PPP kembali jadi berita.
Bukan karena prestasi.
Bukan karena gagasan besar.
Tapi karena Muktamar yang pecah.
Dua kubu saling klaim Ketua Umum.
Satu kubu mantan Ketum, Mardiono.
Satu kubu Agus S. bersama T. Yasin.
Luar biasa.
Bukan luar biasa membanggakan, tapi memalukan.
photo: sindonews.com |
Sejarah yang Terlupa
PPP lahir tahun 1973.
Hasil fusi paksa empat partai Islam.
NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Sejak awal, PPP sudah terbiasa ditekan.
Di masa Orde Baru, mereka dipreteli simbolnya.
Ka'bah dilarang.
Diganti bintang.
Tapi mereka tidak menyerah.
Leluhur PPP sabar.
Mereka berjuang dengan ikhlas.
Mereka tahu, politik Islam harus tetap punya rumah.
Hingga Reformasi datang,
Ka'bah kembali berkibar.
Hijau kembali jadi kebanggaan.
Hari Ini: PPP yang Retak
Sayangnya, semua pengorbanan itu kini dicoreng kader sendiri.
Muktamar bukan ajang musyawarah, tapi arena gladiator.
Rebutan kursi Ketum seolah lebih penting dari marwah partai.
Publik disuguhi tontonan murahan.
Apakah elite PPP lupa sejarah?
Lupa bahwa lambang Ka'bah dulu diperjuangkan dengan air mata?
Lupa bahwa PPP adalah warisan darah, bukan sekadar tiket kekuasaan?
Pertanyaan yang Tak Terhindarkan
Pertarungan ini murni aspirasi kader?
Atau ada tangan luar yang memang ingin PPP hancur?
Biar makin kecil.
Biar tak lolos pemilu.
Biar hilang dari peta politik nasional.
Editorial Tegas
PPP sedang mengkhianati dirinya sendiri.
Sejarah perjuangan diabaikan.
Kader lapis bawah diseret jadi penonton ribut elite.
Publik muak.
Umat kecewa.
Jika PPP tidak segera bersatu,
partai ini akan digilas zaman.
Kaabah tetap suci.
Tapi orang-orang yang berseteru di bawahnya,
akan dikenang hanya sebagai pengkhianat sejarah.
Wallahu a’lam.