"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


Showing posts with label Inspiration. Show all posts
Showing posts with label Inspiration. Show all posts

2025/07/16

Menumbuhkan Kejeniusan di Contact Center: Belajar dari The Geography of Genius

Dalam bukunya yang terkenal, The Geography of Genius, Eric Weiner mengajak kita menjelajahi tempat-tempat paling kreatif dalam sejarah manusia; Athena, Hangzhou, Florence, Edinburgh, hingga Silicon Valley. Di tiap tempat, ia menemukan satu benang merah yang tak terbantahkan: kejeniusaan bukan sesuatu yang lahir secara tiba-tiba atau murni dari bakat bawaan, melainkan hasil dari lingkungan yang kaya akan budaya belajar, diskusi, dan kolaborasi.

Pertanyaannya: mungkinkah kita menumbuhkan ekosistem seperti itu, bukan di kota-kota besar dunia, melainkan di tempat kerja kita sehari-hari? Jawabannya: sangat mungkin. Bahkan di tengah kesibukan operasional sebuah contact center sekalipun.

Mengapa Contact Center Butuh Budaya Belajar dan Berbagi?

Contact center sering dianggap sebagai pusat layanan cepat, penuh SOP, dan ritme kerja yang repetitif. Namun di balik layar, pekerjaan agen contact center sangatlah kompleks: mereka menjadi ujung tombak interaksi brand dengan pelanggan, memecahkan masalah, dan menjaga kepuasan pelanggan dalam tekanan waktu yang sempit.

Tanpa budaya belajar, agen akan berhenti berkembang.

Tanpa budaya berbagi, pengetahuan praktis akan terputus, hanya bertahan dalam kepala masing-masing individu.

Tanpa komunitas keilmuan, organisasi kehilangan potensi besar untuk tumbuh dari dalam.

Padahal, seperti yang dikisahkan Weiner, kejeniusaan justru lahir dari lingkungan yang ramai, yang bising oleh pertanyaan, terbuka terhadap perbedaan, dan terus bergerak dalam diskusi.


Membangun “Athena” di Contact Center

Berikut beberapa prinsip yang bisa kita tiru dari kota-kota “genius” versi Eric Weiner dan terapkan di contact center:

1. Sediakan Ruang untuk Rasa Ingin Tahu

Athena dikenal karena filsuf-filsufnya yang tidak takut bertanya. Di contact center, penting menyediakan ruang di mana agen bisa bertanya, mengusulkan perbaikan, atau menyampaikan kebingungan tanpa takut dihakimi.

2. Dorong Budaya Berbagi Pengetahuan

Di Hangzhou dan Florence, ide-ide menyebar cepat karena adanya komunitas yang aktif. Demikian pula, agen perlu dilatih untuk saling berbagi teknik komunikasi, pengalaman kasus sulit, hingga best practice yang mereka temukan di lapangan.

3. Rayakan Keberagaman Pendekatan

Weiner menyebut bahwa keberagaman (diversity) adalah unsur penting dalam munculnya inovasi. Dalam tim contact center, keberagaman pengalaman, gaya bicara, atau strategi pendekatan pelanggan harus dihargai dan dibagikan.

4. Bangun Komunitas Pembelajar

Buat sesi berbagi rutin, micro-learning, mentoring antar agen senior-junior, hingga gamifikasi untuk tantangan knowledge sharing. Dari sana bisa lahir komunitas internal yang hidup, seperti “klub pemikir” ala Edinburgh abad ke-18.

5. Jangan Takut Kekacauan

Weiner menegaskan bahwa kejeniusan kerap lahir dari kekacauan yang terorganisir. Artinya, jangan takut dengan percobaan, ketidaksempurnaan, atau bahkan kegagalan. Di balik satu kesalahan, bisa lahir solusi jitu yang belum pernah dicoba sebelumnya.


Kesimpulan: Kejeniusan Itu Menular

Buku The Geography of Genius memberi pelajaran penting: kejeniusaan bisa ditumbuhkan, dan lebih dari itu, ia bisa menular. Asal ada budaya belajar, budaya berbagi, dan ruang sosial yang aktif, contact center bisa menjadi inkubator bagi agen-agen cerdas yang tidak hanya andal dalam melayani, tapi juga berkembang menjadi pemikir, pemecah masalah, dan bahkan pemimpin masa depan.

Mewujudkan itu semua bukan hanya tanggung jawab tim Learning & Development, tetapi tanggung jawab bersama, mulai dari pimpinan tim hingga setiap agen yang punya satu ide kecil untuk dibagikan.

Mari kita bangun Athena kita sendiri.

2025/06/19

Skill Akan Dicari, Meski Ijazahmu Biasa

Dulu, ijazah dan gelar akademik dianggap sebagai tiket utama menuju pekerjaan impian dan karier yang menjanjikan. Lulusan universitas ternama sering kali menjadi incaran utama perusahaan. Tapi zaman telah berubah. Dunia kerja kini tidak lagi hanya bertanya kamu lulusan dari mana, melainkan lebih tertarik pada satu hal yang sangat praktis dan relevan: apa yang bisa kamu lakukan.
Perusahaan hari ini tidak selalu mencari nama besar kampus di CV-mu. Mereka mencari bukti nyata. Mereka ingin melihat portofolio yang menunjukkan kemampuanmu dalam menyelesaikan masalah nyata. Mereka ingin tahu bagaimana kamu berpikir, mengambil keputusan, beradaptasi, dan menciptakan nilai. Bukan sekadar nilai IPK, tapi nilai yang benar-benar dirasakan oleh tim dan organisasi.
Banyak pemimpin sukses di era sekarang yang bahkan tidak memiliki gelar tinggi. Tapi mereka memiliki keterampilan yang tajam, kemauan belajar yang kuat, dan karakter yang dapat diandalkan. Dari entrepreneur muda yang membangun bisnis dari kamar tidur, hingga developer teknologi yang menciptakan aplikasi revolusioner tanpa pernah lulus dari bangku kuliah formal, semuanya membuktikan bahwa skill adalah mata uang masa depan.
Skill adalah jalan masuk menuju kepercayaan. Dengan skill, orang lain mulai mempercayakan tanggung jawab. Skill juga menciptakan peluang baru. Di dunia yang sangat cepat berubah ini, keterampilan teknis dan interpersonal menjadi sangat penting. Bukan hanya bisa melakukan, tapi juga bisa menyampaikan, bekerja sama, memimpin, dan belajar hal baru dengan cepat.
Kisah Nabi Yusuf alayhissalam menjadi bukti betapa keterampilan menjadi nilai yang sangat diperhitungkan. Ketika beliau menawarkan diri untuk mengelola perbendaharaan negeri, beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS Yusuf: 55). Dua hal yang beliau sebut adalah amanah dan keahlian. Inilah kombinasi sempurna yang membuatnya layak dipercaya memimpin dan membawa perubahan besar.
Jika kamu sudah belajar, maka saatnya mempraktikkan. Jika kamu belum bisa, maka teruslah melatih diri. Karena keterampilan bukan warisan atau takdir, melainkan buah dari latihan, ketekunan, dan kesungguhan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang jika ia bekerja, maka ia menyempurnakannya.” (HR Thabrani). Maka sempurnakanlah ilmu dengan keterampilan agar mimpi tidak hanya tinggal wacana, tapi benar-benar menjadi nyata.

2025/06/09

Don’t Explain Your Philosophy. Embody It!

Ada kalanya kata-kata terlalu murah. Kita hidup di zaman di mana siapa saja bisa mengutip filsuf, berbicara tentang prinsip hidup, atau menyusun kalimat bijak yang terlihat mengesankan di media sosial. Tapi Epictetus, seorang filsuf Stoik dari abad pertama, mengingatkan kita dengan satu kalimat yang menusuk dan membongkar semua basa-basi: “Don’t explain your philosophy. Embody it.”

Jangan jelaskan filosofi hidupmu. Jalani!
Kutipan ini terdengar sederhana, tapi menyimpan kedalaman yang brutal. Karena menjalani filosofi hidup jauh lebih sulit daripada menjelaskannya. Menjelaskan bisa dilakukan dalam beberapa menit; dengan pidato, status, atau podcast. Tapi mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan, dalam konsistensi harian, dalam diam saat tidak ada yang melihat. Itulah ujian sejati.
Kita sering terjebak dalam keinginan untuk dikenal sebagai orang yang bermakna, yang punya prinsip, yang berpikir dalam. Kita ingin orang tahu bahwa kita kuat, sabar, tangguh, jujur. Tapi Epictetus bilang: jangan beri tahu. Buktikan. Dunia tidak butuh lebih banyak deklarasi. Dunia butuh contoh nyata.
Filosofi yang sebenarnya bukan tentang kata-kata yang kamu kumpulkan, tapi bagaimana kamu bereaksi saat hidup menguji batasmu. Saat kecewa, apakah kamu menyerah atau tetap tenang? Saat gagal, apakah kamu menyalahkan atau belajar? Saat tak ada yang menonton, apakah kamu tetap melakukan hal yang benar? Di sanalah tempat filosofi hidupmu berbicara, meski kamu tak mengucapkan sepatah kata pun.
Dan justru karena kamu tidak sibuk menjelaskan siapa dirimu, orang-orang bisa melihatnya lebih jelas. Kamu tidak sedang menjual citra, kamu sedang membangun karakter. Kamu tidak mencoba mempengaruhi persepsi, kamu sedang membentuk kenyataan.
Ini bukan ajakan untuk diam. Tapi peringatan agar kita tidak berhenti di permukaan. Karena dunia tidak diubah oleh mereka yang paling pandai bicara, tapi oleh mereka yang hidup dengan integritas, dengan prinsip yang tak goyah meski tak selalu dimengerti.
Jadi jika kamu punya filosofi hidup tentang kejujuran, kesederhanaan, disiplin, atau kasih, jangan sibuk menjelaskannya. Hidupkan. Biarkan orang merasakannya melalui sikapmu. Bukan karena kamu bicara, tapi karena mereka melihat kamu benar-benar berbeda.
Karena filosofi yang paling kuat bukan yang diucapkan, tapi yang dijalani. Diam-diam. Konsisten. Utuh.

2025/05/12

KSA: Fondasi Utama untuk Meraih Masa Depan di Dunia Kerja

Dalam dunia kerja yang terus berubah, sering kita dengar tentang pentingnya knowledge (pengetahuan) dan skill (keterampilan). Tapi sesungguhnya, ada satu unsur lagi yang justru menjadi kunci pembeda: attitude (sikap). Ketiganya membentuk apa yang dikenal sebagai KSA, yaitu Knowledge, Skill, dan Attitude.

Mereka seperti segitiga sama sisi yang saling menopang. Tanpa keseimbangan, segitiga itu akan goyah, bahkan runtuh.

Mari kita bayangkan sejenak.

Jika seseorang punya skill yang tinggi dan attitude yang baik, tapi minim knowledge, maka kemampuannya akan terbatas. Ia bisa mengerjakan tugas dengan baik, tapi tidak mampu mengembangkan diri lebih jauh atau memberi solusi baru saat situasi berubah. Ia bisa menjadi pekerja keras, tapi sulit menjadi inovator.

Di sisi lain, orang yang punya knowledge luas dan attitude yang positif, namun kekurangan skill praktis, akan kesulitan menerjemahkan teori ke dalam aksi nyata. Ia tahu banyak, ia berniat baik, tapi kontribusinya di lapangan minim. Di dunia kerja, hasil nyata yang terlihat akan selalu lebih dihargai dibanding sekadar ide yang belum diwujudkan.

Dan lebih berbahaya lagi, jika seseorang memiliki knowledge yang tinggi dan skill yang mumpuni, tapi kehilangan attitude yang benar. Ia bisa jadi sosok yang pintar dan handal, tapi sulit dipercaya, tidak bisa bekerja dalam tim, atau bahkan menciptakan konflik di lingkungan kerja. Kombinasi ini membuatnya kehilangan kehormatan di mata rekan kerja, dan pada akhirnya, kariernya pun akan tersendat.

Itulah sebabnya, di dunia kerja hari ini, baik di perusahaan multinasional, startup, maupun BPO, para pemimpin tak hanya mencari orang yang pintar atau terampil, tapi yang juga punya attitude yang bisa dipercaya, yang membawa energi positif, dan mampu membangun hubungan baik dengan tim.

Knowledge membuat kita relevan di tengah perubahan.
Skill membuat kita produktif dan bisa diandalkan.
Tapi attitude lah yang menjaga kita tetap dipercaya, dihormati, dan diberi ruang untuk terus tumbuh.

Banyak karier yang naik bukan semata karena ilmunya yang tinggi, tapi karena sikapnya yang rendah hati, mau belajar, dan mampu membangun kepercayaan di setiap relasi. Dan sebaliknya, tak sedikit yang jatuh bukan karena kurang pintar, tapi karena sikap yang merusak dirinya sendiri.

Jadi, jika hari ini kita ingin meraih masa depan yang lebih baik, jangan hanya sibuk menambah knowledge dan melatih skill. Periksalah juga attitude kita: bagaimana cara kita bersikap pada atasan, rekan kerja, bawahan, bahkan pada diri sendiri. Karena ketiganya, K, S, dan A, adalah fondasi yang tak bisa dipisahkan.

Segitiga yang kuat adalah segitiga yang sisi-sisinya sama panjang.
Begitu pula masa depan kita di dunia kerja: ia tegak berdiri ketika knowledge, skill, dan attitude berjalan seimbang.

Dan menariknya, attitude sering kali menjadi pintu pertama sebelum orang lain peduli seberapa besar knowledge dan skill yang kita punya. Orang akan lebih mudah memberi kesempatan pada mereka yang membawa aura positif, yang ramah, yang mau belajar, sebelum akhirnya menilai kemampuan yang lebih dalam. Sikap baik membuka ruang, lalu pengetahuan dan keterampilanlah yang mengokohkan posisi kita.

Di dunia yang serba cepat dan kompetitif ini, kemampuan belajar hal baru sangat penting, tapi kemampuan menjaga sikap tetap rendah hati, disiplin, dan bisa diajak kerja sama itulah yang membuat kita terus dilibatkan dalam lingkaran kesempatan yang lebih besar. Karena dalam jangka panjang, perusahaan dan rekan kerja selalu ingin bersama orang yang bisa dipercaya, bukan hanya yang sekadar pintar.

2025/05/08

Kembali ke Selera Asal

Di rantau, lidah kita belajar menyesuaikan diri. Seperti Ayah Yusman, saudara dari suami bibi di foto ini, yang sudah lebih dari 40 tahun berakar di Semarang. Lidahnya pun luluh dalam manisnya cita rasa Jawa Tengah. Namun, tiap kali ada pertemuan besar, makan bersama sanak saudara, arah selera itu selalu kembali. Pilihannya tak pernah jauh-jauh dari rumah makan atau resto Padang yang menyajikan rasa otentik, seolah memanggil kembali memori masa kecil yang tertanam kuat.

Begitulah indra rasa kita dibentuk. Bukan semata oleh bahan dan bumbu, tapi oleh tangan ibu yang memasak dengan cinta. Oleh suara sendok yang beradu di dapur, oleh harum gulai yang mengepul dan menguar ke seluruh rumah. Masakan bundo kanduong, memang tak ada tandingnya. Di dalam tiap suapnya, ada kasih sayang yang diam-diam meresap, membentuk siapa diri kita, mengikat kita pada akar yang tak terlihat tapi selalu kuat menarik saat kita mulai melayang jauh.

Suatu hari nanti, anak-anak kita pun akan mengembara. Mereka akan menjejakkan kaki di kota lain, belajar menyukai rasa baru, menyesuaikan lidah dengan tempat mereka berpijak. Tapi percayalah, ada selera asal yang akan selalu mereka cari saat rindu datang mengetuk. Itu sebabnya, dapur rumah bukan sekadar tempat memasak. Ia adalah altar cinta, tempat di mana ibu menenun rindu yang kelak akan jadi penaut sepanjang hayat.

Karena sejauh apa pun langkah pergi, kita semua pada akhirnya akan selalu kembali. Pada selera asal, pada pelukan ibu yang abadi dalam tiap rasa.

2025/05/02

Pendidikan dan Kesehatan: Fondasi Kemajuan Bangsa

Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Bukan sekadar seremonial, hari ini sejatinya menjadi pengingat akan pesan-pesan luhur para pendiri bangsa. Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, pernah menyatakan dengan tegas: "Dasar kemajuan bangsa kita ada di sekolah dan rumah sakit." Sebuah pernyataan sederhana namun sarat makna. Di balik kata-kata itu, tersembunyi strategi besar membangun peradaban: majukan pendidikan, kuatkan kesehatan, maka bangsa ini akan melesat.

Mengapa Pendidikan dan Kesehatan?

Pendidikan adalah mesin penggerak perubahan. Di sekolah, anak-anak bangsa ditempa menjadi manusia merdeka—berpikir kritis, berakhlak mulia, dan punya daya saing global. Sementara kesehatan adalah fondasi yang menopang segalanya. Mustahil rakyat bisa belajar, bekerja, dan berinovasi jika kondisi kesehatannya terpuruk.

Bung Hatta paham betul, kemajuan ekonomi, politik, dan teknologi tak akan berarti tanpa rakyat yang cerdas dan sehat. Lihatlah negara-negara maju: investasi terbesar mereka ada di sektor pendidikan dan kesehatan.

Bukti Hari Ini

Apakah kita hari ini melihat kebenaran dari apa yang Bung Hatta katakan? Jawabannya: ya, meskipun perjalanan kita belum tuntas. Negara-negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi selalu mencetak skor baik dalam pendidikan dan kesehatan. Di Indonesia sendiri, daerah-daerah yang menggenjot dua sektor ini tampak lebih maju secara ekonomi dan sosial.

Namun, tantangan masih besar. Masih banyak anak yang putus sekolah. Layanan kesehatan belum sepenuhnya merata, terutama di pelosok. Ini pekerjaan rumah kita bersama.

Peran Kita Sebagai Warga

Sebagai warga negara, peran kita bukan hanya menuntut. Kita adalah bagian dari solusi. Apa yang bisa kita lakukan?

  • Menghargai dan mendukung guru serta tenaga kesehatan yang menjadi garda depan.

  • Aktif dalam komunitas untuk mendorong gerakan literasi dan hidup sehat.

  • Mendidik anak-anak di rumah dengan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan kepedulian.

Harapan pada Penyelenggara Negara

Kita berharap para pemimpin negeri:

  • Memastikan anggaran pendidikan dan kesehatan tidak sekadar besar di angka, tetapi efektif di lapangan.

  • Membangun sistem yang adil dan merata agar tak ada satu anak pun yang tertinggal.

  • Berani melakukan reformasi, mulai dari kurikulum hingga manajemen rumah sakit.

Teladan dari Muhammadiyah

Lihatlah apa yang sudah dilakukan oleh ormas seperti Muhammadiyah. Sejak lama, mereka menjadi pelopor dalam membangun sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan klinik. Gerakan ini lahir dari semangat gotong royong, bukan menunggu negara. Mereka membuktikan bahwa masyarakat sipil bisa menjadi motor perubahan.

Kiat Melejitkan Kemajuan Bangsa

Jika kita ingin benar-benar melejit, ada beberapa kiat strategis:

  • Fokus pada kualitas, bukan hanya kuantitas. Bangun sekolah dan rumah sakit yang bermutu.

  • Dorong inovasi. Gunakan teknologi untuk memperluas akses pendidikan dan layanan kesehatan.

  • Libatkan semua pihak. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, ormas, dan rakyat harus diperkuat.

  • Tanamkan budaya belajar sepanjang hayat. Pendidikan tidak berhenti di bangku sekolah.

Hari Pendidikan Nasional ini semestinya menjadi momentum. Kita teguhkan kembali komitmen untuk mencerdaskan dan menyehatkan bangsa. Sebab, seperti yang Bung Hatta katakan, dari sekolah dan rumah sakitlah peradaban kita akan tumbuh dan kemajuan itu akan datang.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari terus belajar, mari terus bergerak!

2025/05/01

Refleksi Diri di Hari Buruh: Menjadi Lebih Baik dari Diri Sendiri

Di depan cermin, kita bertemu sosok yang paling bisa kita percaya: diri sendiri. Dan hari ini, 1 Mei, saat dunia mengenang perjuangan para buruh, inilah waktu yang tepat untuk melakukan refleksi — bukan untuk menilai orang lain, tapi untuk menakar sejauh mana kita telah melangkah.

May Day bukan sekadar tanggal merah di kalender. Ia adalah momen untuk berhenti sejenak, menunduk pada peluh yang telah jatuh, dan menatap mata kita sendiri di cermin dengan satu pertanyaan sederhana:

Sudahkah aku menjadi lebih baik dari diriku yang kemarin?


Semangat buruh adalah semangat perubahan. Bukan perubahan yang lahir dari persaingan semata, tapi perubahan yang tumbuh dari dalam, dari tekad untuk bangkit setiap pagi dengan niat menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Karena sejatinya, kemenangan terbesar bukan saat kita lebih tinggi dari orang lain, tapi saat kita lebih kuat, lebih sabar, lebih bijak dari diri kita yang dulu.


Refleksi diri di Hari Buruh mengajarkan kita bahwa setiap tetes keringat adalah benih harapan.

Bangun lebih pagi bukan sekadar rutinitas, tapi bentuk disiplin.

Bekerja lebih keras bukan sekadar tuntutan, tapi bentuk dedikasi.

Belajar lebih bijak bukan sekadar pilihan, tapi kunci untuk membuka masa depan yang lebih layak.


Mari rayakan May Day bukan hanya dengan teriakan semangat, tapi juga dengan tekad dalam hati.

Tekad untuk terus bertumbuh, walau perlahan.

Tekad untuk terus belajar, walau tertatih.

Tekad untuk terus melangkah, walau dunia mencoba menahan. Karena semangat buruh sejatinya adalah semangat hidup:

Berakar di tanah, bercermin pada diri, dan bermekaran dengan harapan yang tak pernah padam.


Selamat Hari Buruh.


Semangat selalu untuk semua pejuang kehidupan, yang hari ini memilih untuk menjadi lebih baik dari dirinya yang kemarin.


#MayDay2025  #HariBuruhInternasional  #RefleksiDiri  #SemangatBuruh  #MenjadiLebihBaik  #PejuangKehidupan  #TerusMelangkah  


2025/02/20

#KaburAjaDulu: Antara Keputusasaan, Harapan, dan Jalan Keluar


Akhir-akhir ini, tagar #KaburAjaDulu menggema di media sosial Indonesia, mencerminkan gelombang kegelisahan anak muda terhadap masa depan mereka. Banyak yang bertanya-tanya, apakah ini bentuk keputusasaan? Apakah ini pertanda bahwa mereka tak lagi melihat harapan di dalam negeri? Apakah ini sinyal melunturnya nasionalisme atau justru sebuah strategi bertahan hidup yang lebih realistis?

Mari kita bedah dengan kepala dingin dan hati yang jernih.


Mencari Penghidupan atau Melarikan Diri?

Bukan rahasia bahwa di Indonesia, mendapatkan pekerjaan layak sering kali terasa seperti menapaki labirin tanpa akhir. Lulusan perguruan tinggi tumbuh setiap tahun, sementara lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian mereka masih terbatas. Bahkan bagi mereka yang sudah bekerja, banyak yang merasa upah tidak sepadan dengan biaya hidup yang terus meningkat.

Di sisi lain, melihat peluang di luar negeri bukan berarti menolak negeri sendiri. Justru, dalam banyak kasus, anak-anak muda ini berangkat dengan harapan bisa menimba ilmu dan pengalaman, agar suatu hari bisa kembali membawa perubahan bagi tanah airnya. Mereka ingin berkembang, mendapatkan apresiasi yang layak, dan hidup dengan lebih baik. Ini bukan sekadar "kabur", tetapi sebuah langkah strategis untuk bertahan dan maju.

Apakah Ini Tanda Keputusasaan?

Tidak sepenuhnya. Justru, tagar ini menunjukkan bahwa generasi muda memiliki kesadaran akan kondisi yang dihadapi. Mereka tidak mau pasrah menerima keadaan. Mereka mencari jalan keluar, bukan sekadar mengeluh. Keputusan untuk mencari peluang di luar negeri adalah bukti bahwa mereka masih memiliki harapan. Jika benar-benar putus asa, mereka mungkin sudah menyerah begitu saja.

Namun, yang perlu dicatat adalah: jika terlalu banyak talenta terbaik pergi tanpa ada upaya menarik mereka kembali, maka kita menghadapi risiko brain drain yang serius. Negara ini bisa kehilangan energi terbaiknya. Indonesia bisa kehilangan insinyur terbaik, dokter terbaik, ilmuwan terbaik, dan inovator terbaiknya. Lalu siapa yang akan membangun negeri ini?

Ketika Pejabat Ikut Berkomentar

Di tengah panasnya perdebatan, seorang wakil menteri dengan enteng mengatakan bahwa anak muda yang merasa tidak puas lebih baik "kabur saja, kalau perlu jangan kembali". Pernyataan ini memantik reaksi keras karena seakan-akan pemerintah menyerah dalam menyediakan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda.

Di sisi lain, ada juga seorang menteri yang mempertanyakan nasionalisme mereka yang memilih bekerja di luar negeri. Seolah-olah, nasionalisme hanya bisa diukur dari keberadaan fisik seseorang di dalam negeri, bukan dari kontribusi nyata bagi bangsa, di mana pun mereka berada.

Padahal, dalam sejarah, banyak negara yang justru maju berkat diaspora mereka yang membawa perubahan dari luar. Nasionalisme tidak diukur dari posisi geografis, melainkan dari niat dan aksi nyata seseorang dalam berkontribusi bagi bangsanya.

Nasionalisme: Di Mana Kita Berada atau Apa yang Kita Lakukan?

Ada anggapan bahwa bekerja di luar negeri berarti kehilangan rasa nasionalisme. Padahal, nasionalisme bukan soal di mana kita berada, melainkan apa yang kita lakukan. Seorang anak muda yang bekerja di luar negeri, sukses membangun karier, dan suatu hari kembali membawa teknologi, investasi, atau ide-ide baru, bisa lebih nasionalis daripada mereka yang hanya tinggal di dalam negeri tetapi tidak berkontribusi bagi bangsanya.

Jepang, Korea Selatan, dan China pernah mengalami gelombang diaspora besar-besaran. Tetapi pemerintah mereka cerdas: mereka menciptakan ekosistem yang menarik bagi para talenta untuk kembali. Mereka memanfaatkan jaringan diaspora untuk investasi, teknologi, dan inovasi. Apakah Indonesia siap melakukan hal yang sama?

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah dan Pemangku Kepentingan?

Jika pemerintah dan pemangku kepentingan serius ingin mencegah eksodus talenta terbaik, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

  1. Menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas yang memberikan kompensasi dan apresiasi yang setara dengan keterampilan yang dimiliki.
  2. Meningkatkan ekosistem inovasi dan wirausaha sehingga anak muda tidak hanya bergantung pada pekerjaan formal, tetapi juga mampu menciptakan peluangnya sendiri.
  3. Membangun program untuk menarik kembali diaspora Indonesia, baik melalui kebijakan insentif pajak, kemudahan investasi, atau dukungan bagi mereka yang ingin kembali dan berkontribusi.
  4. Reformasi pendidikan dan pelatihan keterampilan agar lebih sesuai dengan kebutuhan industri saat ini, bukan hanya sekadar menghasilkan lulusan yang bingung mencari kerja.

Bagaimana Sikap Generasi Muda?

Bagi generasi muda yang sedang galau dengan pilihan “bertahan atau pergi,” ingatlah: keputusan ada di tangan kita. Pergi bukan berarti menyerah, dan tinggal bukan berarti pasrah. Yang terpenting adalah terus berkembang, terus berusaha menjadi lebih baik, dan tetap berkontribusi bagi negeri, di mana pun kita berada.

Jangan hanya berpikir "kabur", tetapi pikirkan "ke mana dan untuk apa?" Jika memutuskan pergi, pastikan itu adalah langkah strategis. Jika memilih bertahan, pastikan kita berjuang untuk menciptakan perubahan.

Indonesia tidak akan maju hanya dengan menyalahkan keadaan, tetapi dengan tindakan nyata dari kita semua.

Jadi, apa langkahmu selanjutnya?

2024/12/30

Meniti Hikmah di Ujung Tahun: Refleksi 2024, Resolusi 2025

Menjelang pergantian tahun, banyak dari kita secara alami terdorong untuk berhenti sejenak dan merenung. Tahun 2024, dengan segala pencapaian, perjuangan, kebahagiaan, dan tantangannya, kini hampir berlalu. Dalam Islam, meskipun tidak ada ajaran untuk merayakan pergantian tahun, momentum ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk melakukan refleksi. Sebagaimana pesan bijak dari Umar bin Khattab, "Hasibu anfusakum qobla antuhasabu," hisablah dirimu sebelum kamu dihisab. Refleksi bukan sekadar melihat ke belakang, tetapi sebuah upaya mengevaluasi diri agar langkah ke depan menjadi lebih bermakna.

Tahun 2024 mungkin menghadirkan banyak pelajaran, baik yang manis maupun pahit. Dari kegagalan, kita belajar untuk bangkit. Dari kesuksesan, kita diingatkan untuk bersyukur dan tetap rendah hati. Setiap momen adalah cermin dari perjalanan kita menuju kehidupan yang lebih baik, baik secara spiritual maupun duniawi. Dalam refleksi ini, kita bisa bertanya kepada diri sendiri: Apa yang telah kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah? Apa amal baik yang telah menjadi kebiasaan? Dan, adakah langkah-langkah yang mungkin telah menjauhkan kita dari ridha-Nya?

Menyambut tahun 2025, alih-alih hanya sekadar membuat resolusi seperti yang umum dilakukan banyak orang, kita bisa menjadikannya momen untuk memperbarui niat. Resolusi kita tidak hanya soal target duniawi, seperti karier yang lebih baik atau hidup yang lebih sejahtera, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa lebih taat, lebih bermanfaat bagi orang lain, dan lebih menjaga amanah yang diberikan Allah kepada kita. Menjadikan hidup lebih bermakna tidak hanya dengan mencapai ambisi pribadi, tetapi dengan memaknai setiap langkah sebagai bagian dari perjalanan menuju akhirat.

Waktu adalah anugerah yang sangat berharga. Setiap detik adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Tahun baru masehi hanyalah simbol perubahan waktu, tetapi maknanya tergantung pada bagaimana kita mengisinya. Jika di tahun ini masih ada janji yang belum terpenuhi, masih ada amalan yang tertunda, atau ada dosa yang belum kita istighfarkan, inilah saatnya untuk memulai. Tidak ada yang terlambat bagi mereka yang ingin berubah dan memperbaiki diri.

Mari menjadikan 2025 bukan sekadar angka baru, tetapi sebuah awal untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jadikan refleksi tahun ini sebagai pijakan, dan resolusi tahun depan sebagai doa dan ikhtiar. Sebab hidup adalah perjalanan menuju Allah, dan setiap langkah yang kita ambil hendaknya menjadi bagian dari ibadah kepada-Nya. Semoga Allah memberkahi waktu-waktu kita ke depan dengan keberkahan, kebaikan, dan ampunan-Nya.

2024/09/22

Mengenal Taksonomi Bloom: Enam Tingkatan Berpikir

Pict source: https://tips.uark.edu/

Taksonomi Bloom adalah sebuah model yang digunakan untuk mengklasifikasikan tujuan pembelajaran, yang awalnya dikembangkan oleh Benjamin Bloom pada tahun 1956. Model ini membantu guru dan pendidik dalam merancang kurikulum, evaluasi, dan aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan tingkat berpikir siswa. Namun, pada tahun 2001, Lorin Anderson dan David Krathwohl, dua murid Bloom, merevisi model ini untuk mencerminkan pendekatan yang lebih modern terhadap proses berpikir. Revisi tersebut mengubah urutan beberapa kategori dan memperkenalkan istilah yang lebih dinamis.

Berikut adalah penjelasan dari Taksonomi Bloom yang baru, mulai dari level berpikir terendah hingga tertinggi:

  1. Mengingat (Remembering)
    Ini adalah level paling dasar, di mana siswa diharapkan mampu mengingat kembali fakta atau informasi yang telah mereka pelajari sebelumnya. Aktivitas yang termasuk dalam level ini adalah mengenali, mengingat, atau mengidentifikasi istilah, fakta, dan konsep. Misalnya, siswa menghafal rumus matematika atau menyebutkan tokoh sejarah yang terkenal.

    Contoh: Mengingat nama presiden pertama Indonesia.

  2. Memahami (Understanding)
    Pada level ini, siswa tidak hanya mengingat informasi, tetapi juga memahaminya. Mereka dapat menjelaskan atau menginterpretasikan materi dengan kata-kata mereka sendiri. Ini melibatkan aktivitas seperti menyimpulkan, mengklasifikasi, dan menjelaskan.

    Contoh: Menjelaskan dengan kata-kata sendiri bagaimana siklus air terjadi.

  3. Menerapkan (Applying)
    Pada level penerapan, siswa mulai menggunakan informasi yang mereka pelajari dalam situasi atau konteks baru. Ini mencakup kemampuan menerapkan konsep, teori, atau teknik untuk memecahkan masalah nyata.

    Contoh: Menggunakan hukum Newton untuk menjelaskan fenomena gerak benda di kehidupan sehari-hari.

  4. Menganalisis (Analyzing)
    Pada tahap ini, siswa diharapkan mampu memecah informasi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan memahami hubungan di antara bagian-bagian tersebut. Mereka mampu membedakan antara fakta dan opini, mengidentifikasi pola, atau mengevaluasi argumen.

    Contoh: Menganalisis struktur argumen dalam sebuah artikel atau membandingkan dua teori ekonomi yang berbeda.

  5. Mengevaluasi (Evaluating)
    Di level ini, siswa menilai atau mengevaluasi informasi, ide, atau metode berdasarkan kriteria tertentu. Mereka dapat membuat penilaian, memberikan kritik, atau mempertahankan argumen dengan menggunakan bukti yang mendukung.

    Contoh: Mengevaluasi efektivitas sebuah kebijakan lingkungan atau menilai validitas argumen dalam debat.

  6. Mencipta (Creating)
    Level tertinggi dalam Taksonomi Bloom yang telah direvisi adalah Creating (mencipta). Pada tahap ini, siswa menggunakan berbagai informasi yang mereka miliki untuk menciptakan sesuatu yang baru, baik itu produk, teori, atau solusi. Mereka mampu menggabungkan elemen-elemen yang ada dengan cara baru untuk menghasilkan karya yang orisinal dan inovatif.

    Contoh: Merancang eksperimen sains baru, menulis cerita orisinal, atau mengembangkan aplikasi teknologi baru.

Pentingnya Revisi Taksonomi Bloom

Revisi Taksonomi Bloom membawa beberapa perubahan penting dalam cara kita memandang proses berpikir. Dalam model asli, level tertinggi adalah Evaluasi (Evaluation), namun dalam revisi, level ini digantikan oleh Mencipta (Creating). Ini menyoroti pentingnya kreativitas dan inovasi dalam pendidikan modern, di mana siswa tidak hanya diharapkan untuk memahami dan mengevaluasi informasi, tetapi juga menggunakannya untuk menghasilkan sesuatu yang baru.

Perubahan lain yang penting adalah peralihan dari kata benda ke kata kerja, yang mencerminkan pembelajaran sebagai proses aktif. Ini juga memperkuat gagasan bahwa pendidikan bukan hanya tentang mengingat dan memahami, tetapi juga tentang menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta sesuatu yang bermakna.

Dengan memahami Taksonomi Bloom yang baru, para pendidik dapat merancang pembelajaran yang lebih menantang dan holistik, serta mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi pada siswa mereka. Model ini juga memberi kerangka untuk menyusun soal ujian, proyek, atau tugas-tugas yang lebih terarah pada pengembangan kompetensi kritis dan kreatif.