"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

2025/10/31

It’s Not AI vs Human, But AI for Human

Di banyak organisasi hari ini, tim Customer Experience sedang dikejar euforia yang sama. Semua ingin terlihat “AI-ready”. Mereka bicara tentang transformasi digital, otomatisasi, dan kecerdasan buatan seolah itu adalah tiket menuju masa depan. Dalam setiap presentasi, kata AI menjadi mantra baru: simbol kemajuan, bukti inovasi, bahkan kadang pelarian dari kenyataan bahwa pelayanan pelanggan masih jauh dari sempurna.

Namun di tengah hiruk pikuk itu, ada satu pertanyaan sederhana yang jarang diajukan: apa sebenarnya yang diinginkan pelanggan? Jawabannya sering kali bukan teknologi. Mereka tidak bangun pagi dengan harapan untuk berbicara dengan bot atau menavigasi menu otomatis yang tak berujung. Mereka hanya ingin masalahnya cepat diselesaikan, dipahami tanpa harus menjelaskan berulang kali, dan diperlakukan sebagai manusia, bukan tiket antrian yang harus ditutup sebelum akhir shift.

AI bisa mempercepat, memprediksi, bahkan menebak perilaku. Tapi AI tidak tahu rasanya kecewa. Ia tidak mengerti nada lelah dalam suara seseorang, atau kehangatan dari sapaan yang tulus. AI bisa menyalin kata-kata empati, tapi tidak bisa benar-benar merasakannya. Di sinilah letak paradoks besar industri CX hari ini. Semakin banyak organisasi bicara tentang human-centric experience, semakin sedikit yang benar-benar memberi ruang bagi kemanusiaan itu sendiri.

Teknologi seharusnya membantu manusia bekerja lebih baik, bukan menggantikannya. AI seharusnya membebaskan waktu agent untuk fokus pada percakapan yang benar-benar penting, bukan menjauhkan pelanggan di balik lapisan sistem yang rumit. AI bisa menjadi alat yang luar biasa ketika diarahkan dengan benar, AI for human, bukan AI versus human.

CX yang hebat tidak lahir dari sistem paling canggih, melainkan dari manusia yang menggunakan teknologi untuk membuat hubungan menjadi lebih manusiawi. Sebuah sistem mungkin bisa menutup tiket dengan cepat, tapi hanya manusia yang bisa menenangkan pelanggan yang kecewa. Sebuah bot mungkin mampu memberi jawaban akurat, tapi hanya manusia yang bisa memberi rasa dimengerti.

Kita sedang hidup di masa di mana setiap perusahaan ingin menjadi AI-driven, tapi pelanggan tetap menginginkan satu hal yang sama sejak dulu: diperlakukan dengan hormat dan penuh perhatian. Pada akhirnya, pelanggan tidak akan mengingat algoritma yang kita gunakan, tapi mereka akan selalu mengingat bagaimana mereka merasa setelah berinteraksi dengan kita.

Maka sebelum menempelkan label AI-powered di setiap presentasi, ada baiknya kita bertanya: apakah ini benar-benar membantu manusia, atau sekadar menenangkan rasa takut kita tertinggal tren? Sebab masa depan Customer Experience bukan tentang siapa yang paling cepat mengadopsi AI, melainkan siapa yang paling bijak menggunakannya untuk memperkuat kemanusiaan itu sendiri.

Karena pada akhirnya, bukan AI versus human yang akan menentukan arah pelayanan pelanggan, tetapi bagaimana kita menjadikan AI for human, teknologi yang berpihak pada manusia.

Ketika Semua BPO Menjual “AI”: Di Mana Letak Pembeda yang Sebenarnya?

Lanskap industri Business Process Outsourcing (BPO) di Indonesia kini memasuki fase paling ketat dalam dua dekade terakhir. Setiap pemain; besar maupun baru berbicara dalam bahasa yang sama: AI-driven operation, automation, digital transformation. Namun jika kita jujur, sebagian besar masih berada di tahap marketing maturity, belum sepenuhny aoperational maturity.

Artinya: AI sudah dijual, tapi belum benar-benar dijalankan semuanya.

Semua berlomba bicara AI, tapi pelanggan tetap bicara satu hal: hasil.

Harga? Semua Bisa Murah.

Bersaing lewat harga hari ini bukan strategi, melainkan keputusasaan yang dipoles dengan kata “efisiensi.”
Karena dengan semakin banyaknya freelancer platform, shared service, dan cloud automation tools, harga bukan lagi kekuatan, melainkan titik lemah.

BPO yang hanya menonjolkan tarif rendah akan terjebak menjadi “operator tanpa identitas.”
Cepat diganti, mudah dilupakan.

Produk? Semua Juga Bisa Buat.

Hari ini, customer support tools, chatbot, dan CX dashboard bisa dibangun dalam hitungan minggu.
Tidak ada yang eksklusif.
Bahkan teknologi yang disebut “proprietary” pun seringkali hanyalah rebranding dari vendor global.

Jika semua BPO berbicara dengan pitch deck yang sama, otomatisasi, omnichannel, AI, analytics  maka yang tersisa bukan lagi apa yang dijual, melainkan bagaimana dan siapa yang menjalankannya.

Pembeda yang Sesungguhnya: Budaya Operasional dan Kecerdasan Kontekstual

Ke depan, pembeda bukan lagi tools, melainkan cara kerja dan nilai yang dibawa ke klien.

  1. Budaya Operasional
    Apakah setiap agent, team leader, dan manajer punya ownership terhadap pengalaman pelanggan yang mereka layani?
    Atau mereka hanya menjalankan SLA seperti robot tanpa empati?
    AI bisa membantu menjawab cepat, tapi hanya manusia yang bisa memahami konteks dan niat di balik pertanyaan.

  2. Kecerdasan Kontekstual (Contextual Intelligence)
    Inilah kekuatan baru yang tak bisa digantikan AI murni.
    BPO yang memahami konteks industri kliennya; asuransi, kesehatan, telekomunikasi, logistik, keuangan, dll akan selalu lebih bernilai dibanding BPO yang sekadar menjawab tiket.
    Mereka bukan sekadar penyedia layanan, tapi partner strategis yang bisa membaca denyut bisnis klien.

  3. Sense of Humanity dalam Teknologi
    Dalam dunia di mana semua orang bicara machine learning, justru human learning yang harus ditonjolkan. Bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat empati, bukan menggantikan sentuhan manusia.
    BPO yang bisa menyeimbangkan ini; antara kecerdasan buatan dan kecerdasan emosional; akan memenangkan loyalitas, bukan sekadar kontrak.

Poin PENTING:
Yang Bertahan Bukan yang Tercanggih, Tapi yang Paling Relevan

Dalam perlombaan BPO modern, relevansi menjadi kata kunci. AI boleh datang dan pergi, tapi kepercayaan dan hasil nyata akan selalu abadi. BPO masa depan bukan sekadar “operator pintar”, melainkan mitra bisnis yang mampu berpikir, beradaptasi, dan tumbuh bersama kliennya.

Di era penuh jargon ini, mungkin pembeda terbaik bukan lagi teknologi,
melainkan ketulusan untuk benar-benar memahami apa yang dibutuhkan manusia di balik sistem.


2025/10/30

Antara Freud dan Khalil bin Syahin: Dua Jalan Menafsir Mimpi

Sejak masa kuliah, ketertarikan saya terhadap psikologi sastra membawa saya berkenalan dengan teori behaviorisme dan kemudian berlanjut pada psikoanalisis Sigmund Freud, tokoh yang menempatkan mimpi sebagai “jalan kerajaan menuju alam bawah sadar.” Dalam karyanya Dream Psychology: Psychoanalysis for Beginners, Freud mengajak pembacanya memahami bahwa mimpi bukan sekadar bunga tidur, melainkan ekspresi terselubung dari dorongan dan keinginan yang ditekan oleh kesadaran.

Freud dan Alam Bawah Sadar

Menurut Freud, setiap mimpi adalah bentuk penyamaran dari keinginan-keinginan yang tidak dapat diterima secara sosial maupun moral. Mimpi bekerja melalui mekanisme simbolisasi, pemindahan (displacement), dan kondensasi, menjadikan pesan batin itu tampil samar dan sering membingungkan.

Di balik teori ini, Freud memetakan struktur jiwa manusia ke dalam tiga lapisan: Id, Ego, dan Superego.

 • Id adalah sumber dorongan naluriah — terutama dorongan seksual dan agresif.

 • Ego berperan sebagai penengah antara realitas dan dorongan Id.

 • Superego adalah suara moral, nilai, dan norma sosial yang menekan Id.

Bagi Freud, mimpi adalah cara alam bawah sadar (Id) untuk menyalurkan hasrat yang tidak sempat terwujud di dunia sadar. Karena itu, tidak heran bila banyak pengkritiknya menilai teori mimpi Freud terlalu “seksual-oriented”, seolah semua makna mimpi berakar dari libido. Namun di balik kritik itu, Freud berhasil membuka ruang baru: bahwa mimpi bisa menjadi pintu refleksi diri, bukan sekadar pengalaman pasif di malam hari.

Khalil bin Syahin dan Tafsir Spiritual Mimpi

Di sisi lain, dalam khazanah Islam, mimpi justru ditempatkan dalam spektrum spiritual dan moral. Buku Tafsir Mimpi Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis karya Khalil bin Syahin Adz-Dzahiri mewakili tradisi panjang ulama yang menganggap mimpi bukan hanya fenomena psikis, melainkan juga bagian dari komunikasi antara manusia dan alam ruh.

Dalam Islam, mimpi dibagi menjadi tiga macam:

 1. Ru’yâ shâlihah — mimpi baik yang datang sebagai petunjuk dari Allah.

 2. Hulm — mimpi buruk atau gangguan yang berasal dari setan.

 3. Adghâtsu ahlâm — mimpi yang lahir dari kondisi psikologis atau pikiran yang lelah.

Khalil bin Syahin menulis tafsir mimpi dengan dasar al-Qur’an, hadis, dan pengalaman para ulama terdahulu. Dalam pandangan Islam, mimpi dapat menjadi pesan, isyarat, atau peringatan, tetapi juga tetap diakui adanya dimensi psikologis yang murni manusiawi.

Pertemuan Dua Dunia

Membaca Freud dan Khalil bin Syahin berdampingan membuat saya berpikir bahwa keduanya tidak perlu dipertentangkan. Freud memberi kita alat untuk membaca struktur batin, sementara Islam memberi kita panduan moral dan spiritual untuk menafsirkan makna yang lebih tinggi dari mimpi.

Mimpi, dalam hal ini, adalah jembatan antara dunia sadar dan bawah sadar, antara jiwa dan ruh, antara sains dan wahyu. Freud mungkin melihatnya sebagai ekspresi keinginan yang ditekan; Islam melihatnya sebagai kemungkinan wahyu kecil yang menyentuh hati.

Keduanya bisa saling memperkaya: Freud mengajarkan kita bagaimana mimpi bekerja di dalam jiwa, sementara Khalil bin Syahin mengajarkan untuk apa mimpi itu dihadirkan dalam hidup manusia.

Mungkin, memahami mimpi berarti memahami diri baik dari sisi batin yang ilmiah maupun spiritual. Seperti kata seorang sufi, “Tidurmu adalah perjalanan ruhmu; maka jagalah agar ia kembali dengan cahaya, bukan kelam.”

2025/10/16

Feodalisme: Warisan yang Tak Lagi Layak Disembah

“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Pepatah Minang yang sederhana ini menyimpan filosofi tajam: bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh derajat, jabatan, atau kekayaan; melainkan oleh budi dan akal.

Namun, di balik falsafah yang luhur itu, masih bersemayam satu warisan tua yang sulit mati di bumi Nusantara: feodalisme.


Dari Tanah dan Tuan: Asal Mula Feodalisme

Kata feodalisme berasal dari bahasa Latin feodum atau feudum, artinya tanah pemberian.
Pada abad pertengahan di Eropa, sistem ini menjadi tatanan sosial di mana raja memberikan tanah kepada bangsawan sebagai imbalan atas kesetiaan dan jasa militer.
Tanah menjadi sumber kekuasaan, dan rakyat jelata hanyalah penggarap yang harus tunduk.

Struktur sosialnya seperti piramida:
raja → bangsawan → ksatria → rakyat tani.
Di puncak segelintir orang berkuasa, di bawah berjuta yang taat tanpa hak bersuara.

Sistem ini runtuh seiring datangnya Revolusi Industri dan Revolusi Prancis; ketika manusia sadar bahwa kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan lebih berharga daripada silsilah keturunan.

Feodalisme di Timur: Lembut, tapi Mencengkeram

Meski istilahnya lahir di Barat, bentuk-bentuk feodalisme juga tumbuh di Timur.
Di Jepang, shogun, daimyo, dan samurai menciptakan tatanan ketat berlandaskan kehormatan (bushido).
Di Tiongkok, kekuasaan birokrat mandarin dan keluarga bangsawan menempatkan rakyat sebagai pelayan kekaisaran.
Di India, sistem zamindari menjadikan tuan tanah berkuasa penuh atas nasib petani.

Dan di Nusantara, terutama di Jawa, feodalisme bersalin rupa dalam budaya priyayi.
Rakyat kecil diposisikan sebagai abdi istana, dan dalam birokrasi modern, sikap itu masih terasa dalam bentuk “asal bapak senang”, “jangan lawan atasan”, atau “diam lebih aman”.

Feodalisme di Indonesia: Dari Istana ke Kantor

Feodalisme di Indonesia bukan hanya sejarah kerajaan, tapi juga mentalitas sosial.
Kita sering melihat:

  • pejabat dianggap “berkuasa atas rakyat”, bukan “pelayan rakyat”;

  • penghormatan berlebihan pada jabatan dan gelar;

  • sistem dinasti politik dan birokrasi penuh patronase;

  • takut mengkritik karena “tidak pantas melawan yang lebih tinggi”.

Padahal, bangsa yang ingin maju harus berani meratakan derajat dalam berpikir, berpendapat, dan berinovasi.

Apa Buruknya Feodalisme?

Feodalisme membuat:

  1. Rakyat kehilangan keberanian berpikir kritis.

  2. Inovasi terhambat karena keputusan hanya datang dari atas.

  3. Ketimpangan sosial mengakar, melahirkan dua dunia: yang berkuasa dan yang pasrah.

  4. Budaya menjilat dan basa-basi menjadi norma demi selamat dari risiko kehilangan jabatan.

Namun, kita juga harus adil: di masa lalu, feodalisme memiliki fungsi menjaga stabilitas sosial.
Dalam masa tanpa hukum modern, sistem hierarki memberi rasa aman.
Tapi kini, ia bukan lagi pelindung, melainkan belenggu kemajuan.

Adat Minang: Antitesis Feodalisme

Minangkabau sejak dulu menolak sistem feodal.
Struktur sosialnya berbasis musyawarah, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama.
Tak ada “tuan” atau “abdi” dalam adat Minang.
Yang ada hanya manusia yang saling hormat; bukan karena status, tapi karena akhlak.

“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, begitulah martabat manusia menurut adat.

Pepatah itu bukan sekadar kata bijak, melainkan perlawanan halus terhadap mentalitas tunduk dan kasta.
Ia mengingatkan kita: kekuasaan hanyalah amanah, bukan kemuliaan bawaan.

Menolak Feodalisme, Menjemput Kemajuan

Feodalisme modern sering tak terlihat. Ia bersembunyi dalam gaya bicara yang penuh basa-basi, dalam sistem kerja yang takut kritik, dalam politik yang dikuasai keluarga, bahkan dalam pikiran yang merasa “rakyat tak berhak bertanya.”

Jika bangsa ingin maju, kita harus membalik paradigma:

  • Pemimpin melayani, bukan dilayani.

  • Rakyat berdaulat, bukan ditundukkan.

  • Gelar dan jabatan hanya alat, bukan tujuan.

Karena kemajuan sejati hanya lahir dari keberanian berpikir setara.


2025/10/09

Matinya Kepakaran di Era AI?

 

Matinya Kepakaran di Era AI: Ketika Semua Orang Bisa Jadi “Ahli”

Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh sebuah poster acara dari Universitas Sebelas Maret (UNS).
Dalam acara Sebelas Maret Islamic Festival 2025, panitia menghadirkan Guru Gembul sebagai pembicara utama.
Ya, bukan profesor sejarah Islam, bukan dosen filsafat, tapi seorang kreator konten edukatif yang populer di YouTube dan TikTok.

Bagi sebagian orang, ini hal biasa — bahkan keren, karena menunjukkan bahwa dunia pendidikan mulai “melek zaman.”
Namun bagi sebagian lain, ini adalah tanda tanya besar:
Apakah ini pertanda matinya kepakaran?
Apakah generasi sekarang kehilangan respek terhadap para ahli yang puluhan tahun menekuni bidangnya?


Dari Kampus ke Konten: Pergeseran Otoritas Ilmu

Kita hidup di masa ketika otoritas ilmu berpindah tangan.
Dulu, ruang kuliah dan jurnal ilmiah adalah sumber utama pengetahuan.
Sekarang, TikTok dan YouTube menjadi ruang belajar baru bagi jutaan orang.

Para akademisi sering berbicara dengan bahasa jurnal, penuh istilah asing, dan minim konteks sosial.
Sementara kreator seperti Guru Gembul justru mengubah sejarah, filsafat, dan agama menjadi cerita yang hidup.

Ia tidak menulis di jurnal, tapi di hati audiensnya.
Dan di dunia yang dikendalikan algoritma, engagement sering lebih kuat daripada gelar akademik.

Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi pergeseran budaya:
dari otoritas ke aksesibilitas, dari siapa yang tahu ke siapa yang bisa menjelaskan.

AI dan Kematian Proses Belajar

Kemudian datanglah era baru: Artificial Intelligence (AI).
Dengan ChatGPT, Claude, Gemini, dan lainnya, semua orang bisa menjadi “pakar instan.”
Cukup ketik satu prompt, dan dalam hitungan detik kamu bisa punya esai sekelas mahasiswa S2.

AI membuat pengetahuan terasa mudah, tapi justru karena itulah, proses belajar kehilangan makna.

AI bukan guru sejati. Ia hanya mesin prediksi kata.
Ia tahu banyak, tapi tidak memahami.
Ia bisa menjawab semua hal, tapi tak bisa mempertanggungjawabkan satu pun.

Jika manusia terlalu bergantung padanya, maka yang mati bukan kepakaran,
tapi etos intelektual , yang merupakan semangat untuk belajar, meneliti, dan berpikir kritis.

Kreator vs Akademisi: Pertarungan atau Kolaborasi?

Fenomena seperti Guru Gembul tidak seharusnya dianggap ancaman bagi dunia akademik.
Ia adalah cermin bahwa kampus perlu belajar berbicara dalam bahasa masyarakat.

Kreator punya kemampuan menjangkau; akademisi punya kedalaman berpikir.
Kalau keduanya bersatu, kita akan memiliki ilmu yang mencerahkan sekaligus memasyarakat.

Sayangnya, banyak kampus masih sibuk dengan seminar formal dan jurnal yang hanya dibaca segelintir orang.
Sementara masyarakat sudah bergerak ke arah pengetahuan cepat, visual, dan emosional.
Di sinilah “kematian kepakaran” terjadi. Sebenarnya itu terjadi bukan karena AI, tapi karena pakarnya berhenti berbicara kepada umat. Tepatnya, berhenti berbicara dengan bahasa yang lebih diminati umat.

Apa Sikap Terbaik Kita di Era AI?

  1. Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti berpikir.
    Ia bisa menulis untukmu, tapi tidak bisa menggantikan pemahamanmu.

  2. Bangun jembatan antara akademisi dan publik.
    Akademisi perlu belajar berkomunikasi seperti kreator; kreator perlu berakar pada riset akademik.

  3. Rawat rasa ingin tahu.
    Jangan puas dengan jawaban cepat. Belajar sejati adalah proses, bukan hasil instan.

Penutup: Yang Mati Bukan Pakar, Tapi Etos Belajar

“Matinya kepakaran” bukan karena munculnya AI atau populernya Guru Gembul.
Kepakaran mati karena manusia berhenti menghargai proses belajar yang panjang —
karena kita lebih tertarik pada yang viral daripada yang valid.

AI hanyalah cermin zaman.
Ia memperlihatkan siapa yang sungguh ingin belajar,
dan siapa yang hanya ingin tampak pintar.


Penting!
Di masa depan, kepakaran mungkin tidak lagi ditentukan oleh gelar atau algoritma,
melainkan oleh kejujuran intelektual: siapa yang tetap mau belajar, meski tidak sedang viral.


2025/10/03

Asal-usul Istilah Artificial Intelligence

*photo is generated by Gemini AI

Ketika hari ini kita bicara tentang Artificial Intelligence (AI), seringkali pikiran kita langsung melayang ke mesin pencari pintar, robot, atau bahkan ChatGPT. Namun, tahukah Anda kapan istilah ini pertama kali lahir?

Jawabannya: tahun 1956, di sebuah konferensi musim panas yang sederhana namun bersejarah di Dartmouth College, Amerika Serikat.

Siapa yang Mencetuskan?

Nama John McCarthy tercatat sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan frasa Artificial Intelligence. Ia seorang profesor matematika dan ilmu komputer, yang kala itu percaya bahwa kecerdasan manusia bisa ditiru oleh mesin jika dipahami secara sistematis.

Konteksnya

McCarthy bersama tiga rekannya – Marvin Minsky, Claude Shannon, dan Nathaniel Rochester – menyusun proposal untuk sebuah pertemuan riset. Proposal itu diberi judul:

“Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence.”

Di sanalah istilah Artificial Intelligence muncul untuk pertama kalinya. Dalam dokumen itu, McCarthy menulis sebuah visi:

"Setiap aspek pembelajaran atau kecerdasan dapat dijelaskan dengan begitu tepat, sehingga sebuah mesin dapat dibuat untuk menirunya."

Sebuah kalimat sederhana, tapi isinya revolusioner.

Dampak Sejarahnya

Meski konferensi Dartmouth tidak langsung menghasilkan terobosan besar, istilah Artificial Intelligence menjadi pondasi baru dalam dunia sains komputer. Dari sinilah, berbagai penelitian lahir: mulai dari sistem pakar di era 1970-an, gelombang machine learning di 1980–1990-an, hingga ledakan deep learning di abad ke-21.

Refleksi

Menariknya, istilah Artificial Intelligence bukan lahir dari percakapan publik atau media, melainkan dari imajinasi akademis sekelompok ilmuwan yang berani bermimpi. Mereka tidak hanya bertanya “bisakah mesin berpikir?”, tapi lebih jauh lagi: “bagaimana kita membuatnya berpikir?”

Dan kini, hampir tujuh dekade kemudian, mimpi itu sedang kita saksikan wujudnya di depan mata.

--
*from any source