanpa agenda. Kehadiran seperti itu membangun jarak yang lebih dekat antara kita sebagai manusia. Ketika kedekatan itu tumbuh, rasa percaya muncul. Dan ketika percaya sudah terbentuk, bekerja sama menjadi jauh lebih natural.

Di dunia kerja yang serba cepat, sering kali kita lupa bahwa kebahagiaan juga perlu di-deliver. Bukan hanya kepada pelanggan, tetapi pertama-tama kepada tim kita sendiri. Ketika karyawan merasa diperhatikan, dihormati, dan dihargai, mereka menjadi jauh lebih puas. Kepuasan itu mengubah cara mereka bekerja. Mereka lebih ringan, lebih positif, dan lebih bersemangat menghadapi tantangan.


Employee satisfaction bukan hanya perkara gaji atau benefit. Ia lahir dari pengalaman sehari-hari, dari suasana kerja yang membuat mereka merasa aman, dari interaksi yang membuat mereka merasa dihargai, dari momen-momen kebersamaan yang membuat mereka merasa menjadi bagian penting dari sebuah perjalanan. Ketika seseorang merasa bahagia di tempat kerjanya, ia akan memberikan yang terbaik tanpa perlu diminta.

Dan pada akhirnya, pelanggan akan merasakan itu. Mereka bisa membedakan mana layanan yang datang dari seseorang yang tertekan, dan mana yang datang dari seseorang yang benar-benar menikmati pekerjaannya. Energi itu menular. Senyum yang tulus, sikap yang ramah, kesediaan membantu tanpa keluhan—semuanya lahir dari hati yang bahagia.

Itulah sebabnya people engagement seharusnya bukan sekadar program HR. Ia adalah mindset kepemimpinan. Cara kita membangun budaya. Cara kita menunjukkan bahwa perusahaan bukan hanya tempat bekerja, tetapi tempat tumbuh bersama. Ketika pemimpin menghadirkan kebahagiaan di dalam tim, tim akan menghadirkan kebahagiaan itu kembali kepada pelanggan.

Pada akhirnya, kebahagiaan selalu mengalir ke bawah. Jika tim kita merasa terhubung, mereka akan melayani dengan hati. Jika mereka merasa dihargai, mereka akan bekerja dengan percaya diri. Dan jika mereka bahagia, maka pelanggan pun akan merasakan kebahagiaan itu.

Inilah inti dari people engagement: kebahagiaan yang dimulai dari dalam, lalu menjelma menjadi pengalaman terbaik bagi semua yang kita layani.







Keberanian yang Menembus Zaman: Numantia, Rajah Sulaiman, dan Pertolongan Badar

Situs area Numantia
Kadang sebuah cerita yang kita baca membuka pintu menuju cerita-cerita lain yang pernah kita dengar atau kita simpan lama dalam ingatan. Begitu juga saat saya membaca kisah kecil dari Sapiens karya Yuval Noah Harari, kisah tentang sebuah suku di Spanyol bernama Numantia. Harari menceritakan bagaimana kota kecil itu, yang dihuni suku Celtiberia, memilih untuk melawan Imperium Romawi yang ketika itu hampir mustahil dikalahkan. Mereka kecil, Roma raksasa. Mereka miskin, Roma kaya. Mereka sendirian, Roma datang dengan kekuatan dunia. Namun mereka tidak menyerah. Mereka bertahan sampai akhir, dengan kehormatan menjadi harga terakhir yang mereka miliki. Numantia memang hancur, rakyatnya musnah, dan kota itu hilang dari peta sejarah. Tapi keberanian mereka bertahan sebagai kisah yang terus diingat bangsa Spanyol sampai hari ini.

Saat membaca bagian itu, entah kenapa saya langsung teringat pada cerita lain, sebuah cerita yang tidak disebut Harari, tetapi saya sendiri yang menyambungkan: kisah Manila sebelum menjadi Manila, ketika ia masih sebuah kerajaan Islam yang berdiri gagah di pesisir Teluk Luzon. Qadarullah saya pernah berkunjung kesana beberapa tahun yg lalu.
Di sana ada seorang tokoh yang namanya jarang disebut di buku sejarah umum kita, tetapi dihormati di Filipina sebagai simbol keberanian: Rajah Sulaiman. Seperti Numantia, kerajaan kecil itu suatu hari harus berhadapan dengan sebuah kekuatan besar: armada Spanyol yang sedang berkembang menjadi salah satu imperium dunia. Sulaiman, bersama para penguasa Muslim lainnya, tahu bahwa mereka sedang menghadapi kekuatan yang kemungkinan besar tidak akan dapat mereka kalahkan. Tetapi seperti warga Numantia, mereka tidak memilih tunduk. Mereka memilih melawan, memilih mempertahankan tanah yang mereka percaya adalah amanah dari leluhur dan Tuhan mereka.
Kota itu akhirnya jatuh. Manila dibakar, direbut, dijadikan pusat kolonial Spanyol selama berabad-abad. Namun nama Sulaiman tetap hidup sebagai simbol kehormatan, bahkan jika kekuatan politiknya musnah seperti halnya Numantia.
Patung Rajah Sulaiman di Manila, Filipina
Dan saat dua cerita ini berdiri berdampingan, Numantia di Eropa abad kedua sebelum Masehi, Manila Islam di Asia Tenggara abad ke-16, saya teringat akan satu kisah lain, yang jauh lebih tua namun memiliki gema keberanian yang sama, tetapi dengan takdir yang berbeda: Perang Badar.
Di Badar, umat Islam jauh lebih kecil daripada pasukan Quraisy. Kekuatan tidak seimbang, senjata seadanya, dan kemungkinan kekalahan secara duniawi sangat besar. Tetapi ada sesuatu yang tidak dimiliki Numantia atau Manila: doa seorang Nabi yang membawa risalah terakhir untuk umat manusia. Di malam sebelum perang itu, Rasulullah SAW berdiri memanjatkan doa yang mengguncang langit:
“Ya Allah, jika pasukan kecil ini kalah, (mungkin) tidak akan ada lagi di muka bumi ini orang yang menyembah-Mu.”
Itu bukan sekadar doa kemenangan. Itu doa tentang kelangsungan cahaya. Tentang masa depan iman. Tentang arah sejarah manusia. Dan keesokan paginya, hasilnya berbeda dari dua kisah sebelumnya: Badar dimenangkan oleh mereka yang lemah secara jumlah, tetapi kuat dalam janji Tuhannya.
Salah satu bekas bangunan kuno di Lembah Badar

Monumen Daftar Nama Sahabat Nabi Muhammad SAW yang Gugur di Medan Perang.

Tiga cerita ini berdiri dalam satu garis panjang tentang manusia menghadapi kekuatan besar. Numantia berakhir dengan kehancuran, Sulaiman di Manila berakhir dengan gugurnya sebuah kerajaan, tetapi Badar justru menjadi titik balik yang mengubah sejarah dunia. Namun ketiganya punya satu benang merah: keberanian. Keberanian untuk tidak menyerah meski secara logika dunia tidak ada peluang untuk menang. Keberanian mempertahankan martabat. Keberanian menegakkan keyakinan ketika dunia terlihat gelap.
Harari menulis bahwa sejarah sering kali ditentukan oleh imperium-imperium besar, dan kelompok kecil biasanya hilang ditelan gelombang. Tapi ia juga menulis bahwa manusia selalu punya kapasitas untuk percaya pada makna, pada cerita, dan pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Di situlah keberanian lahir.
Dan mungkin, di situlah kita semua menemukan diri kita hari ini: antara kisah Numantia yang kalah tetapi terhormat, kisah Rajah Sulaiman yang gugur tetapi abadi dalam memori bangsanya, dan kisah Badar yang menunjukkan bahwa dalam beberapa momen sejarah, ketika manusia benar-benar bersandar pada Tuhan, cerita bisa berbalik menjadi keajaiban yang mengubah dunia.
Tiga kisah, tiga benua, tiga zaman. Satu pelajaran:
Dalam hidup, kemenangan tidak selalu diukur dari hasil akhir. Kadang, keberanian berdiri tegak di tengah badai itulah yang membuat sebuah nama tidak pernah mati.