| (Biar berima, dibaca: leviatang dan Jilatang) |
Thomas Hobbes membayangkan negara sebagai Leviathan: makhluk raksasa yang menakutkan, tetapi diperlukan. Ia lahir dari kesepakatan manusia yang lelah hidup dalam kekacauan. Leviathan diberi taring agar hukum dihormati, diberi kuasa agar kekerasan tidak liar, dan diberi legitimasi agar ketertiban punya arah. Tanpa Leviathan, kata Hobbes, hidup manusia akan “brutal, miskin, dan singkat.”
Masalahnya, Leviathan tidak selalu hidup sesuai imajinasi filsafat. Dalam praktik, ia bisa melemah, sakit, bahkan kehilangan taringnya. Mungkin seperti di Konoha kali ya?
Ketika itu terjadi, muncul makhluk lain, lebih kecil memang, tampak sepele, dan jarang dibicarakan dalam teori politik: kita menyebutnya sebagai jilatang.
Dalam khazanah Melayu–Nusantara, jilatang (atau jelatang) adalah tumbuhan liar yang menyengat. Daunnya tidak besar, batangnya tidak kokoh, dan kehadirannya sering diabaikan. Namun siapa pun yang menyentuhnya akan merasakan panas, gatal, dan perih yang bertahan lama. Ia tidak menyerang dari jauh, tidak menerkam dengan kekuatan, tetapi menyakiti melalui kedekatan. Jilatang tumbuh subur di lahan terbengkalai, spt di tanah dan lahan yang tidak dirawat, pagar yg dibiarkan runtuh. Metafora ini penting: sengatan sering kali datang bukan dari yang besar dan jelas, melainkan dari yang kecil dan dibiarkan.
Jilatang, dalam pengertian sosial-politik, bukan penguasa resmi. Ia tidak berdiri di podium, tidak disumpah atas nama konstitusi, dan tidak tercatat dalam struktur negara. Tapi dalam kasus tertentu ia bisa jadi bagian Leviathan tapi bersifat jilatang. Pendeknya, ia hidup dari memanfaatkan negara. Ia lihat menjilat tangan kekuasaan, menghisap sisa-sisa wibawa Leviathan, dan menjadikannya alat transaksi. Jika Leviathan adalah simbol ketertiban (setidaknya itu cita-citanya Hobbes), sementara jilatang adalah tanda pembusukan.
Leviathan bekerja lewat aturan. Jilatang bekerja lewat relasi.
Leviathan menuntut kepatuhan hukum. Jilatang menawarkan jalan pintas.
Leviathan seharusnya melindungi yang lemah. Jilatang justru hidup dari kelemahan itu.
Ketika hukum ditegakkan secara tegas dan konsisten, jilatang sulit bernapas. Ia tidak tahan transparansi, tidak cocok dengan prosedur, dan alergi pada akuntabilitas. Tapi saat hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, jilatang berkembang biak dengan subur. Ia menjadi makelar izin, calo keadilan, pengatur proyek, dan penghubung “orang dalam”.
Di titik ini, masalahnya bukan sekadar negara lemah. Masalahnya adalah negara yang kehilangan wibawa moral. Leviathan masih ada secara simbolik, spt gedungnya yang masih megah, regulasinya masih tebal, jargon reformasinya ramai, namun jiwanya kosong. Yang bekerja bukan lagi sistem, melainkan kedekatan. Bukan kompetensi, melainkan koneksi.
Rakyat kecil merasakannya lebih dulu. Mereka tidak berhadapan langsung dengan Leviathan, melainkan dengan jilatang-jilatang di level bawah. Untuk mengurus hak, perlu “uang rokok”. Untuk mencari keadilan, perlu “orang dalam”. Untuk sekadar aman, perlu kompromi. Hukum tidak lagi menjadi pelindung, melainkan labirin.
Ironisnya, dalam kondisi seperti ini, sebagian orang justru merindukan Leviathan yang lebih keras. Mereka ingin negara yang tegas, bahkan otoriter, asal bisa menyingkirkan jilatang. Ini paradoks klasik: ketika negara terlalu lemah, rakyat rela menyerahkan kebebasan demi ketertiban. Tapi sejarah mengajarkan, Leviathan yang tak diawasi bisa berubah dari pelindung menjadi pemangsa. Kita dah kenyang pengalaman dengan Orla dan Orba, atau bahkan betapa superiornya suatu institusi di era Jokowi.
Maka persoalannya bukan memilih antara Leviathan atau ketiadaan Leviathan. Pilihannya adalah Leviathan yang kuat oleh hukum, bukan oleh ketakutan. Leviathan yang tajam ke semua arah, bukan hanya ke yang lemah. Leviathan yang berani membersihkan tubuhnya sendiri dari para jilatang yang menempel. Berani mengikis habis benalu.
Selama jilatang lebih ditakuti daripada hukum, selama orang lebih percaya “siapa yang dikenal” daripada “apa aturannya”, selama keadilan bisa dinegosiasikan, maka negara sesungguhnya sedang sakit. Dan penyakit itu bukan kurang regulasi, melainkan kurang keberanian.
Leviathan tidak perlu menjadi monster yang menelan warganya. Ia hanya perlu kembali menjadi makhluk yang dihormati karena adil, bukan ditakuti karena sewenang-wenang. Saat itu terjadi, jilatang akan mati dengan sendirinya, karena tidak ada lagi tangan kotor yang bisa dijilat. Lagi pula, semua kita sudah muak dengan para jilatang itu!
No comments:
Post a Comment