Bagi Sobat Bloggers yang mau tukeran link, monggo ditunggu konfirmasinya di email feribatahan@yahoo.com ya. Terimakasih dan tetap SEMANGAT Kakak! ****** Yang ingin berdiskusi tentang Customer Operation, Contact Center, People Management, Ecommerce, Digital Marketing hingga Hypnotherapy juga boleh via WA +6281999798081:)

Monday, November 22, 2010

Apa Kabar Reunifikasi HMI?

Himpunan Mahasiswa Islam yang berkantor pusat di Jl. Diponegoro No. 16 (HMI [Dipo]) menyelenggarakan Kongres ke-XXVII di Graha Insan Cita, Depok, pada 5-10 November 2010. Walau kongres molor hingga 14 November 2010, satu agenda yang sempat diformalkan dalam Kongres XXVI di Palembang tidak mendapat proporsi yang memadai untuk kembali dibicarakan, yaitu reunifikasi atau sebagian pihak menyebutnya sebagai islah. Padahal, isu islah boleh jadi isu yang paling menarik untuk dibincang bagi sebagian kader maupun alumni HMI.

Mengapa menarik? Karena agenda reunifikasi gagal dilaksanakan oleh PB HMI (Dipo) yang dipimpin oleh Arip Mustopa sesuai yang diamanahkan dalam Kongres XXVI di Palembang. Padahal, Ketua Umum PB HMI (MPO) menghadiri Kongres XXVI di Palembang sehingga menimbulkan kontroversi di internal HMI (MPO). Sedikit-banyak, hal itu mengingatkan kita pada kehadiran MS Ka'ban pada kongres tahun 1990 guna merebut pucuk pimpinan, namun gagal karena dimenangkan oleh Ferry Mursyidan Baldan. Seandainya Ka'ban menang, barangkali reunifikasi akan terjadi karena sebagian pimpinan HMI (MPO) akan masuk ke dalam jajaran Pengurus Besar. Namun, sejarah berkata lain sehingga kisah reunifikasi terus berlanjut. Isu reunifikasi juga diamanahkan dalam Kongres XXV di Makassar ketika Fajar R Zulkarnaen didapuk menjadi Ketua Umum PB HMI (Dipo). Namun, tetap gagal diwujudkan. Mengapa reunifikasi selalu gagal diwujudkan dalam sekurangnya dua kongres (XXV dan XXVI)? Penulis melihat tiga hal yang menjadi kelemahan proses reunifikasi.

Pertama, HMI (Dipo) tidak serius melaksanakan hal ini. Adalah naif bila keseriusan reunifikasi hanya dilakukan sebatas komunikasi interpersonal antara masing-masing Ketua Umum Pengurus Besar HMI (Dipo) maupun HMI (MPO), atau sekedar saling mengundang dalam kongres. Salah satu tolok ukur yang paling meyakinkan tentunya kerjasama dalam melakukan proses perkaderan maupun perjuangan yang menjadi identitas HMI. Sekurangnya, hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama kegiatan kesenian yang relatif netral terhadap perbedaan karakter perkaderan masing-masing HMI. Dengan demikian, proses reunifikasi dilakukan melalui pendekatan kultural terlebih dahulu dan bukan melalui pendekatan struktural (ketua dengan ketua).

Kedua, HMI (MPO) hampir tidak pernah—khususnya dalam beberapa kongres terakhirnya—membahas agenda reunifikasi dengan HMI (Dipo). Hal ini tentu berkaitan erat dengan minimnya kerjasama di antara kedua HMI. Satu hal yang perlu ditekankan dan digarisbawahi ialah HMI (MPO) sulit untuk didekati secara struktural maupun secara finansial, tetapi akan sangat mudah bila didekati dengan ide atau gagasan yang matang, ikhlas, dan meyakinkan; serta bila didekati secara kultural.

Ketiga, reunifikasi KAHMI (Korps Alumni HMI) yang sebelumnya terpecah menjadi dua, sedikit-banyak memengaruhi proses reunifikasi HMI. Alumni merupakan pihak yang paling gencar untuk mendorong reunifikasi di antara kedua HMI, tetapi tidak menunjukkan kerja dan kontribusi yang signifikan, karena senantiasa terkesan erat dengan agenda kekuasaan formal seperti yang terjadi pada tahun 1996 di mana sebagian alumni yang duduk sebagai menteri menggalang usaha reunifikasi HMI hanya disebabkan teguran Soeharto yang "gerah" ketika mengetahui masih ada HMI yang menolak asas tunggal Pancasila, yaitu HMI (MPO). Lihat saja situs KAHMI yang sudah beberapa bulan (atau tahun?) terakhir selalu berada dalam keadaan underconstruction. Apakah hal itu ikut menunjukkan bahwa proses reunifikasi struktural KAHMI juga sedang underconstruction walau Anas Urbaningrum telah menjadi koordinator? Apabila KAHMI berhasil memberikan contoh yang baik kepada kedua HMI, maka bukan tidak mungkin peluang reunifikasi HMI menjadi semakin besar.

Peran KAHMI menjadi penting karena sejarah menunjukkan bahwa KAHMI memiliki peran dalam perpecahan HMI. AM Fatwa menulis:

"Sayang, ketika proses dialog di kalangan HMI tengah berjalan, sejumlah aktivis KAHMI tergoda untuk mengambil jalan pintas. Pada bulan Februari 1985, keluarlah deklarasi KAHMI yang menerima asas tunggal Pancasila—sebelum Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan—selesai dibicarakan di DPR RI. Langkah KAHMI itu ternyata berdampak negatif terhadap proses dialog di kalangan HMI. Deklarasi KAHMI itu telah memojokkan posisi HMI. Akibat langsungnya segera terlibat. Pada bulan April 1985—lima bulan sebelum Kongres XVI di Padang—PB HMI mengeluarkan pernyataan penerimaan asas tunggal Pancasila" ("Interpretasi Rasional terhadap Demokrasi," Republika, 14 Februari 1997).

Dengan demikian, KAHMI patut untuk menunjukkan keseriusan dalam reunifikasi yang mereka lakukan beberapa tahun terakhir. Jangan sampai reunifikasi yang dilakukan KAHMI hanya berdasar pada kepentingan politik praktis beberapa elit KAHMI tertentu. Bila demikian, maka bukan tidak mungkin KAHMI akan kembali terpecah dan semakin menyulitkan reunifikasi HMI. Bukankah, sebagian anggota KAHMI juga merupakan alumni HMI (MPO) yang relatif lebih imun terhadap perilaku elit politik KAHMI?

Perjuangan KAHMI maupun HMI sebaiknya tidak menitikberatkan pada politik praktis semata, tetapi juga pada lapangan akademis, kesenian, kebudayaan, ekonomi, dan sosial. Akbar Tandjung pun pernah mengingatkan ""This is no longer the era for the association to be involved in practical politics," Akbar, now state minister of people's housing, said." (Jakarta Post, "Former leader advises HMI to quit politics," 20 Januari 1995). Namun, sejarah menunjukkan bahwa semakin banyak kader maupun alumni HMI yang memilih untuk terjun ke lapangan politik praktis, baik untuk memperjuangkan cita-cita masa lalu maupun sekedar memperjuangkan perut dan kroninya.

Kegagalan mewujudkan reunifikasi boleh jadi akan menciderai pikiran kader-kader HMI (Dipo) yang masih memiliki independensi sehingga bukan tidak mungkin justru mendorong mereka untuk melakukan registrasi dan perkaderan ulang di HMI (MPO). Hal ini menjadi penting bagi kader yang berpikiran panjang dan tidak hanya memikirkan bagaimana agar besok bisa makan. Lantas, apa kabar reunifikasi HMI hari ini? Agaknya kabar semakin kabur ketika satu pihak menjadikannya sebagai komoditas politik maupun dagang, sementara pihak lain menganggapnya sebagai kenaifan bila tidak dilakukan melalui ruang dan kerja kebudayaan.

Taken from: http://blog.abqary.net/2010/11/21/apa-kabar-reunifikasi-hmi/

Thursday, October 14, 2010

Heroic Leader

Melihat berita tentang penyelamatan rombongan pekerja tambang di Chile yang terjebak di kedalaman bumi hampir 600 meter, mendatangkan banyak inspirasi bagi jutaan manusia di dunia. Termasuk kita yang ada di negeri ini, negeri Indonesia yg sering mengalami bencana yg berkaitan dengan alam. Betapa tidak terinspirasi, untuk menyelamatkan 33 pekerja itu pemerintahan Chile begitu sigap dengan kucuran dana yg banyak demi penyelamatan. Selain dana, pemerintah juga menyiapkan team penyelamat terbaik. Keselamatan nyawa warganya memang sangat diperhatikan.

Selain perhatian dan penyelamatan dari pemerintahnya, kita juga terharu dan salut akan semangat hidup para pekerja yg terjebak di terowongan itu. Lebih dari 2 bulan mereka mampu survive dengan resources yg sangat terbatas.

Dan saya sendiri sangat salut terhadap pemimpin pekerjanya. Dari 33 orang yang diselamatkan, sang leadernya ini memilih untuk diselamatkan paling akhir. Dia lebih mendahulukan keselamatan team-nya. That's what we call heroic leadership!

Adakah rasa kepemimpinan seperti itu pada pemimpin negeri ini, atau apakah ada dalam diri kita masing-masing? Semoga!

Friday, October 8, 2010

Psikologi Korupsi

Setiap tindakan seseorang selalu bersifat intensional, di sana ada pertimbangan dan kalkulasi untung-rugi sebelum seseorang melakukan. Termasuk ketika melakukan korupsi.

Salah satu sifat bawaan manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain). Dalam konteks korupsi, mengingat korupsi cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras, secara psikologis seseorang akan mudah tergerak untuk korupsi. Terlebih lagi dengan uang banyak di tangan segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara konstan. Mereka berpandangan bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang akan dibuat susah segalanya.

Ada ungkapan klasik, it is money that makes the world in motion. Dalam legenda Yunani kuno, pada mulanya alat tukar yang sekarang disebut uang adalah berupa kepingan logam yang didesain secara khusus untuk sesaji dewi Monata agar tidak marah dan, sebaliknya, diharapkan melimpahkan rezeki. Dari nama dewi inilah kemudian muncul kata money yang diterjemahkan menjadi uang. Dulu ketika alat tukar masih berupa logam emas yang terjadi adalah perampokan, bukannya korupsi berupa angka nominal melalui teknologi komputer dalam waktu yang amat cepat dengan prosedur yang dibuat berbelit dan berliku agar sulit ditelusuri oleh pengawas.

Ketika jumlah penduduk bumi sudah di atas 5 miliar, serta muncul saling ketergantungan ekonomi dan perdagangan antarwarga bangsa, alat nilai tukar paling praktis adalah lembaran uang seperti kita saksikan sekarang. Bahkan, sekarang tak mesti membawa uang kalau bepergian dan melakukan transaksi bisnis, cukup dengan kartu kredit. Ini sebuah revolusi besar dalam sejarah peradaban manusia. Hanya saja, ketika uang jadi komoditas, bahkan menyaingi dan mengungguli komoditas riil, malapetaka sosial tak terelakkan. Monopoli, manipulasi, dan korupsi serta capital flight keuangan sangat mudah dilakukan.

Karena kekayaan saat ini berupa uang, maka yang dianggap kaya adalah mereka yang tabungannya banyak, sekalipun uangnya tidak produktif. Pusat kekayaan tidak lagi di desa dengan lahan sawah yang luas, tetapi di dunia perbankan dan kantor pajak karena di situ terakumulasi uang triliunan rupiah. Lebih celaka lagi jika orang merasa kaya dengan uangnya yang banyak, tetapi disimpan di bank asing. Bukankah uang laksana darah bagi tubuh? Kalau disimpan di bank asing, sama halnya mengisap darah rakyat sendiri sehingga mereka itu tak ubahnya sebagai gerombolan economical vampire.
Musuh rakyat dan negara

Kalau korupsi dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat negara ataupun perusahaan dalam jumlah yang kecil pula, dampaknya tidak begitu terasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa sebuah bendungan raksasa akan jebol bermula dari kebocoran yang kecil dan tidak segera diatasi. Begitu pun sebuah bangunan besar akan habis termakan api yang dimulai oleh jilatan api yang juga kecil.

Sungguh menjadi problem serius bagi bangsa ini karena yang melakukan korupsi saat ini tidak lagi pegawai rendahan, tetapi mereka yang kedudukan dan pendidikannya tinggi serta gaya hidupnya sangat mewah sehingga korupsi berlangsung secara sistemik dan jumlahnya miliaran. Ibarat ulat, yang dimakan bukan saja daun, dahan, dan buahnya, melainkan batang tubuhnya yang lama-kelamaan akan menjalar ke akar kehidupan bernegara. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin yang bermakna menghancurkan. Jadi para koruptor memang sudah berhasil menghancurkan martabat dan wibawa pemerintah serta bangkrutlah kekayaan negara dan bangsa.

Jadi, masyarakat dan pemerintah mestinya menempatkan para koruptor sebagai kelompok subversi musuh rakyat dan negara yang mesti ditindak tegas, jika perlu dihukum mati karena negara dan rakyat banyak yang menjadi kurban. Daya rusak tindakan korupsinya jauh lebih dahsyat ketimbang teroris pelaku bom bunuh diri. Karena daya rusak korupsi berlangsung sistemik dan menghancurkan tubuh birokrasi negara serta mental pejabat, rakyat mesti marah dan bangkit melawan koruptor. Jika perlu segera dibuat undang-undang pembuktian kekayaan terbalik terhadap pejabat negara yang strategis. Masih banyak putra bangsa yang ingin mengabdi untuk melayani rakyat dengan gaji di bawah Rp 50 juta per bulan selama lima tahun.

Di kalangan sufi terdapat keyakinan kuat bahwa harta haram itu ibarat madu yang akan mengundang semut, maksudnya syaitan, untuk berkerumun. Artinya, jika rezeki yang masuk aliran darah adalah haram, seluruh aktivitas hidupnya akan mudah tergelincir ke jalan syaitan. Makna syaitan mirip dengan kata korupsi yang berasal dari bahasa Latin corrumpere, yaitu menghancurkan. Syaitan adalah energi tidak terkendali sehingga menimbulkan daya destruktif.

Jadi apa yang dilakukan koruptor sesungguhnya menghancurkan dirinya, keluarganya, bangsanya, dan rakyatnya. Bangsa dan negara yang sehat dan bermartabat pasti akan membenci korupsi. Bahkan, negara komunis dan sekuler yang tidak bertuhan pun antikorupsi demi menjaga masyarakatnya agar sehat dan sejahtera. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah, bahwa misi utama risalahnya adalah membentuk akhlak yang terpuji. Orang yang mengaku beragama, tetapi membuat orang lain sengsara, dikatakan mendustai agama dan Tuhan. Begitu firman Allah. Nilai hidup macam apakah yang akan diwariskan kepada anak dan masyarakat jika hidupnya bangga bergelimang korupsi?

Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta [Kompas, 13/04/10]

Pelayanan Membuat Hidup Berarti*

Pada tahun 1920-an, peneliti Belanda datang ke Bali dan menemukan, dalam kamus hidup orang Bali saat itu, tidak dikenal istilah kesenian sebagai pertunjukan komersial.

Semua gerak kehidupan (bertani, mengukir, menari) dilakukan sebagai rangkaian persembahan. Maka, salah satu arti Bali adalah persembahan.

Tidak ada yang sempurna di bawah langit kendati Bali pernah digoda bom teroris. Amat terasa penderitaan setelah itu. Namun, Bali tidak saja bangkit, bahkan kemudian dinobatkan sebagai pulau tujuan wisata terbaik dunia oleh media global.

Bila boleh jujur, ada roh yang bersemayam di balik karisma Bali yang kerap disebut surga terakhir oleh masyarakat internasional. Roh itu tumbuh ribuan tahun sebagai percampuran agama dan seni. Perpaduan keduanya lalu dipersembahkan sebagai rangkaian pelayanan.

Bali menjadi sumber inspirasi Indonesia yang masih menyimpan banyak lubang pelayanan, terlebih saat nurani publik terlukai skandal korupsi. Bila Bali bisa berkarisma dengan pelayanan sebagai penggabungan agama dengan seni, mengapa Indonesia tidak bisa? Dalam agama dan seni, Indonesia kaya nilai yang menjunjung tinggi pelayanan.

Pelayanan

Dulu, hanya pedagang yang tekun mencari keberuntungan. Kini, ia merambah ke mana-mana. Rumah, tempat kerja, taman, semua ditata sehingga keberuntungan datang dari segala penjuru. Dan ukuran keberuntungan, apalagi kalau bukan kekayaan. Ini layak dihormati. Masyarakat Barat sudah berjalan jauh di depan dalam hal kekayaan.

Namun, kemajuan ala Barat ini memakan biaya mahal. Baru di zaman ini terjadi banyak rumah sakit jiwa penuh, sebagian pasien yang belum sepenuhnya sembuh terpaksa dipulangkan karena ada pasien baru yang lebih parah dan lebih membutuhkan. Lembaga pemasyarakatan kehabisan ruang untuk menampung narapidana, sebagian remisi terpaksa diberikan karena ruang yang ada sudah tidak manusiawi. Angka perceraian naik tajam. Keadaban manusia tidak mampu mengerem perang dan terorisme. Seorang guru dari Timur pernah menginap di salah satu rumah orang superkaya di Amerika Serikat. Rumahnya supermewah, tetapi yang mengejutkan, di kamar mandi tersedia banyak pil tidur.

Contoh termutakhir di negeri ini adalah dibukanya rekaman percakapan sejumlah pihak yang mau membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Terlihat, bagaimana nafsu berlebihan akan kekayaan bahkan bisa menghancurkan seluruh tatanan hukum sebuah negara. Dalam totalitas, tidak ada yang melarang mengejar kekayaan. Namun, karena demikian besarnya ongkos nafsu berlebihan akan kekayaan, mungkin layak merenung ulang pengertian keberuntungan.

Tetua di Timur telah lama mengenal kearifan tentang kucing yang mengejar ekornya. Semakin dikejar semakin lari. Saat tidak dikejar, ia berhenti. Dalam bahasa Franz Kafka: makna kehidupan baru terbuka ketika manusia belajar berhenti.

Anehnya, saat berhenti bukan kehilangan makna, malah menemukan. Ini yang bisa menjelaskan mengapa ada guru meditasi menyarankan, kehidupan serupa air di gelas. Setenang apa pun tangannya, bila air di gelas dicoba ditenangkan dengan cara memegangnya, ia tetap bergerak, maka letakkan saja.

Saran meletakkan tentu bukan berarti semua harus meninggalkan kota untuk pergi ke hutan, atau semua orang duniawi harus meninggalkan keseharian untuk bermeditasi. Sekali lagi bukan. Meletakkan keinginan berlebihan, bahwa hidup harus sesuai tuntutan ideal, untuk kemudian mendalami ternyata keberuntungan, tidak saja ada dalam tujuan-tujuan ideal, tetapi juga dalam tiap langkah pelayanan. Pertumbuhan tidak saja memerlukan kehebatan hasil, juga merindukan kelembutan proses.

Siapa pun yang diberi berkah spiritual untuk bisa melihat Nusantara, lebih-lebih di putaran waktu saat negeri ini akan runtuh oleh skandal korupsi, akan menitikkan air mata saat mengetahui bahwa Mohammad Hatta, salah satu proklamator, ternyata mengisi hidupnya di jalan pelayanan. Di sebuah Jumat, istrinya mengatakan kalau tabungan baru cukup untuk membeli mesin jahit. Dan karena kesibukan, akan ke toko hari Senin. Pak Hatta tahu kalau Senin berikutnya tabungan itu tidak akan cukup karena beliau sendiri yang akan mengumumkan kebijakan pemotongan uang pada hari Senin. Namun, karena meletakkan kepentingan publik di kepala, kepentingan pribadi di kaki, Pak Hatta diam seribu bahasa. Serupa dengan Mahatma Gandhi dan Bunda Theresa, mereka mengisi hidup dengan pelayanan, semakin lama bukannya semakin redup, malah semakin bercahaya.

Becermin dari sini, seorang guru menulis, dalam kehidupan para bijaksana, sukacita datang dari ketulusan untuk terus memberi. Persis seperti burung putih di salju. Menyediakan tangan bantuan tetapi tidak kelihatan.

Dalam perspektif ini, bisa dimengerti bila salah seorang penekun meditasi di Barat setelah mengalami pencerahan kemudian bukannya mengenakan baju suci, tetapi menjadi sopir taksi. Inilah keberuntungan sejati: tercerahkan, melakukan tugas pelayanan dan tidak kelihatan.

Mungkin itu sebabnya di negara maju pekerja birokrasi tidak disebut pegawai negeri, tetapi pelayan publik. Melayani, itu dan hanya itu alasan birokrasi dan profesi dibentuk. Melayani, itu dan hanya itu tugas manusia yang tercerahkan. Dan tugas pelayanan menjadi menggetarkan bila ada yang bisa membaca pesan suci di balik kisah burung putih di salju.

Andaikan banyak pemimpin, pendidik, penyembuh, praktisi hukum negeri ini yang tergetar hatinya dengan kisah burung putih di salju, terterangi batinnya oleh roh pelayanan Pulau Bali, tidak terhitung banyaknya kemiskinan yang bisa diusir dari Nusantara. Tidak terhitung banyaknya bunuh diri, depresi, kriminalitas, perceraian, dan penyakit sosial lain yang bisa dihindarkan. Sekaligus berhenti menyebarkan virus negatif yang membuat alam terus menggoda dengan bencana.

Dan yang paling penting, hanya dengan melayani kejujuran, maka luka publik mungkin terobati.

Gede Prama)
Penulis Buku Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan: Mengolah Bencana Menjadi Vitaminnya Jiwa
*Judul Asli: Saat Nurani Publik Terlukai

Tuesday, August 24, 2010

Maka, Menulislah!

Mari belajar dari kebangkitan bangsa Barat setelah masa kegelapan, yang dikenal luas dengan istilah renaissance dalam bahasa Perancis atau rinascimento dalam bahasa Italia; arti harafiah: kelahiran kembali). Inilah sebuah kelahiran kembali atas semangat keilmuan Yunani Kuno atau Romawi Kuno.

Kita melihat semangat tulis bacanya begitu gegap gempita di masa itu. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama mulai terlihat kebangkitan keilmuan bangsa-bangsa Eropa yang pada awalnya masih diselimuti oleh awan kegelapan (the darkness era). Setelah kehidupan tidak lagi dikontrol oleh kerajaan-kerajaan lalim, dan setelah masyarakat tidak lagi dikuasai dalam banyak hal oleh gereja di saat itulah kebangkitan manusia Eropa dalam hal keilmuan dan penemuan-penemuan baru (new invention) bermula. Dan akhirnya universitas-universitas modern pun mulai tumbuh subur di seantero Eropa.

Hingga hari ini kita mendengar cerita tentang kebangkitan ilmu pengetahuan itu. Hari ini kita mengenal banyak ilmuwan dari masa itu. Adalah karena ada yang menceritakannya. Ada yang merekam jejaknya. Ada yang menuliskannya. Sehingga kejadian-kejadian keilmuan pada masa itu bisa ditelusur dan dipelajari hingga saat ini. Di sinilah letak hebatnya tulisan. Melalui tulisan, peristiwa yang awalnya terikat pada ruang dan waktu jadi bisa melintasi zaman. Menembus ruang dan waktu.

Pada tulisan kali ini saya tidak akan membahas renaissance itu lebih jauh. Yang ingin saya sampaikan melalui tulisan singkat ini adalah tentang besarnya pengaruh budaya tulis baca terhadap kemajuan peradaban suatu bangsa. Betapa tidak, semenjak maraknya budaya menulis, apakah tentang kesusasteraan, ilmu pengetahuan alam, filsafat, matematika, ekonomi dan ilmu lainnya, terlihat jelas semenjak itu pulalah kemajuan peradaban Eropa modern mulai tumbuh.

Para sejarawan telah menyebutkan bahwa semangat menggali pengetahuan dengan peningkatan budaya tulis baca itu adalah salah satu hutang budi bangsa Eropa terhadap peradaban Islam. Titik singgung utama antara Eropa pasca abad pertengahan adalah kerajaan Spanyol Islam. Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains disamping bangunan fisik. Yang terpenting diantaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). Ia melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini. Namun penolakan gereja ini sudah tidak dihiraukan lagi bagi pegiat ilmu pengetahuan dan masyarakat pada umumnya.

Setelah peradaban Eropa maju. Hal yang sebaliknya justru berlaku di sebagian kalangan Islam. Ilmu pengetahuan mulai tidak terlalu jadi prioritas pembangunan bangsa. Gairah tulis baca mulai menghilang. Dan lambat laun kemajuan yang diharapkan menjadi impian yang tampaknya akan masih lama diraih.

Kembali pada judul tulisan ini: Membaca dan Menulislah.

Persoalannya adalah tidak semua orang bisa menulis meskipun dia bisa membaca. Padahal seharusnya budaya tulis baca itu adalah dua sisi yang sejalan. Tingginya minat baca suatu komunitas karena tersedianya media baca yang cukup. Sementara media baca (buku, koran, tabloid, jurnal, dll) dihasilkan oleh para penulis. Dengan demikian penulis dan penikmat tulisan bersimbiosis mutualisme. Keberadaan keduanya adalah hal yang niscaya untuk tumbuhnya budaya tulis baca yang tinggi.

Budaya tulis baca yang tumbuh subur akan memicu semangat pembaruan, semangat pencarian kebenaran, dan bisa menjadi trigger bagi ilmuwan untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru. Banyaknya penemuan baru, baik di bidang pengetahuan sosial dan science (teknologi), adalah salah satu indikasi kemajuan bangsa, disamping indikasi ekonomi dan stabilitas keamanan, dlsb.

Betul, menulis itu lebih sulit dari sekedar membaca. Namun ia bukanlah hal yang tidak dapat kita lakukan. Inspirasi sederhana dalam membuat tulisan adalah apapun yang terlintas dalam pikiran kita bisa dituangkan ke dalam tulisan. Ya, sesederhana itu. Masalahnya adalah kita mau melakukan atau tidak. Bukan masalah bisa atau tidak. Karena begitu kayanya perbendaharaan kata dalam pikiran yang terlintas di otak kita. Para pegiat kajian NLP (Neuro Linguistic Program) menyatakan bahwa dalam satu hari tidak kurang dari 65ribu lintasan pikiran yang diolah oleh otak manusia. Dan setiap lintasan pikiran itu membawa banyak kata-kata. Jadi , bisa dibayangkan betapa banyaknya potensi tulisan yang kita bisa hasilkan dalam setiap harinya. Itu jika kita mau melakukannya.

Karena pada prinsipnya manusia itu sudah memiliki kemampuan dasar menalar dan berujar. Pertemuan kemampuan potensi nalar dan ujar pada diri manusia itu membuat ditinggikan derajatnya daripada makhluk lain. Nalar dan ujar yang dikomunikasikan itulah adalah bahasa. Salah satu media bahasa adalah ujaran dan tulisan.

Di atas sengaja saya sampaikan salah satu contoh hebatnya pengaruh budaya menulis-baca bagi perkembangan kemajuan suatu bangsa. Dengan menceritakan sedikit tentang kebangkitan bangsa Eropa tersebut, saya berharap bisa menggugah kemauan menulis kita yang mungkin sedang tertidur. Sehingga kemauan menulis kita bisa bersemangat lagi.

Dengan semangat itu, Ayo, kita mulai menulis. Kalahkan ketidakmauan untuk menulis saat ini juga. Karena begitu kita memulai, kita akan bisa merasakan liarnya pikiran itu. Setelah pena diigoreskan di kertas, atau tombol keyboard sudah ditekan untuk pertama kalinya sambil menyelaraskan apa yang ada dalam pikiran dan dituangkan dalam tulisan tersebut kita akan sulit berhenti. Rasakan candunya. Percayalah ia akan membuat kita ketagihan. Jauh dari itu, menulislah karena ia membuatmu abadi...

Mulai menulis dari sekarang, lalu lihat dan perhatikan apa yang akan terjadi.

Bandung, 24 Agustus 2010
               14 Ramadhan 1431 H.

Friday, August 13, 2010

Leaders, jagalah kekompakan tim Anda!

Organisasi bisa diumpamakan sebuah melting pot yang mempertemukan beragam karakter dan kepribadian individual menjadi satu dalam sebuah tim besar yang memiliki tujuan yang sama. Seorang pemimpin adalah pengelola dan penjaga yang salah satu tugasnya adalah meminimalisir segala bentuk gesekan atau gangguan yang terjadi antara para anggota timnya oleh karena adanya perbedaan-perbedaan. Satu satu hal penting yang harus menjadi fokus team leader adalah menjaga kekompakan dan kesolidan tim. Tim yang kompak selalu 'bermain' lebih cantik, lebih cepat, dan terbukti lebih produktif.

Membentuk suatu tim yang berisi orang-orang hebat lebih mudah dibandingkan dengan membuat mereka agar bisa bekerja sama dengan baik. Dalam sebuah tim kerja yang efektif, keahlian individu bukanlah faktor penentu kesuksesan. Sekalipun Anda punya 10 tenaga ahli dalam tim, tapi jika mereka jalan sendiri-sendiri, kurang koordinasi, serta jarang berkomunikasi, maka tim tersebut hanya terlihat kuat diluar namun berantakan didalam. Inti dari kekuatan sebuah tim adalah unity dan semangat kebersamaan bahwa one for all, all for one.

Kekompakan sebuah tim akan terlihat dari produktivitas kerja, mutu hasil kerja, serta kecepatan kerjanya. Jika sebuah tim terdeteksi mulai tidak mencapai target, proyek-proyeknya banyak yang molor pengerjaannya, sering mengalami konflik intern, dan tidak kooperatif dengan tim lain, mungkin tim tersebut mengalami 'gesekan' antar personilnya. Sebagai pemimpin Anda harus segera melakukan pembenahan dan berupaya mengembalikan kekompakan tim agar kinerja mereka menjadi lebih baik. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

Ketahui kelemahan dan kelebihan anak buah. Hal ini penting guna menentukan penugasan dan pembagian kelompok kerja. Idealnya masing-masing anggota tim saling melengkapi satu dengan yang lain sehingga terbentuk keharmonisan dalam melakukan tugas. Sebagai team leader Anda harus yang lebih mengetahui kelebihan dan kelemahan anak buah sehingga tugas-tugas diserahkan kepada yang ahlinya. Namun, agar pembagian tugas lebih adil dan merata - tidak menumpuk pada satu orang, usahakan Anda melakukan mix and match sehingga anak buah yang kurang begitu ahli dibidang tersebut bisa ikut membantu dan belajar dari yang lebih ahli.

Alokasikan waktu berkumpul bersama tim kerja Anda. Inti dari sebuah tim kerja adalah kebersamaan. Maka, seringlah berkumpul bersama anggota tim, bukan sekedar untuk brainstorming masalah pekerjaan, mendiskusikan rencana serta target tim ke depan atau hal formal lainnya, melainkan hal-hal yang bersifat personal. Tim Anda harus tahu dengan siapa mereka bekerja, tujuannya untuk menciptakan chemistry, membangun kepercayaan, serta mengenal kepribadian masing-masing individu. Semakin saling mengenal, semakin tercipta sebuah ikatan yang erat antara mereka.

Ciptakan suasana keterbukaan dan bangun komunikasi yang efektif. Kesalahpahaman sering menjadi penyebab ketidakkompakan sebuah tim. Keluhan, ketidakpuasan, serta ide-ide yang tidak tersampaikan merupakan bom waktu yang setiap saat bisa meruntuhkan sebuah tim. Maka, buatlah kesepakatan dengan tim Anda untuk selalu membicarakan masalah apapun di dalam tim. Sediakan diri Anda untuk menjadi penengah dan pendengar saat mereka membutuhkan Anda sebagai teman 'curhat'. Be approachable, sebab terkadang anak buah merasa segan bercerita pada Anda dan memilih team leader lain yang lebih simpatik untuk menumpahkan keluh kesah.

Buatlah peraturan bersama yang mengikat semua anggota tim. Untuk meminimalisir gesekan, buatlah kesepakatan tidak tertulis untuk selalu menjaga konduktivitas kerja dalam tim. Misalnya, jika ada anggota tim yang saling berselisih harus langsung diselesaikan secara internal, dilarang saling membicarakan di belakang, atau dilarang bercerita masalah internal tim ke tim lain. Peraturan ini penting agar masing-masing anggota berkomitmen dan bertanggung jawab dalam menjaga keutuhan timnya.

Lakukan aktivitas yang dapat memotivasi dan meningkatkan kerjasama tim. Salah satu caranya adalah melakukan outbond/outing yang bertujuan untuk melatih kekompakan tim-tim dalam divisi kerja mereka. Hal ini merupakan stimulus yang bagus, sebab dalam game tersebut terdapat latihan problem solving, kepercayaan, kekompakan, kemandirian, dan tanggung jawab yang sangat berguna untuk diterapkan dalam dunia kerja.

Remember!
Sebagai pemimpin Anda juga merupakan bagian dari team yang Anda pimpin, so terlibatlah di setiap team work Anda.

Chandra Ming (General Manager JobsDB.com)

Wednesday, August 11, 2010

Kisah Perlawanan Terhadap Riba Sebuah Kota Kecil di Austria

(lumayan untuk ngabuburit)


Tahun 1932. Kala itu depresi besar sudah mulai melanda dunia. Michael Unterguggenberger, sang walikota, gundah-gulana. Sebagai pejabat
tertinggi Wörgl, ia punya segudang rencana untuk membangun kotanya.
Namun, di tengah-tengah deflasi yang melanda dunia, ia sadar tak
sanggup melakukan semua dengan keterbatasan uang yang tersimpan dalam kas kota. Dari 4.500 penduduk di kotanya, 1.500 adalah pengangguran. Sementara 200 keluarga, tak punya uang sesenpun.

Pada tanggal 5 Juli tahun itu, terilhami oleh gagasan Silvio Gessel tentang "free money", Unterguggenberger berbuat nekat. Bukannya menggunakan uang sebesar 40.000 schillings yang tersedia untuknya, ia menyimpannya ke dalam sebuah bank lokal untuk dijadikan jaminan bagi rencananya untuk menciptakan mata uang lokal alternatif yang komplementer. Mata uang itu dikenal sebagai stamp scrip. Bentuknya memang selembar kertas bak sertifikat yang ditambahi stempel untuk mengindikasikan masa berlakunya.

Setiap bulan, para pemegang stamp scrip harus mendapatkan stempel untuk menjaga supaya nilai mata uang tersebut tetap berlaku. Namun, setiap kali distempel para pemegang uang harus rela kehilangan 1% dari nilai yang tertera dalam mata uang yang dimilikinya. Hasil dari pemotongan nilai tersebut segera digunakan sang walikota untuk membangun dapur umum untuk memberi makan 220 keluarga yang tak punya uang tadi.

Karena tak ada orang yang mau kehilangan nilai uang sebesar 1%, hanya karena menjadi pemegang uang tersebut, mereka segera membelanjakannnya
secepat yang mereka bisa. Tak ada untungnya bagi mereka untuk
menyimpan mata uang tersebut. Walapun para pemegang stamp scrip sewaktu-waktu bisa menukarkan mata uangnya dengan schillings (dengan nilai sekitar 98% dari stamp scrip yang dipegangnya), namun jarang sekali ada yang mau melakukannya.

Dari semua pelaku bisnis di kota itu, hanya kantor pos dan kantor
kereta api yang menolak menerima pembayaran dengan stamp scrip. Ketika orang-orang mulai kehilangan ide untuk membelanjakan uangnya, mereka pun akhirnya memilih untuk membayar pajak lebih awal. Sehingga, hanya dalam waktu 13 bulan sejak proyek itu dimulai, Unterguggenberger telah mampu mewujudkan semua rencana proyeknya mulai dari pengaspalan dan penerangan jalan, distribusi air ke seluruh kota serta menanam pohon di sepanjang jalan-jalan kota (www.newciv.org).

Bukan hanya itu, ia juga berhasil membuat rumah-rumah baru, tempat penampungan air untuk kota, tempat untuk bermain ski serta jembatan.
Secara ajaib, orang-orang mulai menggunakan stamp scrip untuk menanam kembali hutan, dengan harapan untuk memperoleh pemasukan secara berkesinambungan dari hasil pohon-pohon yang merekat tanami.

Kunci dari kesuksesan mata uang alternatif, yang tidak saja tanpa
bunga atau riba tapi malah berbunga negatif tersebut, tak lain
terletak pada kecepatan sirkulasinya untuk menghidupkan ekonomi lokal.
Diperkirakan, kecepatannya 14 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
mata uang resmi yang dikeluarkan pemerintah. Akibatnya, hal ini
meningkatkan perdagangan, menciptakan serta lapangan kerja lebih luas.
Pada saat itu, Wörgl merupakan satu-satunya kota di Austria yang tidak mempunyai pengangguran.

Banyak ekonom memperkirakan bahwa depresi yang melanda dunia kala itu, kurang lebih sama dengan situasi yang bakal dialami dunia akibat krisis finansial global saat ini. Persoalan besar yang dihadapi justru bukanlah inflasi, tetapi deflasi. Harga-harga memang turun, tetapi uang begitu sulit didapatkan. Orang yang memiliki uang pun cenderung untuk menyimpan, bukannya membelanjakan.

Depresi dimulai dengan rontoknya bursa saham di Wall Street tahun 1929 yang membuat aset-aset berbagai korporasi, khususnya bank-bank besar hancur berantakan. Seperti halnya dengan krisis finansial saat ini, pada saat itu para pemilik modal, khususnya perbankan, lebih suka memutar uangnya di pasar finansial atau "ekonomi kasino" ketimbang menyalurkannya di sektor riil. Lama-kelamaan nilai aset-aset kertas di Wall Street sudah jauh meninggalkan aset riil. Lalu, ketika sudah terjadi oversupply dan tak ada lagi yang mau membeli saham dengan harga kelewat tinggi, secara alamiah harga-harga menukik jatuh.

Obsesi untuk mendapatkan "bunga" dari para pemilik modal, merupakan akar dari sistem seperti ini. Bukannya digunakan sebagai alat tukar, mereka yang memiliki uang berlebih memilih untuk mengakumulasikannya.
Yang berakibat, mandegnya perdagangan, meningkatnya pengangguran serta melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin -- terutama karena sulitnya mayoritas publik untuk mengakses uang.

Pihak perbankan yang menjadi motor utama dari sistem riba ini, pun ketika mendapatkan bantuan likuiditas dari pemerintah tidak berupaya untuk menolong sektor riil melalui kucuran kredit. Mereka lebih memilih menahan uang serta menyeimbangkan catatan pembukuannya dari berbagai kerugian -- tindakan yang justru membuat krisis finansial
berubah menjadi resesi kemudian depresi.

Ekseperimen yang dilakukan di Wörgl pada tahun 1932, justru membalik logika riba yang sering dilakukan perbankan. Bukannya mengenakan bunga, mereka mengenakan biaya bagi pihak yang memegang uang dalam waktu yang lama. Hal ini berdampak pada bangkitnya perekonomian yang lesu.

Bernard Lietaer (The Future of Money), tokoh yang banyak melakukan studi dan eksperimen tentang mata uang alternatif menyimpulkan bahwa hanya mata uang dengan "bunga negatif" atau negative currency yang memungkinkan lahirnya perekonomian yang tidak mengandalkan pada growth
atau pertumbuhan. Obsesi pada pertumbuhanlah yang menciptakan keserakahan untuk merusak lingkungan serta membiarkan separuh dunia kelaparan seperti yang sudah terjadi pada jaman ini.

"Agama pertumbuhan" ini percaya bahwa akan ada invisible hand atau "tangan ajaib" yang akan mencegah peradaban dunia dari kerusakan atau keruntuhan akibat makin menipisnya sumber daya alam. Sayangnya, bukti ilmiah tidak menunjang optimisme semacam itu. Berbagai riset sains -- termasuk evaluasi mutakhir di tahun 2007 terhadap skenario Limits to Growth yang dipresentasikan oleh para saintis MIT dan Club of Rome di tahun 1972 -- menunjukkan bahwa tanpa ada perubahan mendasar terhadap pola perkembangan ekonomi dunia, beberapa dekade lagi kita akan melihat kejatuhan peradaban yang lebih dahsyat.

Hal yang akan ditandai dengan populasi yang makin tak terkendali,
persediaan makanan yang makin langka, polusi atau kerusakan lingkungan yang sangat cepat, total produksi industri yang berlebih serta menipisnya sumber daya alam tak terbarukan.

Sayangnya, eksperimen Wörgl tidak berlanjut. Padahal saat itu, 6 kota tetangga telah ikut pula mengadopsi sistem tersebut dengan sukses.

Perdana Menteri Perancis, Eduoard Dalladier, melakukan kunjungan
khusus untuk melihat keajaiban di Wörgl. Bulan Juni 1933,
Unterguggenberger hadir dalam pertemuan dengan ratusan perwakilan kota dan desa untuk mencari tahu lebih jauh mekanisme mata uang alternatif yang diciptakannya. Kebanyakan tertarik untuk menerapkannya.

Pada titik inilah, bank sentral Austria merasa terancam. Mereka
memutuskan melarang mata uang alternatif, meskipun sifatnya
komplementer. Upaya publik untuk menuntut keputusan bank sentral
berakhir dengan kekalahan di Mahkamah Agung. Mata uang alternatif dianggap kejahatan kriminal. Belakangan, gagasan Unterguggenberger ini dianggap berbau komunis, kemudian dianggap fasis -- dua kekuatan yang sejak awal menolak adanya mata uang lokal.

Tahun 1934, Wörgl kembali mencatatkan 30% angka pengangguran. Tahun itu juga, kekacauan sosial melanda seluruh Austria. Empat tahun kemudian, ketika Hitler menganeksasi Austria, banyak orang bermimpi bahwa dia bisa menjadi juruselamat yang baru.

Perjuangan mewujudkan mata uang yang anti terhadap riba, bunga atau usury, untungnya tak pernah berhenti. John Maynard Keynes memuji gagasan ini di tahun 1936 dalam karyanya, General Theory of Employment, Interest and Money. Di Swiss, sistem ini kemudian berkembang dan memunculkan WIR Bank. Dalam pengamatan Lietaer, sistem WIR ini sanggup menahan Swiss dari dampak berbagai krisis finansial yang telah terjadi berulang kali. Studi Lietaer juga menunjukkan bahwa saat ini telah ada ribuan komunitas di berbagai belahan dunia yang telah menggunakan mata uang alternatif dalam berbagai bentuk dan mekanisme.

Semoga kita bisa belajar dari semua ini.

***
Oleh: Wandy Nicodemus Tuturoong

(Sebagian besar bahan diperoleh dari www.newciv.org, www.lietaer.org
serta www.transaction.net).

Friday, February 19, 2010

Cara Bijak Melampiaskan Marah

KOMPAS.com - Melalui latihan, penghuni LP Cipinang jadi lebih mudah mengendalikan hasrat marahnya. Begitu hasil penelitian Dr. Livia Iskandar Dharmawan, Psi., MSc, di rumah tahanan itu. Lalu apa yang harus diperbuat bila berpura-pura tidak marah juga bisa menghasilkan ledakan yang bakal merepotkan orang di sekitarnya?

Pepatah Arab kuno mengatakan, kemarahan diawali dengan ketidaksadaran dan diakhiri dengan penyesalan. Adagium itu mungkin tak sepenuhnya benar, meski bukan berarti keliru. Yang jelas, kemarahan erat berkait dengan kepribadian serta pengalaman batin seseorang. Faktor eksternal sebagai pemicu, tentu saja sangat sangat menentukan bagaimana orang mengekspresikan kemarahannya.

Seperti emosi-emosi lain yang terberi, yaitu sedih, gembira, dan kecewa, amarah juga merupakan emosi normal manusia. Masalahnya adalah bagaimana kita mengelola kemarahan itu supaya tidak menjadi liar dan menjurus ke tindak negatif. Pada titik paling ekstrem, kemarahan bisa diikuti tindakan menyakiti diri sendiri atau orang lain. Lalu, apakah kita tidak boleh marah?

Ada cerita tentang orang yang sangat jarang marah. Namanya Pak Makruf. Para tetangga mengenalnya sebagai orang yang luar biasa penyabar. Belum pernah sekali pun ia marah di depan umum. Keluarganya pun mengaku sangat jarang melihat ia marah, kecuali sesekali melotot kesal. Pernah, suatu hari seorang pengendara motor ngebut melanggar genangan air, sehingga air kotor menciprat ke celananya yang bersih. Ia cuma tertegun sejenak dan berkata,"Mungkin ia buru-buru karena ada urusan gawat."

Pura-pura Penyabar
Ada beberapa orang yang seperti Pak Makruf. Mereka terlihat sangat tenang dan tidak mau mengumbar kemarahannya. Apakah mereka telah berhasil mengelola amarahnya? Jawabnya adalah belum tentu. Pasalnya, ada dua alternatif skenario yang bisa menimpa atau sedang terjadi pada orang-orang seperti itu.

Pertama, meski ia berhasil meredam setiap emosi kemarahannya sehingga tidak meledak ke luar, ternyata ia sekaligus menimbun emosi itu dalam hatinya. Untuk sesaat, penimbunan itu memang tidak berdampak buruk. Bahayanya adalah, orang-orang tipe ini sangat rentan meledakkan amarahnya dengan intensitas dan kesengitan yang luar biasa. Parahnya, banyak orang di sekitarnya justru tidak menduga ia akan berbuat sekeras itu. Akumulasi kepingan-kepingan amarahnya bisa membangkitkan kekuatan kemarahan yang sangat luar biasa.

Skenario kedua adalah, orang tersebut memang benar-benar sukses mengelola kemarahannya. Ia mampu mengendalikan segala emosinya dengan baik. Dengan latihan terus-menerus dan pemahaman yang baik tentang kemarahan, bukan tidak mungkin ia telah berhasil berdamai dengan dirinya. Agama, filsafat, latihan mental, dan pengalaman hidup adalah faktor-faktor yang sangat membantunya. Jika ia 'tidak marah', bukan berarti ia memang benar-benar tidak marah. Ia berhasil mengendalikan amarahnya supaya tidak meledak ke luar. Perbedaannya dengan tipe pertama sangat jelas, orang-orang golongan ini melakukannya dengan tulus dan semangat untuk menjadi lebih sabar.

Tipe lainnya adalah orang yang sangat 'hobi' marah-marah. Masalah kecil saja, telah cukup untuk meledakkan amarahnya. Semprotan kalimat-kalimat 'tak berbudaya' sudah biasa keluar dari mulutnya. Bukan tidak mungkin kemarahannya itu juga diikuti tindakan fisik. Dalam kasus seperti ini, biasanya yang menjadi korban adalah anggota keluarganya. Orang-orang ini tak peduli, bagaimana kemarahannya itu akan berakibat pada orang-orang terdekatnya.

Marah Secara Alami
Idealnya, kalau bisa tidak marah, memang tidak perlu marah. Untuk apa kita marah, karena justru bisa menimbulkan masalah baru. Tapi, memang hanya orang-orang tertentu yang bisa memadamkan api kemarahannya tanpa meninggalkan jejak berbahaya.

Sebagai manusia normal, kita masih perlu marah dan mengekspresikan kemarahan itu. Cuma, yang perlu diingat adalah cara dan bagaimana mengekspresikannya. Untuk kasus tertentu, misalnya kemarahan diperlukan untuk memperingatkan seseorang agar dia tidak mengulangi kesalahan serupa. Marah di sini bukan berarti Anda bebas mengeluarkan kata-kata 'sadis' yang berpotensi melukai hatinya, apalagi sampai menyakiti fisiknya.

Anda bisa mengajaknya bicara. Tidak perlu harus berbaik-baik, sewajarnya saja. Jika Anda kesal, bicaralah dengan kesal. Yang penting Anda ekspresikan kemarahan itu dengan alami. Sebab, sebelum kemarahan meledak ia pasti akan melalui beberapa tahapan. Sangat jarang terjadi kemarahan pada orang-orang terdekat kita tiba-tiba meledak begitu saja. Kesal, dongkol, sedih, biasanya adalah tahap-tahap awalnya. Dan saat-saat itulah waktu untuk sejenak merenung dan memikirkan apa dampak negatifnya jika kemarahan itu dilampiaskan begitu saja. Apa untung dan ruginya? Ingat, kemarahan itu tujuannya untuk mengingatkan bukan memuaskan emosi Anda.

Manajemen Marah
Pada umumnya, kita lebih mudah marah pada orang-orang terdekat, keluarga kita misalnya. Sementara dengan orang-orang yang tidak kita kenal, kita bersikap lebih lunak dan tidak begitu peduli.

Tapi, banyak pula kasus di mana kita marah pada orang yang kita temui di jalan. Jika ada orang yang memicu kemarahan Anda, jangan lupa berpikir, perlu tidak kemarahan itu dituruti. Jangan-jangan hidup kita justru lebih tenteram dengan tidak meledakkan amarah kapan pun kita suka.

Langkah yang musti diambil saat kita benar-benar dikuasai kemarahan adalah, paksa diri kita untuk tetap terkontrol dan berpikir sehat. Banyak kasus penyaniayaan dan pembunuhan terjadi karena kemarahan yang tidak terkontrol. Istilah kalap dan gelap mata mungkin bisa menggambarkan kondisi tersebut. Karena itu, di luar negeri sudah banyak didirikan klinik rehabilitasi kemarahan seperti halnya klinik rehabilitasi kecanduan alkohol dan narkoba. Mereka biasa menyebutnya anger management.

Beberapa waktu lalu, Livia Iskandar Dharmawan, Psi., MSc., melakukan rehabilitasi kemarahan di LP Cipinang, Jakarta. Livia adalah konsultan psikologi yang banyak menangani kasus kekerasan dalam rumahtangga. Di sana, ia membentuk grup-grup diskusi untuk membicarakan faktor-faktor pemicu kemarahan dan bagaimana mengatasinya. Setelah pelatihan tersebut, para peserta mengaku lebih mampu mengontrol diri dan tidak gampang lepas kendali.

Salah satu cara yang dipakai untuk mengelola marah ini adalah metode pengalihan perhatian. Saat hati dikuasai kemarahan, lakukanlah hal-hal yang bisa menyita konsentrasi Anda, misalnya menulis surat atau mengerjakan tugas-tugas yang belum beres. Anda bisa pula mendengarkan musik, mencuci mobil, bersih-bersih rumah, jalan-jalan ke mal hingga belanja. Bagi yang bersifat agresif bisa menyalurkannya lewat olahraga, bahkan memukuli sansak. Menyediakan karung pasir sebagai sasaran tinju adalah salah satu alternatif ampuh. Sementara itu, dengan beres-beres rumah Anda telah membimbing pikiran untuk mengatur sesuatu pada tempatnya dengan rapi.

Mungkin pada awalnya agak sulit dilakukan, sebab hati dan pikiran Anda masih dikuasai kemarahan. Tapi, lakukanlah terus aktivitas itu sepenuh hati. Biarkan konsentrasi Anda terpecah antara mengerjakan sesuatu dan memikirkan kemarahan. Lama-lama Anda akan terbiasa, bahwa kemarahan adalah sesuatu yang wajar, yang tidak harus dilampiaskan dengan berteriak atau meninju sesuatu.

Tapi, jika suatu saat Anda benar-benar marah, langkah pertama yang harus diingat adalah menarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan perlahan-lahan. Lakukan itu beberapa kali sambil mengingat pepatah di awal tulisan ini. Kemarahan selalu diawali dengan ketidaksadaran dan diakhiri dengan penyesalan. Jadi, jika Anda masih ingin selalu dikendalikan oleh kesadaran dan tidak ingin mengalami penyesalan, buat apa marah?

Monday, February 1, 2010

Airnya Yang Keruh, Atau Dispensernya Yang Berdebu?

Hore,

Hari Baru!

Teman-teman.



Apakah anda pernah berurusan dengan para pemakai ’topi negatif?’ Apapun yang anda katakan, mereka selalu menanggapinya secara negatif. Sekalipun anda membicarakan sesuatu yang positif, dimata mereka tetap saja negatif. Bahkan, sekalipun mengakui bahwa gagasan anda mengandung sisi positif, mereka tetap berdiri disudut pandang negatif. Walhasil, mereka tidak mendapatkan manfaat apapun dari apa yang anda sampaikan. Eh, jangan-jangan; yang memakai topi negatif itu kita sendiri, ya?



Teman saya yang bekerja disebuah perusahaan air minum dalam kemasan bercerita tentang seorang pelanggan yang komplain dengan sangat garang. Sungguh seorang pelanggan yang sadar bahwa ’Customer is King’. Didorong oleh dedikasi, teman saya mengunjungi rumah sang pelanggan untuk menindaklanjuti pengaduannya. Tahap pertama yang dilakukan oleh teman saya adalah memastikan bahwa air minum yang dibelinya memang asli keluaran perusahaannya. Ternyata asli. Jadi, seharusnya air itu mencerminkan komitmen perusahaan terhadap kualitas air yang dipasarkannya.



Tahap kedua, teman saya menginspeksi tata cara penanganan air tersebut. Termasuk diantaranya kondisi dispenser yang digunakan tuan rumah. Pemeriksaan tidak hanya dibagian yang mudah terlihat, melainkan juga bagian dalamnya. Dan dengan disaksikan oleh tuan rumah, pemeriksaan itu menghasilkan ’beberapa telur kecoa’ dan biangnya sekalian. Sekali lagi, salah satu sifat ’lemah’ manusia muncul. Jika air yang keluar dari dispenser kita kotor, kita berkesimpulan bahwa air yang kita beli kualitasnya buruk. Dan pihak yang harus bertanggungjawab adalah produser air itu.



Dalam banyak situasi, kisah nyata yang diceritakan oleh teman saya itu sangat mirip dengan keseharian kita. Kita cenderung melihat ’keluar’ daripada ’kedalam’. Makanya tidak heran jika ada saja orang-orang yang selalu memandang negatif terhadap pemikiran, gagasan dan pendapat orang lain. Dari sudut pandang ilmu perilaku, hal semacam itu disebut dengan istilah ’judgemental’. Orang dengan sikap ’judgemental’ selalu terfokus kepada kelemahan pendapat orang lain. Sehingga, terhadap apapun yang dikatakan oleh orang lain; dia selalu berusaha menemukan sisi buruknya. Tidak peduli betapa baik dan mumpuninya gagasan seseorang, pasti ada celah untuk diserang. Lagipula, bukankah kita percaya pada dogma ’tidak ada yang sempurna’?



Lho, bukankah kemampuan seseorang untuk menemukan titik lemah adalah salah satu ciri kecerdasan? Itu betul. Karena kemampuan untuk berpikir kritis adalah tanda dari orang-orang yang IQ-nya tinggi. Namun, kita semua tahu, bahwa IQ bukanlah faktor penentu utama dalam mengukur kualitas diri seseorang. Karena, tanpa standar kecerdasan lain, seseorang dengan IQ tinggi hanya mirip mesin hitung. Sederhananya, ’berpikir kritis’ ada di daerah ’kedigdayaan’ IQ, sedangkan ’menemukan cara terbaik untuk ’mengekspresikan’ beda pendapat ada di wilayah ’kearifan’ EQ. Dan untuk membangun interaksi positif manusia butuh kedua-duanya. Makanya, orang-orang yang hanya cerdas IQ tapi rendah EQ, sering dilanda frustrasi karena kegagalannya untuk meraih penerimaan orang lain atas ’kecanggihan’ dirinya.



Tahap ketiga yang dilakukan oleh teman saya adalah menunjukkan cara membersihkan dispenser, dan tips merawatnya agar tetap bersih. Dan setelah dispenser itu dibersihkan, ternyata air yang keluar dari dalamnya juga bersih. Boleh jadi, bukan gagasan atau sumbernya yang bermasalah, melainkan kepala dan hati kita yang berfungsi seperti dispenser itu yang kurang bersih. Sehingga kalau kita bersedia membersihkannya, akan kita temukan kebenaran, dan kejernihan dari gagasan yang datang dari orang lain. Mengapa kita butuh itu? Karena, orang paling cerdas sekalipun tidak mampu menemukan semua solusi. Sehingga, kesediaan kita untuk menerima gagasan dan masukan dari orang lain dengan hati yang bersih menjadi faktor penting. Apakah itu berarti kita harus selalu setuju dengan gagasan orang lain? Tidak juga. Namun, setidak-tidaknya kita bisa bertukar pikiran dengan itikad yang baik, melalui cara yang baik, untuk menemukan solusi terbaik.



Mengapa begitu? Karena, dari sudut pandang ilmu komunikasi, bukan hanya isi atau konten yang harus baik, melainkan juga bagaimana cara menyampaikannya. Jika menerapkan prinsip ini, mungkin kita bisa menghindari konflik yang terjadi karena salah satu pihak merasa benar sendiri. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersedia membersihkan ’dispenser’ didalam dirinya sendiri. Caranya? Antara lain, (1) Menghargai hak orang lain untuk menyampaikan gagasan, (2) Membuka diri akan kemungkinan kebenaran pihak lain, (3) Menenpuh jalan elegan saat berbeda pendapat, dan (4) Jikapun tidak bisa mencapai kata sepakat, junjung tinggilah norma yang berlaku dimasyarakat.



Mari Berbagi Semangat!

Dadang Kadarusman

“SS-Pro™ Office Communication Strategy” Learning Facilitator

http://www.dadangka darusman. com/



Catatan Kaki:

Kualitas diri seseorang tidaklah semata-mata dinilai dari kecanggihan hasil pemikirannya. Melainkan juga, melalui cara dia menyampaikannya.



Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul ”Belajar Sukses Kepada Alam” versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan perkenalkan diri disertai dengan alamat email kantor dan email pribadi (yahoo atau gmail) lalu kirim ke bukudadang@yahoo. com