"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2012/12/27

Dakwah Bocah Amsterdam Menuntun Hidayah Seorang Nenek

Ada kisah menarik tentang semangat dakwah, yang disampaikan oleh DR. Muhammad Ratib an-Nabulsy saat Khuthbah Jumat tertanggal 2 Juli 2010. Sebuah kisah inspiratif terjadi di Amsterdam yang sangat menarik untuk disimak.

Berikut ini Penulis paparkan dengan terjemah bebas dan sedikit diringkas.
“Menjadi kebiasaan di hari Jumat, seorang Imam masjid dan anaknya yang berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yg berjudul “Thariiqun ilal jannah” (jalan menuju jannah).

Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik air hujan yang membuat orang benar-benar malas untuk keluar rumah. Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dinginnya udara, lalu ia berkata kepada sang ayah,

“Saya sudah siap, Ayah!”

“Siap untuk apa, Nak?”

“Ayah, bukankah ini waktunya kita menyebarkan brosur ‘jalan menuju jannah’?”

“Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.”

“Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!”
“Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.”

“Ayah, jika diijinkan, saya ingin menyebarkan brosur ini sendirian.”

Sang ayah diam sejenak lalu berkata, “Baiklah, pergilah dengan membawa beberapa brosur yang ada.”

Anak itupun keluar ke jalanan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu. Dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalanan sepi dan ia tak menjumpai lagi orang yang lalu lalang di jalanan. Ia pun mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah, namun tak ada jawaban. Ia pencet lagi, dan tak ada yang keluar. Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalanginya. Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ia ketuk pintu dengan lebih keras. Ia tunggu beberapa lama, hingga pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam Wanita itu berkata, “Apa yang bisa dibantu wahai anakku?”

Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata, “Nek, mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa brosur dakwah untuk Anda yang menjelaskan bagaimana Anda mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.”

Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih, Nak.”

Sepekan Kemudian
Usai shalat Jumat, seperti biasa Imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit taushiyah, lalu berkata, “Adakah di antara hadirin yang ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu?”

Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata,

“Tak ada di antara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini. Sebelum Jumat yang lalu saya belum menjadi seorang muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini sebelumnya. Sekitar sebulan lalu suamiku meninggal, padahal ia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Hari Jumat yang lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapanku untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku. Saya ikat satu ujung tali di kayu atap. Saya berdiri di kursi, lalu saya kalungkan ujung tali yang satunya ke leher, saya memutuskan untuk bunuh diri.

Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tidak menjawab, “paling sebentar lagi pergi”, batinku.

Tapi ternyata bel berdering lagi, dan kuperhatikan ketukan pintu semakin keras terdengar. Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk sekedar melihat siapa yang mengetuk pintu.

Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah berwajah ceria, dengan senyuman laksana malaikat dan aku belum pernah melihat anak seperti itu. Ia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “Jalan Menuju Jannah.”

Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur. Setelah membacanya, aku naik ke lantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan kursi. Saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya.

Anda tahu, sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia.

Dan karena alamat markaz dakwah tertera di brosur itu, maka saya datang ke sini sendirian utk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimakasih kepada kalian, khususnya ‘malaikat’ kecil yang telah mendatangiku pada saat yang sangat tepat. Mudah-mudahan itu menjadi sebab selamat saya dari kesengsaraan menuju kebahagiaan jannah yang abadi.

Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir. Allahu Akbar. Menggema di ruangan. Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah ‘malaikat’ kecil itu duduk. Sang ayah mendekap dan mencium anaknya diiringi tangisan haru. Allahu Akbar!”

Lihatlah bagaimana antusias anak kecil itu tatkala berdakwah, hingga dia mengatakan “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” Ia tidak bisa membiarkan manusia berjalan menuju neraka. Ia ingin kiranya bisa mencegah mereka, lalu membimbingnya menuju jalan ke jannah.

Lihat pula bagaimana ia berdakwah, menunjukkan wajah ceria dan memberikan kabar gembira, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Siapa yang tidak trenyuh hati mendengarkan kata-katanya?

Berdakwah dengan apa apa yang ia mampu, juga patut dijadikan teladan. Bisa jadi,tanpa kita sadari, cara dakwah sederhana yang kita lakukan ternyata berdampak luar biasa. Menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang. Padahal, satu orang yang mendapat hidayah dengan sebab dakwah kita, lebih baik baik bagi kita daripada mendapat hadiah onta merah. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah/arrisalah)

Source: Click here

2012/12/25

Petani dan Kandang Kambing: Sebuah Pelajaran tentang Kebiasaan dan Perubahan

Pada kesempatan ini, izinkan saya berbagi sebuah cerita ringan yang mudah-mudahan bisa menjadi cermin untuk diri kita pribadi, maupun untuk organisasi tempat kita berkarya. Harapannya, cerita ini bisa menggugah semangat untuk terus berubah… menjadi lebih baik.

Di sebuah kampung kecil yang tenang, hiduplah seorang petani sederhana bersama keluarganya. Seperti umumnya rumah di kampung itu, mereka tinggal di rumah panggung, rumah yang memiliki kolong cukup luas di bawahnya. Biasanya, kolong rumah dimanfaatkan untuk menyimpan alat pertanian. Tapi si petani ini punya ide lain: ia menjadikannya sebagai kandang kambing.

Jumlah kambingnya memang tidak banyak, tapi cukup untuk kebutuhan lauk sekeluarga sepanjang tahun. Bahkan kalau rezeki sedang baik, di bulan haji ia bisa menjual dua atau tiga ekor untuk kurban. Cukup menguntungkan.

Awalnya, keberadaan kandang kambing di kolong rumah itu cukup mengganggu. Istri dan anak-anaknya sering mengeluh, bau kambing menyengat sepanjang hari, belum lagi suara embikannya yang bersahutan, bahkan kadang-kadang tengah malam. Tidur jadi tidak nyenyak, makan pun kurang selera.

Tapi itu dulu.

Lama-kelamaan, mereka mulai terbiasa. Bau khas kambing tak lagi terasa. Suara embikannya seperti musik latar yang mengiringi hari-hari mereka. Tidak ada lagi yang mengeluh. Semua sudah "nyaman". Hidup kembali normal… setidaknya menurut mereka.

Hingga suatu hari, keluarga si petani pergi menghadiri pesta pernikahan ke kampung sebelah. Kebetulan yang menikah adalah keponakan mereka sendiri, jadi bukan hanya sekadar tamu, mereka juga ikut membantu sebagai panitia. Selama tiga hari tiga malam, mereka larut dalam suasana bahagia. Pesta berlangsung meriah. Para tamu berpakaian rapi, harum semerbak parfum di mana-mana, dan rumah penuh tawa serta kegembiraan.

Tidak ada kambing. Tidak ada bau amis. Tidak ada suara embik.

Setelah pesta usai, mereka pun pulang. Baru saja menginjak halaman rumah, anak dan istri si petani sudah saling pandang. Ada sesuatu yang terasa janggal. Mereka mengendus. Meringis.

"Bau kambingnya… menyengat banget, ya?"

Begitu masuk ke rumah, suara embikan kambing menyambut mereka. Tapi kali ini bukan seperti musik latar, melainkan seperti konser tak diundang yang memekakkan telinga.

Tanpa banyak kata, anak dan istrinya langsung “kompak” mengeluarkan ultimatum,
“Ayah, kandang kambingnya harus dipindah. Hari ini juga.”

Dan begitulah, setelah bertahun-tahun dianggap biasa, hanya dalam tiga hari pancaindra mereka kembali “terjaga”.
Sensitivitas mereka kembali normal.
Bau yang dulu tak terasa, kini mengganggu.
Suara yang dulu dianggap biasa, kini jadi bising.

Kandang kambing pun akhirnya dipindahkan ke belakang kebun.


---

Moral lesson:

Cerita ini mungkin terdengar sepele. Tapi sesungguhnya menyimpan pesan yang sangat penting.

Sering kali dalam hidup dan pekerjaan, kita terbiasa dengan kondisi yang tidak ideal. Kita hidup dalam "bau kambing" dan suara "embikan" setiap hari, sampai akhirnya tak terasa lagi. Kita bilang,
“Ini sudah biasa.”
“Memang dari dulu begini.”
“Lama-lama juga terbiasa kok.”

Tapi terbiasa bukan berarti baik.
Dan diam di zona nyaman bukan berarti kita sedang di tempat yang tepat.

Kadang, kita perlu keluar sebentar. Melihat dari luar. Menghirup udara yang lebih segar. Mengalami cara hidup atau cara kerja yang berbeda. Supaya kita sadar… bahwa kita bisa lebih baik.

Dan hanya dengan keluar dari rutinitas itu, kita bisa melihat bahwa bau yang dulu tak tercium… ternyata sangat menyengat.
Suara yang dulunya dianggap biasa… ternyata sangat mengganggu.

Perubahan tidak selalu tentang hal besar.
Kadang, cukup ambil jarak sejenak.
Menata ulang kebiasaan.
Mengembalikan standar kita pada titik yang lebih sehat.
Lebih sadar.
Lebih baik.

Sebab seperti kata pepatah,
"Kebiasaan yang buruk, kalau diteruskan, akan terasa seperti kebenaran."

Jangan biarkan “kandang kambing” menghalangi kita dari pertumbuhan yang lebih sehat.
Untuk diri sendiri, untuk tim, dan untuk organisasi.

To change being better!


Terimakasih,