"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

2025/09/03

✨ Belajar dari Siapapun, Kapanpun, Dimanapun ✨

Biiznillah, sudah lebih dari 20 tahun saya berkecimpung di industri telekomunikasi dan e-commerce, baik di sisi klien maupun bisnis processor sourcing. Satu hal yang selalu saya pegang: jangan pernah berhenti belajar, dan belajarlah dari siapa saja.

Dalam sesi coaching, counseling, maupun mentoring, peran kita bukan sekadar mengarahkan, memberi contoh, atau menyuruh. Lebih dari itu, kita perlu menyelami cara berpikir tim, mendengar gagasan mereka, dan belajar dari pengalaman mereka. Ternyata, banyak hal berharga yang justru datang dari tim sendiri.

Itulah yang kembali saya rasakan saat skip level meeting di Semarang beberapa hari lalu. Dari percakapan yang hangat dengan rekan-rekan di sana, saya mendapat inspirasi baru, sudut pandang segar, dan pelajaran yang tak kalah penting untuk perjalanan bersama.

Karena sejatinya, setiap pertemuan adalah kesempatan untuk tumbuh.

hashtagLeadership hashtagCoaching hashtagMentoring hashtagTeamwork

Stoikisme dan Islam: Dari Ketenangan Jiwa ke Jalan Ridha

Beberapa tahun terakhir, filsafat Stoikisme mendadak viral di media sosial Indonesia. Ia hadir dalam bentuk kutipan-kutipipan singkat, gambar estetik, atau video reflektif yang beredar di layar ponsel kita. Nama-nama kuno seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius tiba-tiba akrab di telinga anak muda. Mereka dijadikan pegangan saat menghadapi stres, kekecewaan, atau kegagalan. Fenomena ini tidak lepas dari konsistensi tokoh-tokoh kontemporer seperti Ferry Irwandi, yang dengan tekun menyuarakan Stoikisme sebagai etika praktis. Bagi sebagian orang, Stoikisme terasa segar: sederhana, lugas, dan sangat relevan dengan kehidupan modern yang sering kali menghimpit.

Stoikisme memang menawarkan sesuatu yang kuat. Ajarannya ibarat kompas batin: kendalikan apa yang bisa dikendalikan, dan terimalah dengan tenang apa yang berada di luar kuasa kita. Dari prinsip itu lahir sebuah sikap yang kokoh, sebuah jiwa yang tidak mudah terguncang oleh badai. Orang Stoik percaya, jika hati mampu menguasai diri, maka ia akan mencapai ataraxia; sebuah ketenangan yang tidak lagi tergantung pada dunia luar. Di tengah situasi sosial-ekonomi yang tidak pasti, banyak orang merasa Stoikisme adalah “obat penenang” yang mujarab, seolah memberi payung bagi jiwa yang basah kuyup diguyur ketidakpastian.

Namun, jika ditilik lebih dalam, Stoikisme hanya menjawab sebagian dari pertanyaan manusia. Ada irisan sekaligus perbedaan mendasar antara Stoikisme dan ajaran Islam. Islam pun menekankan pengendalian diri, kesabaran, dan keteguhan hati. Al-Qur’an berkali-kali menyebut ṣabr (kesabaran), tawakkal (berserah setelah ikhtiar), dan riḍā (rela dengan ketentuan Allah) sebagai kunci hidup yang baik. Tetapi Islam menambahkan satu dimensi yang tak dimiliki Stoikisme: dimensi tauhid. Dalam Islam, setiap peristiwa berasal dari Allah, penuh hikmah, dan mengandung pahala bagi orang beriman. Kesabaran bukan sekadar teknik mental, melainkan ibadah yang bernilai abadi.

Di sinilah titik bedanya. Stoikisme berdiri di atas landasan rasionalitas kosmik, percaya bahwa semesta diatur oleh logos yang impersonal. Tatanan alam itu memang bisa mengajarkan harmoni, tetapi tidak memberi wajah kasih. Bagi seorang Stoik, tujuan akhir adalah ketenangan diri. Sedangkan bagi seorang Muslim, tujuan tertinggi bukan hanya tenang, tetapi ridha Allah dan keselamatan di akhirat. Islam mengajarkan bahwa jiwa tidak cukup sekadar tabah, ia harus menemukan makna di balik setiap cobaan.

Ada lagi perbedaan yang penting. Stoikisme sering dianggap “dingin” terhadap emosi. Filosof Stoik menasihati: jangan terlalu larut dalam kesedihan, jangan pula terlalu mabuk dalam kegembiraan. Tetapi Islam memberi ruang bagi fitrah manusia. Nabi Ya‘qub menangis bertahun-tahun karena kehilangan Yusuf, sampai matanya memutih karena sedih. Nabi Muhammad ﷺ meneteskan air mata ketika putranya wafat, lalu bersabda bahwa air mata adalah rahmat. Kesedihan tidak dilarang, yang dilarang hanyalah berlebihan atau berputus asa. Dengan begitu, Islam menempatkan emosi bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai tanda kemanusiaan yang perlu diarahkan.

Bagi generasi Muslim hari ini, Stoikisme bisa menjadi pintu masuk untuk belajar menata diri. Tetapi alternatif sejati justru ada dalam khazanah Islam sendiri: tasawuf dan tazkiyah al-nafs, penyucian jiwa yang mengajarkan keseimbangan lahir dan batin. Melalui dzikir, seorang Muslim menemukan ketenangan lebih dalam dari sekadar “menenangkan pikiran.” Melalui muraqabah; kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi; manusia belajar hidup dalam keheningan batin yang penuh makna. Melalui ikhlas, manusia membersihkan niat sehingga amal kecil pun bernilai besar di sisi-Nya. Sabar menjadi ibadah, ikhlas menjadi cahaya hati, dan tawakkal menjadi penopang langkah dalam menghadapi gelombang kehidupan.

Maka, Islam tidak sekadar menerima Stoikisme, tetapi melampauinya. Jika Stoikisme mengajarkan manusia untuk bertahan dari guncangan hidup, Islam mengajarkan manusia untuk berjalan di atas guncangan itu, menuju Allah dengan hati yang tenang. Jika Stoikisme memberi ketabahan, Islam memberi ketabahan sekaligus makna. Seorang Stoik mungkin bisa berdiri tegak di tengah badai, tetapi seorang Muslim diajari untuk melihat badai itu sebagai ujian cinta dari Tuhan. Inilah perbedaan yang membuat jalan Islam bukan hanya jalan ketenangan, tetapi jalan ridha. Jalan pulang yang sesungguhnya.

2025/08/19

Sjafruddin Prawiranegara: Presiden Darurat yang Nyaris Dihapus dari Ingatan Bangsa


Sejarah Indonesia sering dipenuhi dengan nama-nama besar: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, hingga Jenderal Soedirman. Namun, ada satu sosok yang perannya begitu krusial pada masa genting Republik, tetapi nyaris hilang dari buku-buku pelajaran: Sjafruddin Prawiranegara.

Ketika Republik Hampir Lumpuh

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Yogyakarta, ibu kota Republik, jatuh. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah pemimpin nasional ditawan. Secara teori, Indonesia lumpuh. Dunia internasional bisa saja menganggap Republik sudah bubar.

Namun di titik kritis itulah, Sjafruddin Prawiranegara, saat itu Menteri Kemakmuran yang tengah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, mengambil keputusan berani: mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Langkah ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan strategi penyelamatan negara. Melalui PDRI, Indonesia tetap punya kepala pemerintahan yang sah, sehingga diplomasi luar negeri dan perlawanan rakyat tidak kehilangan legitimasi. 

Tanpa PDRI, kemungkinan besar dunia akan menganggap Republik sudah tamat. Indonesia mungkin akan bernasib sama seperti banyak negara jajahan lain yang gagal merdeka.

Presiden Darurat yang Tidak Dicatat

Fakta bahwa Sjafruddin adalah Presiden Darurat Republik Indonesia jarang muncul dalam buku-buku sejarah sekolah. Padahal, dari 19 Desember 1948 sampai Juli 1949, beliaulah yang menjalankan roda pemerintahan. Dalam masa itu, Republik masih bisa melakukan komunikasi dengan dunia internasional, menjaga semangat perlawanan, dan memberi bukti bahwa Indonesia belum menyerah.

Namun, ketika Soekarno-Hatta kembali dari penahanan dan PDRI menyerahkan mandat, nama Sjafruddin seolah dipinggirkan.

Politik yang Menyingkirkan

Mengapa demikian? Salah satu jawabannya ada pada politik pasca-revolusi. Sjafruddin kemudian aktif di Partai Masyumi, partai besar yang mewakili aspirasi Islam modernis. Namun, sejak awal 1950-an, hubungan Masyumi dengan penguasa semakin tegang.

Masyumi dikaitkan dengan PRRI/Permesta dan dicap sebagai oposisi yang membahayakan stabilitas negara. Ditambah lagi, hasutan dan provokasi politik yang dimainkan PKI membuat Masyumi semakin dipandang sebagai “musuh negara”. Pada akhirnya, Masyumi dibubarkan dan banyak tokohnya dipenjarakan. Dalam iklim politik seperti itu, wajar bila jasa Sjafruddin yang identik dengan Masyumi diabaikan, bahkan dihapus dari narasi resmi sejarah nasional.

Ironi Sejarah

Inilah ironi: sosok yang menyelamatkan Republik dari kebangkrutan politik dan kehancuran diplomasi internasional justru dilupakan bangsanya sendiri. Generasi muda lebih mengenal pahlawan asing atau selebritas ketimbang Sjafruddin Prawiranegara. Padahal, tanpa keberaniannya, Indonesia mungkin tidak pernah sampai pada tahap pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Saatnya Mengingat Kembali

Generasi muda Indonesia perlu tahu bahwa sejarah tidak hitam-putih. Ada tokoh-tokoh besar yang dipinggirkan karena politik, bukan karena kurang berjasa. Mengingat Sjafruddin berarti belajar bahwa keberlangsungan negara ini bukan hanya ditopang satu-dua tokoh, melainkan oleh banyak figur yang siap mengambil risiko demi kemerdekaan.

Sejarah tidak boleh hanya menjadi propaganda penguasa. Sejarah harus jujur, adil, dan memberikan tempat bagi siapa pun yang berjasa. Dan Sjafruddin Prawiranegara adalah salah satunya, seorang Presiden Darurat yang berjasa besar, meski nyaris dihapus dari ingatan bangsa.

#jasmerah #jashijau @sorotan #jangkauanluas Narasipostmedia Literasi Kata Chandu Sejarah #sejarah #indonesia #masyumi Moeflich H. Hart Ahmad Mansur Suryanegara