Fajar baru saja menyentuh langit ketika aku bergegas menaiki bus menuju kantor. Seperti biasa, aku memilih duduk di dekat jendela, memandang jalanan kota yang perlahan mulai sibuk. Di dalam benakku, rencana esok hari berputar-putar. Bos besar dari Singapura akan datang untuk kunjungan, dan kabarnya ada pengumuman penting yang akan disampaikan kepada seluruh karyawan. Suasana kantor pasti akan lebih tegang dari biasanya, pikirku sambil merapikan masker yang masih melekat di wajahku.
Rasa penasaran menyelinap saat bus melewati
kafe kecil di sudut jalan. Dari balik jendela, aku menangkap sosok yang sudah
tak asing lagi: Freeman. Duduk di tempat yang biasa, dengan secangkir kopi di
tangannya. Pandanganku melekat pada wajahnya, yang tampak tenang dan sedikit
melamun. Tiba-tiba, sebuah pikiran konyol muncul di benakku. "Apa dia
aktor yang sudah gak laku?" Aku menahan tawa kecil. Freeman, dengan segala
karismanya, tetap menjadi misteri bagiku.
Empat puluh menit perjalanan terasa cepat.
Bus berhenti di halte terakhir, tak jauh dari kantor kami. Kantor ini bukan
milik perusahaan, hanya ruang sewa di coworking space yang sederhana. Jumlah
karyawan kami tak lebih dari tiga puluh orang, maklum, perusahaan ini masih
dalam tahap rintisan di Amerika. Meski kecil, semangat yang mengalir di
dalamnya terasa besar. Setiap orang di sini punya impian yang besar untuk
membuat perusahaan ini sukses.
Entah kenapa, suasana pagi ini terasa lebih
ringan. Saat aku melangkah masuk ke dalam kantor, seorang office boy menyapaku
dengan senyum ramah. "Good morning, sir!" katanya dengan aksen
Filipina yang khas. Namanya John Santiago, tapi kami semua memanggilnya Santi.
"Kalo di Indonesia, Santi identik dengan nama cewek ya," kataku suatu
hari, dan sejak itu setiap kali aku memanggilnya, aku teringat akan lelucon
kecil itu. Santi selalu bekerja dengan cekatan, memastikan kantor tetap rapi
dan nyaman.
Memang, sebagian besar karyawan di kantor ini
berasal dari Asia Tenggara. Headquarters kami di Singapura, jadi banyak dari
kami yang ditugaskan sementara di sini, termasuk aku. Namun, perlahan
perusahaan mulai merekrut karyawan lokal Amerika. Mereka akan menjadi tulang
punggung tim di masa depan, setelah kami berhasil menginjakkan kaki dengan kuat
di pasar ini.
Aku melirik jam tangan, dan waktu makan siang
sudah hampir tiba. Seperti biasa, aku dan beberapa rekan kerja akan pergi ke
foodcourt di belakang gedung samping kantor. Hanya butuh sekitar tujuh hingga
delapan menit berjalan kaki. Tempat itu penuh dengan pilihan makanan, hampir
tiga puluh tenant yang berjejer, tetapi hanya satu yang menjual makanan halal.
Dan itu adalah stand langgananku.
Namanya Halime. Dia penjaga stand makanan
halal itu, seorang part-timer asal Turki yang juga sedang berkuliah.
Penampilannya selalu anggun, mengenakan hijab meskipun belum versi syar’i
seperti gaya Timur Tengah yang lebih tertutup. Namun, ada sesuatu yang luar
biasa dari caranya menjalani hidup, memadukan kecerdasan, keindahan, dan
keyakinan. Setiap kali aku ke standnya, obrolan kami singkat tapi penuh
kehangatan. Aku sudah cukup akrab dengannya, meski masih tetap menjaga
formalitas.
Itu menjadi rutinitasku di sini. Menemukan
tempat yang nyaman, wajah-wajah yang ramah, dan kebiasaan-kebiasaan kecil yang
membuat hari-hariku di negeri asing ini terasa lebih ringan. Sore itu, setelah
makan siang dan kembali bekerja, pikiranku mulai beralih ke akhir pekan. Rasa
lelah mulai terasa, tapi aku tahu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan
sebelum hari berakhir.
Saat aku sedang menyelesaikan beberapa
laporan, sebuah pesan WhatsApp muncul di layar ponselku. Dari Freeman. Mataku
sejenak terbelalak, sedikit terkejut karena aku tak mengira dia akan
menghubungiku lagi dalam waktu dekat. Isinya undangan untuk akhir pekan ini,
mengajak keluargaku barbeque bersama di rumahnya. Aku tersenyum kecil, meskipun
sempat ragu. Hubunganku dengan Freeman memang belum terlalu dekat, tapi kurasa,
menghabiskan waktu dengan keluarganya bisa jadi pengalaman yang menarik.
Namun, meski begitu, ada sesuatu tentang
Freeman yang selalu membuatku bertanya-tanya. Dia seperti teka-teki yang tak
mudah dipecahkan. Aku merasa ada lapisan-lapisan di balik sosoknya yang
karismatik, sesuatu yang belum ia tunjukkan sepenuhnya. Mungkin, pertemuan
akhir pekan nanti bisa memberikan lebih banyak jawaban. Atau mungkin, aku akan
terus bertanya tanpa pernah benar-benar tahu.
Opsi untuk menolak undangan itu sempat
melintas di pikiranku. Tapi, akhirnya aku memutuskan untuk menerima. Lagipula,
apa salahnya menjalin pertemanan dengan orang baru di sini? Ditambah, istriku
pasti akan senang diajak berkumpul di acara santai seperti itu. Barbeque
keluarga bersama Freeman bisa menjadi pelarian kecil dari rutinitas pekerjaan
yang monoton.
Tepat sebelum aku pulang, aku mengirimkan
balasan singkat kepada Freeman. “Sure, we’d love to join. Looking forward to
it!” Rasanya, akhir pekan ini akan menjadi sesuatu yang menarik.
Rasanya aneh saat aku duduk di dalam bus,
memikirkan bagaimana Freeman bisa muncul lagi dalam hidupku. Mungkin ini hanya
kebetulan, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam yang belum aku pahami.
Bagaimanapun, pertemuan kami akhir pekan nanti bisa membuka pintu untuk lebih
mengenalnya.
Entah bagaimana, aku merasa Freeman memiliki
cerita panjang yang ingin dia bagikan, tapi belum waktunya. Setiap kali aku
bertemu dengannya, ada misteri yang terselubung di balik senyumnya, seakan dia
sedang menyimpan rahasia besar yang belum siap diungkapkan. Mungkin pertemuan
di acara barbeque nanti akan memberikan kesempatan untuk menggali lebih dalam.
Akhirnya, bus sampai di halte terakhir. Aku
melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Satu bagian dari diriku penasaran
dengan apa yang akan terjadi di akhir pekan nanti, sementara bagian lain sibuk
memikirkan pekerjaan dan persiapan kunjungan bos besar. Hari esok pasti akan
penuh tantangan, tapi akhir pekan itu, di rumah Freeman, bisa jadi sebuah
pelarian yang menenangkan.
Lampu jalanan mulai menyala ketika aku melangkah menuju area apartemen. Malam perlahan tiba, dan aku masih perlu menyelesaikan beberapa sisa pekerjaan di apartemen nanti, setelah bercengkarama dengan anak dan isteri. Untuk pertemuan akhir pecan, di dalam hati, aku sudah menyiapkan banyak pertanyaan untuk Freeman, terutama tentang Joel dan Jaloe. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.