"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

2025/08/19

JAS HIJAU: Jangan Sekali-Kali Hilangkan Jasa Ulama

Kalau istilah JAS MERAH – Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah – sudah sering kita dengar dari Bung Karno, maka kali ini, dalam usia 80 tahun Republik Indonesia, ada satu istilah yang layak kita gaungkan: JAS HIJAU – Jangan Sekali-Kali Hilangkan Jasa Ulama.

Kenapa? Karena sejarah kemerdekaan kita bukan hanya deretan peristiwa diplomasi, pertempuran bersenjata, atau rapat-rapat di gedung parlemen. Ada satu kekuatan yang sejak awal menjadi denyut nadi perjuangan: umat Islam yang bergerak di bawah bimbingan para ulama.

Lembaran yang Mulai Pudar

Sayangnya, di buku-buku sejarah resmi, kontribusi ulama sering hanya muncul sekilas—bahkan kadang sekadar catatan kaki. Kita hafal siapa yang mengetik teks proklamasi, siapa yang duduk di meja perundingan, siapa yang memimpin tentara. Tapi kita jarang mengingat siapa yang menggerakkan massa rakyat di desa-desa, siapa yang mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan, siapa yang mengorbankan harta, waktu, dan nyawanya tanpa pamrih jabatan.

Fakta sejarah menunjukkan, dari Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Paderi, hingga resolusi jihad 22 Oktober 1945—ulama dan umat Islam adalah garda terdepan. Mereka mengisi celah yang tak mampu dijangkau oleh senjata saja: mereka menyalakan api keyakinan bahwa melawan penjajah adalah kewajiban agama dan kehormatan bangsa.

Upaya Sistematis Menghapus Jejak

Kita perlu jujur mengakui: ada tendensi dari pihak-pihak tertentu untuk mengaburkan peran umat Islam dan ulama dalam sejarah kemerdekaan. Di banyak narasi resmi, peran mereka dikecilkan, bahkan digeser menjadi kisah-kisah pinggiran. Kadang, ulama hanya disebut “tokoh masyarakat” tanpa penjelasan bahwa merekalah motor ideologis dan organisatoris perjuangan.

Mengapa? Karena jika generasi muda mengenal peran ulama secara utuh, mereka akan menyadari bahwa Islam tidak pernah absen dalam urusan kebangsaan. Dan itu bertentangan dengan narasi sebagian kelompok yang ingin memisahkan agama dari identitas perjuangan bangsa.

Sejarawan Muslim: Menjaga Nyala Kebenaran

Beruntung, masih ada sejarawan Muslim yang konsisten menggali dan menyuarakan fakta-fakta ini—meski sering dianggap “mengganggu narasi arus utama”. Mereka menelusuri arsip, mendokumentasikan kisah lisan, dan membongkar catatan-catatan yang sengaja dilupakan. Upaya ini seperti menimba air dari sumur yang hampir tertutup: butuh kesabaran, ketekunan, dan keberanian.

Mengembalikan Hak Sejarah

Refleksi kemerdekaan ke-80 tahun ini seharusnya menjadi momentum untuk mengembalikan hak sejarah. Mengakui jasa ulama bukan berarti mengurangi peran pihak lain, melainkan melengkapi mozaik sejarah agar utuh. Kita perlu jujur mengatakan: tanpa ulama, perjuangan kemerdekaan akan pincang. Tanpa umat Islam yang digerakkan oleh nilai-nilai agama, mungkin kita akan kehilangan energi moral yang membuat bangsa ini bertahan.

Penting: JAS HIJAU untuk Generasi

Generasi muda berhak tahu bahwa bendera merah putih berkibar bukan hanya karena perundingan di meja diplomasi, tapi juga karena doa-doa panjang di surau, takbir di medan pertempuran, dan khutbah-khutbah yang menggetarkan hati.

Maka, marilah kita gaungkan: JAS HIJAU – Jangan Sekali-Kali Hilangkan Jasa Ulama. Sebab bangsa yang menghapus jejak pejuangnya adalah bangsa yang kehilangan kompas moralnya.

#jashijau #JASMERAH #jangkauansemuaorang #HUTRI80 #pahlawannasional #ulamanusantara izin tag bapak2 profesor Ahmad Mansur Suryanegara Moeflich H. Hart Ridhazia Agus Salim Mansyur Hisyam Mahrus Ali Muhammad Faraz Bajri

Sejarah Bluetooth: Dari Raja Bergigi Biru hingga Teknologi Tanpa Kabel

Pada abad ke-10, jauh sebelum ponsel pintar, laptop, dan smartwatch ada, Eropa Utara diwarnai pertikaian antar suku. Di wilayah yang kini dikenal sebagai Denmark, lahirlah seorang raja bernama Harald Gormsson. Ia memerintah Denmark (sekitar 958 M) dan kemudian menaklukkan sebagian Norwegia.

Harald punya julukan unik: “Bluetooth”, yang dalam bahasa Inggris berarti “gigi biru”. Sejarawan percaya julukan itu muncul karena satu giginya berwarna kebiruan atau gelap, entah akibat penyakit gigi atau kebiasaan makan tertentu. Namun, yang membuat namanya abadi bukanlah warna giginya, melainkan kemampuannya menyatukan suku-suku Skandinavia yang tadinya terpecah.

Harald juga dikenal membawa Kristen ke wilayahnya, memperkuat pertahanan, dan membangun infrastruktur yang menghubungkan berbagai daerah. Dalam satu kalimat sederhana: ia adalah pemersatu.


Dari Skandinavia ke Dunia Digital

Lompatan ke masa kini: akhir abad ke-20. Tahun 1994, di kota Lund, Swedia, perusahaan telekomunikasi Ericsson sedang mencari cara menghubungkan perangkat elektronik secara nirkabel jarak pendek.

Di bawah kepemimpinan Dr. Jaap Haartsen, tim peneliti Ericsson mengembangkan sistem komunikasi berbasis gelombang radio 2,4 GHz yang hemat energi. Tujuannya sederhana tapi revolusioner:

 • Menghilangkan kabel antara ponsel dan perangkat tambahan

 • Membuat berbagai merek dan jenis perangkat bisa “bicara” dengan bahasa yang sama

Teknologi ini kemudian mendapat dukungan dari raksasa teknologi lain; IBM, Intel, Nokia, dan Toshiba; yang pada 1998 membentuk Bluetooth Special Interest Group (SIG) untuk menjadikannya standar global.


Kenapa Namanya Bluetooth?

Di sinilah kisah Harald kembali hidup. Saat proyek ini masih dalam tahap pengembangan, Jim Kardach dari Intel (yang juga penggemar sejarah Nordik) mengusulkan nama “Bluetooth”. Alasannya:

“Seperti Raja Harald menyatukan Skandinavia, teknologi ini akan menyatukan berbagai perangkat komunikasi.”

Nama itu awalnya hanya dimaksudkan sebagai codename proyek. Namun, ketika para pendiri menyadari belum ada nama komersial yang lebih kuat, “Bluetooth” resmi dipakai.


Simbol Rahasia di Logo

Logo Bluetooth bukan sekadar ikon acak. Desainnya menggabungkan dua huruf rune Nordik:

 • ᚼ (H) untuk Harald

 • ᛒ (B) untuk Bluetooth

Keduanya disatukan, melambangkan persatuan yang menjadi roh dari teknologi ini.


Peluncuran dan Dampak

Teknologi Bluetooth resmi dipublikasikan tahun 1998. Tahun 1999, produk konsumen pertama dengan Bluetooth lahir: handsfree nirkabel untuk ponsel. Sejak itu, Bluetooth berkembang menjadi standar komunikasi global, dipakai di headset, speaker, komputer, kamera, mobil, hingga perangkat IoT.

Dari seorang raja bergigi biru yang mempersatukan bangsa, hingga sebuah teknologi yang mempersatukan perangkat di seluruh dunia. Kisah Bluetooth adalah bukti bahwa kadang, sejarah dan teknologi bisa bertaut dalam cara yang paling tak terduga.

#teknologi #fersus #jangkauansemuaorang #Bluetooth #skandinavia #kingharald #denmark #norway #sweden

2025/07/16

Menumbuhkan Kejeniusan di Contact Center: Belajar dari The Geography of Genius

Dalam bukunya yang terkenal, The Geography of Genius, Eric Weiner mengajak kita menjelajahi tempat-tempat paling kreatif dalam sejarah manusia; Athena, Hangzhou, Florence, Edinburgh, hingga Silicon Valley. Di tiap tempat, ia menemukan satu benang merah yang tak terbantahkan: kejeniusaan bukan sesuatu yang lahir secara tiba-tiba atau murni dari bakat bawaan, melainkan hasil dari lingkungan yang kaya akan budaya belajar, diskusi, dan kolaborasi.

Pertanyaannya: mungkinkah kita menumbuhkan ekosistem seperti itu, bukan di kota-kota besar dunia, melainkan di tempat kerja kita sehari-hari? Jawabannya: sangat mungkin. Bahkan di tengah kesibukan operasional sebuah contact center sekalipun.

Mengapa Contact Center Butuh Budaya Belajar dan Berbagi?

Contact center sering dianggap sebagai pusat layanan cepat, penuh SOP, dan ritme kerja yang repetitif. Namun di balik layar, pekerjaan agen contact center sangatlah kompleks: mereka menjadi ujung tombak interaksi brand dengan pelanggan, memecahkan masalah, dan menjaga kepuasan pelanggan dalam tekanan waktu yang sempit.

Tanpa budaya belajar, agen akan berhenti berkembang.

Tanpa budaya berbagi, pengetahuan praktis akan terputus, hanya bertahan dalam kepala masing-masing individu.

Tanpa komunitas keilmuan, organisasi kehilangan potensi besar untuk tumbuh dari dalam.

Padahal, seperti yang dikisahkan Weiner, kejeniusaan justru lahir dari lingkungan yang ramai, yang bising oleh pertanyaan, terbuka terhadap perbedaan, dan terus bergerak dalam diskusi.


Membangun “Athena” di Contact Center

Berikut beberapa prinsip yang bisa kita tiru dari kota-kota “genius” versi Eric Weiner dan terapkan di contact center:

1. Sediakan Ruang untuk Rasa Ingin Tahu

Athena dikenal karena filsuf-filsufnya yang tidak takut bertanya. Di contact center, penting menyediakan ruang di mana agen bisa bertanya, mengusulkan perbaikan, atau menyampaikan kebingungan tanpa takut dihakimi.

2. Dorong Budaya Berbagi Pengetahuan

Di Hangzhou dan Florence, ide-ide menyebar cepat karena adanya komunitas yang aktif. Demikian pula, agen perlu dilatih untuk saling berbagi teknik komunikasi, pengalaman kasus sulit, hingga best practice yang mereka temukan di lapangan.

3. Rayakan Keberagaman Pendekatan

Weiner menyebut bahwa keberagaman (diversity) adalah unsur penting dalam munculnya inovasi. Dalam tim contact center, keberagaman pengalaman, gaya bicara, atau strategi pendekatan pelanggan harus dihargai dan dibagikan.

4. Bangun Komunitas Pembelajar

Buat sesi berbagi rutin, micro-learning, mentoring antar agen senior-junior, hingga gamifikasi untuk tantangan knowledge sharing. Dari sana bisa lahir komunitas internal yang hidup, seperti “klub pemikir” ala Edinburgh abad ke-18.

5. Jangan Takut Kekacauan

Weiner menegaskan bahwa kejeniusan kerap lahir dari kekacauan yang terorganisir. Artinya, jangan takut dengan percobaan, ketidaksempurnaan, atau bahkan kegagalan. Di balik satu kesalahan, bisa lahir solusi jitu yang belum pernah dicoba sebelumnya.


Penting! Kejeniusan Itu Menular

Buku The Geography of Genius memberi pelajaran penting: kejeniusaan bisa ditumbuhkan, dan lebih dari itu, ia bisa menular. Asal ada budaya belajar, budaya berbagi, dan ruang sosial yang aktif, contact center bisa menjadi inkubator bagi agen-agen cerdas yang tidak hanya andal dalam melayani, tapi juga berkembang menjadi pemikir, pemecah masalah, dan bahkan pemimpin masa depan.

Mewujudkan itu semua bukan hanya tanggung jawab tim Learning & Development, tetapi tanggung jawab bersama, mulai dari pimpinan tim hingga setiap agen yang punya satu ide kecil untuk dibagikan.

Mari kita bangun Athena kita sendiri.