"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2025/05/08

Kembali ke Selera Asal

Di rantau, lidah kita belajar menyesuaikan diri. Seperti Ayah Yusman, saudara dari suami bibi di foto ini, yang sudah lebih dari 40 tahun berakar di Semarang. Lidahnya pun luluh dalam manisnya cita rasa Jawa Tengah. Namun, tiap kali ada pertemuan besar, makan bersama sanak saudara, arah selera itu selalu kembali. Pilihannya tak pernah jauh-jauh dari rumah makan atau resto Padang yang menyajikan rasa otentik, seolah memanggil kembali memori masa kecil yang tertanam kuat.

Begitulah indra rasa kita dibentuk. Bukan semata oleh bahan dan bumbu, tapi oleh tangan ibu yang memasak dengan cinta. Oleh suara sendok yang beradu di dapur, oleh harum gulai yang mengepul dan menguar ke seluruh rumah. Masakan bundo kanduong, memang tak ada tandingnya. Di dalam tiap suapnya, ada kasih sayang yang diam-diam meresap, membentuk siapa diri kita, mengikat kita pada akar yang tak terlihat tapi selalu kuat menarik saat kita mulai melayang jauh.

Suatu hari nanti, anak-anak kita pun akan mengembara. Mereka akan menjejakkan kaki di kota lain, belajar menyukai rasa baru, menyesuaikan lidah dengan tempat mereka berpijak. Tapi percayalah, ada selera asal yang akan selalu mereka cari saat rindu datang mengetuk. Itu sebabnya, dapur rumah bukan sekadar tempat memasak. Ia adalah altar cinta, tempat di mana ibu menenun rindu yang kelak akan jadi penaut sepanjang hayat.

Karena sejauh apa pun langkah pergi, kita semua pada akhirnya akan selalu kembali. Pada selera asal, pada pelukan ibu yang abadi dalam tiap rasa.

2025/05/03

Apa yang membuat tim kita tidak hanya bertahan, tapi tumbuh? [Bagian 2]

foto: Istimewa
Bertahan itu penting, tapi bertumbuh adalah jiwa yang membuat tim tetap hidup. Tim yang hanya bertahan, lama-lama bisa kehabisan napas. Tapi tim yang tumbuh, mereka menemukan energi baru di setiap langkahnya.

Tim tumbuh ketika mereka diajak melihat makna lebih besar dari sekadar target dan angka. Mereka mulai merasa bahwa setiap tugas yang dikerjakan punya kontribusi nyata, bahwa ada nilai di balik pekerjaan sehari-hari yang kadang terasa rutin. Pemimpin yang mampu menanamkan makna ini, sesungguhnya sedang menyirami benih pertumbuhan dalam timnya.

Pertumbuhan juga terjadi saat tim diberikan ruang untuk mencoba dan ruang untuk gagal. Tidak ada tim yang tumbuh di bawah kepemimpinan yang serba takut salah. Tim perlu merasa bahwa eksperimen mereka dihargai, ide mereka dicoba, dan kegagalan mereka tidak otomatis membuat mereka terpinggirkan. Di situ, mental belajar tumbuh, dan keberanian pun hidup.

Mereka tumbuh ketika proses belajar menjadi budaya, bukan beban. Bukan sekadar pelatihan formal, tapi juga lewat diskusi santai, sesi refleksi tim, atau sharing pengalaman antar sesama. Tim yang tumbuh adalah tim yang merasa setiap hari mereka belajar sesuatu, sekecil apa pun itu.

Dan pertumbuhan itu makin kuat ketika pemimpinnya ikut bertumbuh bersama mereka. Pemimpin yang mau mengakui bahwa dirinya juga belajar, yang terbuka menerima masukan, yang tidak merasa dirinya sudah sampai di puncak. Tim akan naik kelas kalau mereka melihat pemimpinnya pun terus naik kelas, baik dalam keahlian, dalam cara berpikir, maupun dalam kedewasaan sikap.

Tim tumbuh juga lewat tantangan yang tepat, bukan yang memberatkan tanpa arah, tapi yang memacu untuk naik level. Memberi mereka kesempatan menangani proyek baru, melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan, atau memberi mereka ownership atas proses yang mereka jalani. Di sanalah rasa percaya diri tumbuh, dan kapasitas mereka meluas.

Dan yang tak kalah penting, tim tumbuh dalam suasana yang sehat: hubungan yang hangat, kepercayaan yang terjaga, dan semangat yang menular. Tim yang saling mendukung, yang merayakan keberhasilan bersama, dan yang menolong yang lemah tanpa diminta, itu adalah tanah subur tempat pertumbuhan sejati terjadi.

Jadi hari ini, selain bertanya apakah tim kita masih bertahan, mari kita lanjutkan pertanyaannya:
"Sudahkah aku menciptakan ruang bagi timku untuk tumbuh hari ini?"
Karena tim yang bertumbuh, merekalah yang akan sanggup menaklukkan tantangan yang lebih besar esok hari.

Apa yang membuat tim kita bertahan? [Bagian 1]

Bukan semata soal gaji yang tepat waktu, atau bonus yang sesekali cair. Bukan pula soal ruang kerja yang nyaman, atau sistem yang canggih. Pada akhirnya, tim bertahan karena mereka merasa dilihat, dihargai, dan disertai.

Sebagai pemimpin, tugas kita lebih dari sekadar memastikan target tercapai. Tim akan tetap memilih berjalan bersama kita jika mereka tahu bahwa pemimpinnya hadir, konsisten, dan adil. Mereka perlu merasa bahwa kita berdiri di barisan mereka, apalagi di saat-saat sulit. Mereka butuh tahu bahwa kita tak hanya muncul saat selebrasi pencapaian, tapi juga saat mereka jatuh, goyah, atau kelelahan di tengah jalan.

Tim bertahan karena mereka merasa punya tempat di dalamnya. Rasa memiliki itu bukan datang begitu saja; ia tumbuh ketika kita sebagai pemimpin mampu menanamkan rasa “kita satu keluarga”, bukan “aku atasan, kamu bawahan”. Kata-kata sederhana seperti “kita”, “bersama”, dan “terima kasih atas perjuanganmu” punya daya lekat yang jauh lebih besar dari yang kita kira.

Mereka bertahan ketika komunikasi bukan hanya turun dari atas, tapi juga mengalir ke atas. Ketika ide-ide mereka didengar, pendapat mereka dipertimbangkan, dan bahkan unek-unek yang terdengar kecil diberi ruang. Di saat itulah tim merasa suara mereka punya arti, dan eksistensi mereka bukan sekadar roda kecil dalam mesin besar.

Tekanan di dunia kerja, terutama di industri seperti BPO dan contact center, itu nyata. Target yang ketat, ekspektasi klien yang berubah-ubah, tuntutan yang tak pernah benar-benar turun. Tim bertahan ketika mereka tahu pemimpinnya menjadi tameng pertama; meredam tekanan sebelum sampai ke bawah, menyaring yang perlu, dan menyampaikan dengan cara yang membangun, bukan meluluhlantakkan.

Mereka bertahan juga karena ada ruang untuk tumbuh. Sekecil apa pun. Tidak selalu berarti promosi jabatan, tapi bisa berupa tantangan baru, pelatihan singkat, atau sekadar kepercayaan untuk menangani sesuatu yang lebih. Saat mereka merasa bergerak maju, walau pelan, semangat itu hidup.

Dan yang paling dalam, tim bertahan karena koneksi emosional yang terbangun. Loyalitas mereka, pada akhirnya, bukan pada logo perusahaan di papan nama. Tapi pada sosok pemimpin yang selama ini mereka percaya, yang memimpin dengan hati, yang hadir saat dibutuhkan. Mereka bertahan karena mereka tahu: "Di sini, aku punya orang yang mempedulikan aku bukan hanya sebagai pekerja, tapi sebagai manusia."

Itulah kenapa, dalam segala kesibukan dan tekanan, kita sebagai pemimpin perlu sesekali berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan bertanya:
"Sudahkah aku menjadi alasan timku untuk bertahan hari ini?"

#refleksi #leadership
---

Artikel Menarik lainnya: 
Waktu Terbaik Menilai Konsistensi Agen Contact Center? Hari Pertama Setelah Cuti.
KSA: Fondasi Utama untuk Meraih Masa Depan di Dunia Kerja
Skip Level Meeting: Mendengar Suara Garis Depan
Masa Depan Contact Center: Mengutamakan Keamanan dan Privasi Data Pelanggan
Kedisiplinan Tinggi: Kunci Sukses di Dunia Contact Center
Peluang Industri BPO di Indonesia: Layanan Pelanggan Sebagai Pilar Utama
Meningkatkan Skor CSAT yang Disebabkan oleh Masalah Produk
Understanding and Addressing CSAT and AHT Issues in Contact Centers
Lima Komponen Utama Customer Care yang Efektif