"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

2025/10/16

Feodalisme: Warisan yang Tak Lagi Layak Disembah

“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Pepatah Minang yang sederhana ini menyimpan filosofi tajam: bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh derajat, jabatan, atau kekayaan; melainkan oleh budi dan akal.

Namun, di balik falsafah yang luhur itu, masih bersemayam satu warisan tua yang sulit mati di bumi Nusantara: feodalisme.


Dari Tanah dan Tuan: Asal Mula Feodalisme

Kata feodalisme berasal dari bahasa Latin feodum atau feudum, artinya tanah pemberian.
Pada abad pertengahan di Eropa, sistem ini menjadi tatanan sosial di mana raja memberikan tanah kepada bangsawan sebagai imbalan atas kesetiaan dan jasa militer.
Tanah menjadi sumber kekuasaan, dan rakyat jelata hanyalah penggarap yang harus tunduk.

Struktur sosialnya seperti piramida:
raja → bangsawan → ksatria → rakyat tani.
Di puncak segelintir orang berkuasa, di bawah berjuta yang taat tanpa hak bersuara.

Sistem ini runtuh seiring datangnya Revolusi Industri dan Revolusi Prancis; ketika manusia sadar bahwa kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan lebih berharga daripada silsilah keturunan.

Feodalisme di Timur: Lembut, tapi Mencengkeram

Meski istilahnya lahir di Barat, bentuk-bentuk feodalisme juga tumbuh di Timur.
Di Jepang, shogun, daimyo, dan samurai menciptakan tatanan ketat berlandaskan kehormatan (bushido).
Di Tiongkok, kekuasaan birokrat mandarin dan keluarga bangsawan menempatkan rakyat sebagai pelayan kekaisaran.
Di India, sistem zamindari menjadikan tuan tanah berkuasa penuh atas nasib petani.

Dan di Nusantara, terutama di Jawa, feodalisme bersalin rupa dalam budaya priyayi.
Rakyat kecil diposisikan sebagai abdi istana, dan dalam birokrasi modern, sikap itu masih terasa dalam bentuk “asal bapak senang”, “jangan lawan atasan”, atau “diam lebih aman”.

Feodalisme di Indonesia: Dari Istana ke Kantor

Feodalisme di Indonesia bukan hanya sejarah kerajaan, tapi juga mentalitas sosial.
Kita sering melihat:

  • pejabat dianggap “berkuasa atas rakyat”, bukan “pelayan rakyat”;

  • penghormatan berlebihan pada jabatan dan gelar;

  • sistem dinasti politik dan birokrasi penuh patronase;

  • takut mengkritik karena “tidak pantas melawan yang lebih tinggi”.

Padahal, bangsa yang ingin maju harus berani meratakan derajat dalam berpikir, berpendapat, dan berinovasi.

Apa Buruknya Feodalisme?

Feodalisme membuat:

  1. Rakyat kehilangan keberanian berpikir kritis.

  2. Inovasi terhambat karena keputusan hanya datang dari atas.

  3. Ketimpangan sosial mengakar, melahirkan dua dunia: yang berkuasa dan yang pasrah.

  4. Budaya menjilat dan basa-basi menjadi norma demi selamat dari risiko kehilangan jabatan.

Namun, kita juga harus adil: di masa lalu, feodalisme memiliki fungsi menjaga stabilitas sosial.
Dalam masa tanpa hukum modern, sistem hierarki memberi rasa aman.
Tapi kini, ia bukan lagi pelindung, melainkan belenggu kemajuan.

Adat Minang: Antitesis Feodalisme

Minangkabau sejak dulu menolak sistem feodal.
Struktur sosialnya berbasis musyawarah, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama.
Tak ada “tuan” atau “abdi” dalam adat Minang.
Yang ada hanya manusia yang saling hormat; bukan karena status, tapi karena akhlak.

“Tagak samo tinggi, duduok samo randah.”
Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, begitulah martabat manusia menurut adat.

Pepatah itu bukan sekadar kata bijak, melainkan perlawanan halus terhadap mentalitas tunduk dan kasta.
Ia mengingatkan kita: kekuasaan hanyalah amanah, bukan kemuliaan bawaan.

Menolak Feodalisme, Menjemput Kemajuan

Feodalisme modern sering tak terlihat. Ia bersembunyi dalam gaya bicara yang penuh basa-basi, dalam sistem kerja yang takut kritik, dalam politik yang dikuasai keluarga, bahkan dalam pikiran yang merasa “rakyat tak berhak bertanya.”

Jika bangsa ingin maju, kita harus membalik paradigma:

  • Pemimpin melayani, bukan dilayani.

  • Rakyat berdaulat, bukan ditundukkan.

  • Gelar dan jabatan hanya alat, bukan tujuan.

Karena kemajuan sejati hanya lahir dari keberanian berpikir setara.


2025/10/09

Matinya Kepakaran di Era AI?

 

Matinya Kepakaran di Era AI: Ketika Semua Orang Bisa Jadi “Ahli”

Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh sebuah poster acara dari Universitas Sebelas Maret (UNS).
Dalam acara Sebelas Maret Islamic Festival 2025, panitia menghadirkan Guru Gembul sebagai pembicara utama.
Ya, bukan profesor sejarah Islam, bukan dosen filsafat, tapi seorang kreator konten edukatif yang populer di YouTube dan TikTok.

Bagi sebagian orang, ini hal biasa — bahkan keren, karena menunjukkan bahwa dunia pendidikan mulai “melek zaman.”
Namun bagi sebagian lain, ini adalah tanda tanya besar:
Apakah ini pertanda matinya kepakaran?
Apakah generasi sekarang kehilangan respek terhadap para ahli yang puluhan tahun menekuni bidangnya?


Dari Kampus ke Konten: Pergeseran Otoritas Ilmu

Kita hidup di masa ketika otoritas ilmu berpindah tangan.
Dulu, ruang kuliah dan jurnal ilmiah adalah sumber utama pengetahuan.
Sekarang, TikTok dan YouTube menjadi ruang belajar baru bagi jutaan orang.

Para akademisi sering berbicara dengan bahasa jurnal, penuh istilah asing, dan minim konteks sosial.
Sementara kreator seperti Guru Gembul justru mengubah sejarah, filsafat, dan agama menjadi cerita yang hidup.

Ia tidak menulis di jurnal, tapi di hati audiensnya.
Dan di dunia yang dikendalikan algoritma, engagement sering lebih kuat daripada gelar akademik.

Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi pergeseran budaya:
dari otoritas ke aksesibilitas, dari siapa yang tahu ke siapa yang bisa menjelaskan.

AI dan Kematian Proses Belajar

Kemudian datanglah era baru: Artificial Intelligence (AI).
Dengan ChatGPT, Claude, Gemini, dan lainnya, semua orang bisa menjadi “pakar instan.”
Cukup ketik satu prompt, dan dalam hitungan detik kamu bisa punya esai sekelas mahasiswa S2.

AI membuat pengetahuan terasa mudah, tapi justru karena itulah, proses belajar kehilangan makna.

AI bukan guru sejati. Ia hanya mesin prediksi kata.
Ia tahu banyak, tapi tidak memahami.
Ia bisa menjawab semua hal, tapi tak bisa mempertanggungjawabkan satu pun.

Jika manusia terlalu bergantung padanya, maka yang mati bukan kepakaran,
tapi etos intelektual , yang merupakan semangat untuk belajar, meneliti, dan berpikir kritis.

Kreator vs Akademisi: Pertarungan atau Kolaborasi?

Fenomena seperti Guru Gembul tidak seharusnya dianggap ancaman bagi dunia akademik.
Ia adalah cermin bahwa kampus perlu belajar berbicara dalam bahasa masyarakat.

Kreator punya kemampuan menjangkau; akademisi punya kedalaman berpikir.
Kalau keduanya bersatu, kita akan memiliki ilmu yang mencerahkan sekaligus memasyarakat.

Sayangnya, banyak kampus masih sibuk dengan seminar formal dan jurnal yang hanya dibaca segelintir orang.
Sementara masyarakat sudah bergerak ke arah pengetahuan cepat, visual, dan emosional.
Di sinilah “kematian kepakaran” terjadi. Sebenarnya itu terjadi bukan karena AI, tapi karena pakarnya berhenti berbicara kepada umat. Tepatnya, berhenti berbicara dengan bahasa yang lebih diminati umat.

Apa Sikap Terbaik Kita di Era AI?

  1. Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti berpikir.
    Ia bisa menulis untukmu, tapi tidak bisa menggantikan pemahamanmu.

  2. Bangun jembatan antara akademisi dan publik.
    Akademisi perlu belajar berkomunikasi seperti kreator; kreator perlu berakar pada riset akademik.

  3. Rawat rasa ingin tahu.
    Jangan puas dengan jawaban cepat. Belajar sejati adalah proses, bukan hasil instan.

Penutup: Yang Mati Bukan Pakar, Tapi Etos Belajar

“Matinya kepakaran” bukan karena munculnya AI atau populernya Guru Gembul.
Kepakaran mati karena manusia berhenti menghargai proses belajar yang panjang —
karena kita lebih tertarik pada yang viral daripada yang valid.

AI hanyalah cermin zaman.
Ia memperlihatkan siapa yang sungguh ingin belajar,
dan siapa yang hanya ingin tampak pintar.


Penting!
Di masa depan, kepakaran mungkin tidak lagi ditentukan oleh gelar atau algoritma,
melainkan oleh kejujuran intelektual: siapa yang tetap mau belajar, meski tidak sedang viral.


2025/10/03

Asal-usul Istilah Artificial Intelligence

*photo is generated by Gemini AI

Ketika hari ini kita bicara tentang Artificial Intelligence (AI), seringkali pikiran kita langsung melayang ke mesin pencari pintar, robot, atau bahkan ChatGPT. Namun, tahukah Anda kapan istilah ini pertama kali lahir?

Jawabannya: tahun 1956, di sebuah konferensi musim panas yang sederhana namun bersejarah di Dartmouth College, Amerika Serikat.

Siapa yang Mencetuskan?

Nama John McCarthy tercatat sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan frasa Artificial Intelligence. Ia seorang profesor matematika dan ilmu komputer, yang kala itu percaya bahwa kecerdasan manusia bisa ditiru oleh mesin jika dipahami secara sistematis.

Konteksnya

McCarthy bersama tiga rekannya – Marvin Minsky, Claude Shannon, dan Nathaniel Rochester – menyusun proposal untuk sebuah pertemuan riset. Proposal itu diberi judul:

“Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence.”

Di sanalah istilah Artificial Intelligence muncul untuk pertama kalinya. Dalam dokumen itu, McCarthy menulis sebuah visi:

"Setiap aspek pembelajaran atau kecerdasan dapat dijelaskan dengan begitu tepat, sehingga sebuah mesin dapat dibuat untuk menirunya."

Sebuah kalimat sederhana, tapi isinya revolusioner.

Dampak Sejarahnya

Meski konferensi Dartmouth tidak langsung menghasilkan terobosan besar, istilah Artificial Intelligence menjadi pondasi baru dalam dunia sains komputer. Dari sinilah, berbagai penelitian lahir: mulai dari sistem pakar di era 1970-an, gelombang machine learning di 1980–1990-an, hingga ledakan deep learning di abad ke-21.

Refleksi

Menariknya, istilah Artificial Intelligence bukan lahir dari percakapan publik atau media, melainkan dari imajinasi akademis sekelompok ilmuwan yang berani bermimpi. Mereka tidak hanya bertanya “bisakah mesin berpikir?”, tapi lebih jauh lagi: “bagaimana kita membuatnya berpikir?”

Dan kini, hampir tujuh dekade kemudian, mimpi itu sedang kita saksikan wujudnya di depan mata.

--
*from any source