"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

2025/11/13

Sinopsis “Babad Dipanegara”

Babad Dipanegara adalah karya sastra dan sejarah monumental yang ditulis oleh Pangeran Dipanegara sendiri, atau Kanjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra, ketika beliau diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara setelah kekalahannya dalam Perang Jawa (1825–1830).

Naskah ini ditulis dalam bentuk tembang (puisi berbahasa Jawa) yang terdiri dari 43 pupuh, dan merupakan kombinasi unik antara autobiografi, kronik sejarah, dan renungan spiritual.
Isi babad tidak hanya menceritakan perjuangan fisik melawan penjajahan Belanda, tetapi juga menggambarkan pandangan dunia Jawa, sejarah Majapahit, kerajaan Islam di Jawa, hingga kisah para wali dan nabi-nabi. Dengan gaya tutur khas Jawa, Dipanegara menulis bukan sekadar untuk hiburan, tetapi untuk mendidik dan menyadarkan bangsanya akan pentingnya kemerdekaan dan kemandirian.
Naskah ini kemudian diakui oleh UNESCO pada tahun 2013 sebagai bagian dari “Memory of the World” (MoW) karena nilainya yang luar biasa bagi sejarah dunia, menjadikannya salah satu manuskrip terpenting dari Indonesia.
Ringkasan Isi (Summary)
“Babad Dipanegara” terdiri dari empat jilid besar (Babad I–IV) dan 43 pupuh.
Berikut garis besar isinya:
Babad Dipanegara I (Pupuh I–XI)
Berisi asal-usul dan latar belakang sejarah Jawa:
• Menceritakan tentang kejayaan Majapahit, masa Hayam Wuruk, hingga kemunculan kerajaan Islam di tanah Jawa.
• Dikisahkan pula sejarah para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati.
• Pangeran Dipanegara mulai memperkenalkan dirinya dan pandangannya tentang kerusakan moral bangsawan Jawa akibat pengaruh Belanda.
Babad Dipanegara II (Pupuh XII–XIX)
• Mengisahkan masa kecil dan pendidikan spiritual Pangeran Dipanegara.
• Ia menolak kemewahan keraton dan memilih hidup sederhana di Tegalrejo, di tengah rakyat.
• Mulai terlihat ketegangan antara dirinya dan pihak Belanda yang ikut campur dalam urusan kerajaan Yogyakarta.
Babad Dipanegara III (Pupuh XX–XXXI)
• Awal Perang Jawa. Pangeran Dipanegara tampil sebagai pemimpin rakyat dan ulama pejuang yang menegakkan keadilan.
• Diceritakan strategi, taktik perang, dan keberanian pasukannya.
• Tercermin pula kebijaksanaan spiritualnya—ia melihat perjuangan bukan semata perang duniawi, tapi jihad fi sabilillah melawan kezaliman.
Babad Dipanegara IV (Pupuh XXXII–XLIII)
• Menggambarkan masa akhir perjuangan, pengkhianatan, dan penangkapannya.
• Dipanegara tetap sabar dan tegar, menulis naskah ini dalam pengasingan di Manado.
• Ia merefleksikan hidup, keadilan, dan takdir Allah, serta menyerahkan hasil perjuangannya kepada generasi berikutnya.

Siapa Pangeran Dipanegara?
Pangeran Dipanegara (1785–1855) adalah putra dari Sultan Hamengkubuwono III dari Kesultanan Yogyakarta. Nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo.
Ia dikenal sebagai pemimpin besar Perang Jawa, seorang pahlawan nasional Indonesia, dan juga ulama serta cendekiawan yang mendalam pengetahuannya tentang agama dan budaya Jawa.
Beliau menolak kehidupan istana yang berbau kolonial dan lebih memilih hidup asketis, dekat dengan rakyat. Dipanegara dikenal sebagai “Ratu Adil”, sosok mesianis yang diyakini masyarakat Jawa akan datang membawa keadilan dan kedamaian.

Kejeniusan Pangeran Dipanegara dalam Menulis
1. Struktur Sastra yang Kompleks
Ia menggunakan bentuk tembang macapat—puisi tradisional Jawa dengan aturan metrum ketat. Hal ini menunjukkan keluasan pengetahuan sastra klasiknya.
2. Gaya Bahasa Simbolik dan Filosofis
Tiap bait memuat lapisan makna: sejarah, spiritual, dan moral. Ia menulis dengan kecerdikan sufistik, mengaitkan peristiwa sejarah dengan nilai-nilai ketauhidan.
3. Fungsi Didaktik dan Dakwah
Babad ini bukan hanya sejarah, tetapi nasihat moral dan ajakan religius.
Dalam Islam, menulis untuk mengabadikan ilmu dan pengalaman merupakan amal jariyah.
Dipanegara menulis bukan untuk membanggakan diri, tapi untuk memberi pelajaran bagi generasi berikutnya; sebuah jihad intelektual.

Paralel dengan Tuanku Imam Bonjol
Menariknya, Pangeran Dipanegara semasa dengan Tuanku Imam Bonjol di Sumatra Barat, keduanya:
• Pejuang Islam melawan kolonial Belanda.
• Tokoh karismatik yang menggabungkan peran ulama dan panglima perang.
• Sama-sama pandai menulis; Imam Bonjol juga meninggalkan memoir “Riwayat Tuanku Imam Bonjol”.
• Dan keduanya diakhiri hidupnya dalam pengasingan di Sulawesi (Diponegoro di Manado, Imam Bonjol di Minahasa).
Dua tokoh ini menjadi teladan “ulil albab” dalam Islam, orang berakal yang menggunakan pena dan pedang dalam perjuangan: menulis untuk melawan lupa, dan berjuang untuk menegakkan kebenaran.

Keterangan dari Foto Buku
• Judul: Babad Dipanegara
• Penulis: Pangeran Dipanegara / Kanjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra
• Penerbit: Narasi, Yogyakarta
• Harga: Rp 150.000,-
• Diakui UNESCO (2013) sebagai Memory of the World
• Isi: 43 pupuh dalam 4 babad besar
• Kategori: Sejarah & Budaya (U17+)
• Bahasa: Jawa (terjemahan dalam bahasa Indonesia)

2025/10/31

It’s Not AI vs Human, But AI for Human

Di banyak organisasi hari ini, tim Customer Experience sedang dikejar euforia yang sama. Semua ingin terlihat “AI-ready”. Mereka bicara tentang transformasi digital, otomatisasi, dan kecerdasan buatan seolah itu adalah tiket menuju masa depan. Dalam setiap presentasi, kata AI menjadi mantra baru: simbol kemajuan, bukti inovasi, bahkan kadang pelarian dari kenyataan bahwa pelayanan pelanggan masih jauh dari sempurna.

Namun di tengah hiruk pikuk itu, ada satu pertanyaan sederhana yang jarang diajukan: apa sebenarnya yang diinginkan pelanggan? Jawabannya sering kali bukan teknologi. Mereka tidak bangun pagi dengan harapan untuk berbicara dengan bot atau menavigasi menu otomatis yang tak berujung. Mereka hanya ingin masalahnya cepat diselesaikan, dipahami tanpa harus menjelaskan berulang kali, dan diperlakukan sebagai manusia, bukan tiket antrian yang harus ditutup sebelum akhir shift.

AI bisa mempercepat, memprediksi, bahkan menebak perilaku. Tapi AI tidak tahu rasanya kecewa. Ia tidak mengerti nada lelah dalam suara seseorang, atau kehangatan dari sapaan yang tulus. AI bisa menyalin kata-kata empati, tapi tidak bisa benar-benar merasakannya. Di sinilah letak paradoks besar industri CX hari ini. Semakin banyak organisasi bicara tentang human-centric experience, semakin sedikit yang benar-benar memberi ruang bagi kemanusiaan itu sendiri.

Teknologi seharusnya membantu manusia bekerja lebih baik, bukan menggantikannya. AI seharusnya membebaskan waktu agent untuk fokus pada percakapan yang benar-benar penting, bukan menjauhkan pelanggan di balik lapisan sistem yang rumit. AI bisa menjadi alat yang luar biasa ketika diarahkan dengan benar, AI for human, bukan AI versus human.

CX yang hebat tidak lahir dari sistem paling canggih, melainkan dari manusia yang menggunakan teknologi untuk membuat hubungan menjadi lebih manusiawi. Sebuah sistem mungkin bisa menutup tiket dengan cepat, tapi hanya manusia yang bisa menenangkan pelanggan yang kecewa. Sebuah bot mungkin mampu memberi jawaban akurat, tapi hanya manusia yang bisa memberi rasa dimengerti.

Kita sedang hidup di masa di mana setiap perusahaan ingin menjadi AI-driven, tapi pelanggan tetap menginginkan satu hal yang sama sejak dulu: diperlakukan dengan hormat dan penuh perhatian. Pada akhirnya, pelanggan tidak akan mengingat algoritma yang kita gunakan, tapi mereka akan selalu mengingat bagaimana mereka merasa setelah berinteraksi dengan kita.

Maka sebelum menempelkan label AI-powered di setiap presentasi, ada baiknya kita bertanya: apakah ini benar-benar membantu manusia, atau sekadar menenangkan rasa takut kita tertinggal tren? Sebab masa depan Customer Experience bukan tentang siapa yang paling cepat mengadopsi AI, melainkan siapa yang paling bijak menggunakannya untuk memperkuat kemanusiaan itu sendiri.

Karena pada akhirnya, bukan AI versus human yang akan menentukan arah pelayanan pelanggan, tetapi bagaimana kita menjadikan AI for human, teknologi yang berpihak pada manusia.

Ketika Semua BPO Menjual “AI”: Di Mana Letak Pembeda yang Sebenarnya?

Lanskap industri Business Process Outsourcing (BPO) di Indonesia kini memasuki fase paling ketat dalam dua dekade terakhir. Setiap pemain; besar maupun baru berbicara dalam bahasa yang sama: AI-driven operation, automation, digital transformation. Namun jika kita jujur, sebagian besar masih berada di tahap marketing maturity, belum sepenuhny aoperational maturity.

Artinya: AI sudah dijual, tapi belum benar-benar dijalankan semuanya.

Semua berlomba bicara AI, tapi pelanggan tetap bicara satu hal: hasil.

Harga? Semua Bisa Murah.

Bersaing lewat harga hari ini bukan strategi, melainkan keputusasaan yang dipoles dengan kata “efisiensi.”
Karena dengan semakin banyaknya freelancer platform, shared service, dan cloud automation tools, harga bukan lagi kekuatan, melainkan titik lemah.

BPO yang hanya menonjolkan tarif rendah akan terjebak menjadi “operator tanpa identitas.”
Cepat diganti, mudah dilupakan.

Produk? Semua Juga Bisa Buat.

Hari ini, customer support tools, chatbot, dan CX dashboard bisa dibangun dalam hitungan minggu.
Tidak ada yang eksklusif.
Bahkan teknologi yang disebut “proprietary” pun seringkali hanyalah rebranding dari vendor global.

Jika semua BPO berbicara dengan pitch deck yang sama, otomatisasi, omnichannel, AI, analytics  maka yang tersisa bukan lagi apa yang dijual, melainkan bagaimana dan siapa yang menjalankannya.

Pembeda yang Sesungguhnya: Budaya Operasional dan Kecerdasan Kontekstual

Ke depan, pembeda bukan lagi tools, melainkan cara kerja dan nilai yang dibawa ke klien.

  1. Budaya Operasional
    Apakah setiap agent, team leader, dan manajer punya ownership terhadap pengalaman pelanggan yang mereka layani?
    Atau mereka hanya menjalankan SLA seperti robot tanpa empati?
    AI bisa membantu menjawab cepat, tapi hanya manusia yang bisa memahami konteks dan niat di balik pertanyaan.

  2. Kecerdasan Kontekstual (Contextual Intelligence)
    Inilah kekuatan baru yang tak bisa digantikan AI murni.
    BPO yang memahami konteks industri kliennya; asuransi, kesehatan, telekomunikasi, logistik, keuangan, dll akan selalu lebih bernilai dibanding BPO yang sekadar menjawab tiket.
    Mereka bukan sekadar penyedia layanan, tapi partner strategis yang bisa membaca denyut bisnis klien.

  3. Sense of Humanity dalam Teknologi
    Dalam dunia di mana semua orang bicara machine learning, justru human learning yang harus ditonjolkan. Bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat empati, bukan menggantikan sentuhan manusia.
    BPO yang bisa menyeimbangkan ini; antara kecerdasan buatan dan kecerdasan emosional; akan memenangkan loyalitas, bukan sekadar kontrak.

Poin PENTING:
Yang Bertahan Bukan yang Tercanggih, Tapi yang Paling Relevan

Dalam perlombaan BPO modern, relevansi menjadi kata kunci. AI boleh datang dan pergi, tapi kepercayaan dan hasil nyata akan selalu abadi. BPO masa depan bukan sekadar “operator pintar”, melainkan mitra bisnis yang mampu berpikir, beradaptasi, dan tumbuh bersama kliennya.

Di era penuh jargon ini, mungkin pembeda terbaik bukan lagi teknologi,
melainkan ketulusan untuk benar-benar memahami apa yang dibutuhkan manusia di balik sistem.