"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2024/09/27

Cerbung Bagian V: Pertemuan Takdir: Freeman dan Aku

Fajar baru saja menyentuh langit ketika aku bergegas menaiki bus menuju kantor. Seperti biasa, aku memilih duduk di dekat jendela, memandang jalanan kota yang perlahan mulai sibuk. Di dalam benakku, rencana esok hari berputar-putar. Bos besar dari Singapura akan datang untuk kunjungan, dan kabarnya ada pengumuman penting yang akan disampaikan kepada seluruh karyawan. Suasana kantor pasti akan lebih tegang dari biasanya, pikirku sambil merapikan masker yang masih melekat di wajahku.

Rasa penasaran menyelinap saat bus melewati kafe kecil di sudut jalan. Dari balik jendela, aku menangkap sosok yang sudah tak asing lagi: Freeman. Duduk di tempat yang biasa, dengan secangkir kopi di tangannya. Pandanganku melekat pada wajahnya, yang tampak tenang dan sedikit melamun. Tiba-tiba, sebuah pikiran konyol muncul di benakku. "Apa dia aktor yang sudah gak laku?" Aku menahan tawa kecil. Freeman, dengan segala karismanya, tetap menjadi misteri bagiku.

Empat puluh menit perjalanan terasa cepat. Bus berhenti di halte terakhir, tak jauh dari kantor kami. Kantor ini bukan milik perusahaan, hanya ruang sewa di coworking space yang sederhana. Jumlah karyawan kami tak lebih dari tiga puluh orang, maklum, perusahaan ini masih dalam tahap rintisan di Amerika. Meski kecil, semangat yang mengalir di dalamnya terasa besar. Setiap orang di sini punya impian yang besar untuk membuat perusahaan ini sukses.

Entah kenapa, suasana pagi ini terasa lebih ringan. Saat aku melangkah masuk ke dalam kantor, seorang office boy menyapaku dengan senyum ramah. "Good morning, sir!" katanya dengan aksen Filipina yang khas. Namanya John Santiago, tapi kami semua memanggilnya Santi. "Kalo di Indonesia, Santi identik dengan nama cewek ya," kataku suatu hari, dan sejak itu setiap kali aku memanggilnya, aku teringat akan lelucon kecil itu. Santi selalu bekerja dengan cekatan, memastikan kantor tetap rapi dan nyaman.

Memang, sebagian besar karyawan di kantor ini berasal dari Asia Tenggara. Headquarters kami di Singapura, jadi banyak dari kami yang ditugaskan sementara di sini, termasuk aku. Namun, perlahan perusahaan mulai merekrut karyawan lokal Amerika. Mereka akan menjadi tulang punggung tim di masa depan, setelah kami berhasil menginjakkan kaki dengan kuat di pasar ini.

Aku melirik jam tangan, dan waktu makan siang sudah hampir tiba. Seperti biasa, aku dan beberapa rekan kerja akan pergi ke foodcourt di belakang gedung samping kantor. Hanya butuh sekitar tujuh hingga delapan menit berjalan kaki. Tempat itu penuh dengan pilihan makanan, hampir tiga puluh tenant yang berjejer, tetapi hanya satu yang menjual makanan halal. Dan itu adalah stand langgananku.

Namanya Halime. Dia penjaga stand makanan halal itu, seorang part-timer asal Turki yang juga sedang berkuliah. Penampilannya selalu anggun, mengenakan hijab meskipun belum versi syar’i seperti gaya Timur Tengah yang lebih tertutup. Namun, ada sesuatu yang luar biasa dari caranya menjalani hidup, memadukan kecerdasan, keindahan, dan keyakinan. Setiap kali aku ke standnya, obrolan kami singkat tapi penuh kehangatan. Aku sudah cukup akrab dengannya, meski masih tetap menjaga formalitas.

Itu menjadi rutinitasku di sini. Menemukan tempat yang nyaman, wajah-wajah yang ramah, dan kebiasaan-kebiasaan kecil yang membuat hari-hariku di negeri asing ini terasa lebih ringan. Sore itu, setelah makan siang dan kembali bekerja, pikiranku mulai beralih ke akhir pekan. Rasa lelah mulai terasa, tapi aku tahu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum hari berakhir.

Saat aku sedang menyelesaikan beberapa laporan, sebuah pesan WhatsApp muncul di layar ponselku. Dari Freeman. Mataku sejenak terbelalak, sedikit terkejut karena aku tak mengira dia akan menghubungiku lagi dalam waktu dekat. Isinya undangan untuk akhir pekan ini, mengajak keluargaku barbeque bersama di rumahnya. Aku tersenyum kecil, meskipun sempat ragu. Hubunganku dengan Freeman memang belum terlalu dekat, tapi kurasa, menghabiskan waktu dengan keluarganya bisa jadi pengalaman yang menarik.

Namun, meski begitu, ada sesuatu tentang Freeman yang selalu membuatku bertanya-tanya. Dia seperti teka-teki yang tak mudah dipecahkan. Aku merasa ada lapisan-lapisan di balik sosoknya yang karismatik, sesuatu yang belum ia tunjukkan sepenuhnya. Mungkin, pertemuan akhir pekan nanti bisa memberikan lebih banyak jawaban. Atau mungkin, aku akan terus bertanya tanpa pernah benar-benar tahu.

Opsi untuk menolak undangan itu sempat melintas di pikiranku. Tapi, akhirnya aku memutuskan untuk menerima. Lagipula, apa salahnya menjalin pertemanan dengan orang baru di sini? Ditambah, istriku pasti akan senang diajak berkumpul di acara santai seperti itu. Barbeque keluarga bersama Freeman bisa menjadi pelarian kecil dari rutinitas pekerjaan yang monoton.

Tepat sebelum aku pulang, aku mengirimkan balasan singkat kepada Freeman. “Sure, we’d love to join. Looking forward to it!” Rasanya, akhir pekan ini akan menjadi sesuatu yang menarik.

Rasanya aneh saat aku duduk di dalam bus, memikirkan bagaimana Freeman bisa muncul lagi dalam hidupku. Mungkin ini hanya kebetulan, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam yang belum aku pahami. Bagaimanapun, pertemuan kami akhir pekan nanti bisa membuka pintu untuk lebih mengenalnya.

Entah bagaimana, aku merasa Freeman memiliki cerita panjang yang ingin dia bagikan, tapi belum waktunya. Setiap kali aku bertemu dengannya, ada misteri yang terselubung di balik senyumnya, seakan dia sedang menyimpan rahasia besar yang belum siap diungkapkan. Mungkin pertemuan di acara barbeque nanti akan memberikan kesempatan untuk menggali lebih dalam.

Akhirnya, bus sampai di halte terakhir. Aku melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Satu bagian dari diriku penasaran dengan apa yang akan terjadi di akhir pekan nanti, sementara bagian lain sibuk memikirkan pekerjaan dan persiapan kunjungan bos besar. Hari esok pasti akan penuh tantangan, tapi akhir pekan itu, di rumah Freeman, bisa jadi sebuah pelarian yang menenangkan.

Lampu jalanan mulai menyala ketika aku melangkah menuju area apartemen. Malam perlahan tiba, dan aku masih perlu menyelesaikan beberapa sisa pekerjaan di apartemen nanti, setelah bercengkarama dengan anak dan isteri. Untuk pertemuan akhir pecan, di dalam hati, aku sudah menyiapkan banyak pertanyaan untuk Freeman, terutama tentang Joel dan Jaloe. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

2024/09/26

Cerbung Bagian IV: Cahaya Di Balik Jeruji

Menjelang siang yang berangin dingin, langkahku terasa berat memasuki lembaga pemasyarakatan itu. Aku mengenakan masker, menutupi sebagian wajahku. Itu bagian dari prosedur lapas, demi ‘keamanan’ pengunjung luar seperti diriku. Suara pintu besi yang berderit, suasana suram di lorong panjang dengan penjagaan ketat, semua terasa asing bagiku. Namun, ada satu hal yang membuatku tetap tenang: pertemuanku dengan Ustadz Rahman di Islamic Center beberapa waktu lalu. Hari ini, ia menunggu di dalam, mengajakku untuk melihat sendiri bagaimana bimbingan rohani diberikan kepada para tahanan, termasuk Joel dan Jaloe, yang beberapa hari lalu nyaris mengubah hidupku.

Ustadz Rahman menyambutku dengan senyuman penuh ketulusan. Di sini, di balik tembok penjara ini, ia memikul tugas mulia: menjadi cahaya kecil yang menuntun para tahanan menuju jalan kebenaran. “Lapas ini adalah dunia yang keras, tapi hati manusia selalu punya ruang untuk cahaya,” katanya sambil berjalan di sampingku. Kami melewati beberapa sel yang dijaga ketat, di mana suara langkah kaki terdengar jelas menggema.

Hari ini, Ustadz Rahman akan memberikan bimbingan rohani seperti biasa. Bersama para agamawan dari berbagai keyakinan, mereka rutin bertemu dengan para tahanan, terutama mereka yang terlibat kasus berat seperti pembunuhan dan narkoba. Di ruangan kecil penuh cahaya matahari yang menyelinap dari jendela jeruji, para tahanan mulai berkumpul. Di sini, waktu terasa lambat, tapi kehidupan terus berjalan.

Aku memperhatikan dari kejauhan saat Ustadz Rahman berbicara dengan seorang tahanan yang sedang duduk di sudut ruangan. Mereka terlihat tenggelam dalam percakapan mendalam. "Ini Abdoel," bisik Ustadz Rahman ketika memperkenalkannya kepadaku nanti. Abdoel adalah salah satu tahanan yang rajin menjalankan shalat di tengah ruangan selnya. Bagiku, ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, meski di baliknya tersimpan beban masa lalu yang kelam.

Melalui percakapan dengan Abdoel, Ustadz Rahman mengetahui lebih banyak tentang Joel dan Jaloe, dua sosok yang saat ini sedang menunggu vonis mereka dibacakan setelah beberapa pekan persidangan ke depan. Abdoel bercerita dengan tenang, seperti seorang sahabat yang mengenal karakter keduanya. "Mereka bersaudara," ucap Abdoel pelan, "tapi beda sekali. Joel itu keras kepala, merasa dirinya tak bisa dikalahkan oleh apapun. Sedangkan Jaloe, lebih tenang, seperti orang yang sedang mencari jawaban."

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan kehidupan di balik tembok ini. Joel yang sudah hampir 38 tahun, tampak mendominasi adiknya dengan kepribadian kuat dan tak kenal kompromi. Sementara Jaloe yang masih 28 tahun, menyimpan kebisuan yang penuh tanda tanya. Kata Abdoel, beberapa kali Jaloe terlihat memerhatikan ketika ia shalat. Tatapan itu bukan tatapan kosong, melainkan tatapan seseorang yang sedang berusaha memahami sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Di ruang tahanan ini, waktu menjadi guru yang paling tegas. Namun, bagi Joel, waktu seolah tak berarti. Ia tak pernah mendengar khutbah atau ceramah agama yang disampaikan agamawan. "Dia merasa semua ini sia-sia," ujar Abdoel. “Dia hanya ingin keluar dari sini dan melanjutkan hidup seperti dulu.” Namun, hidup seperti dulu bukanlah jalan yang tersedia baginya. Kegelapan yang ia pilih mungkin akan menghantui langkahnya selamanya.

Sementara itu, Jaloe adalah cerita yang berbeda. Di balik ketenangannya, ada percikan harapan yang tumbuh. Abdoel bisa merasakannya. “Jaloe pernah bertanya kepadaku tentang doa. Dia ingin tahu, apakah doa bisa mengubah nasib seseorang?” Abdoel bercerita sambil menundukkan kepala, seolah kata-kata Jaloe itu membekas dalam benaknya. Jaloe adalah seseorang yang sedang berjuang mencari makna hidup, bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun.

Ada rasa iba yang menyelinap dalam dadaku, memikirkan dua saudara ini. Meski bersaudara, mereka begitu berbeda. Joel yang keras dan tak mau kalah, mungkin belum menyadari bahwa kemenangan sejati bukanlah soal siapa yang bertahan paling kuat, tapi siapa yang menemukan kedamaian dalam dirinya. Jaloe, di sisi lain, tampak seperti seseorang yang sedang berada di ambang perubahan besar, meskipun masih dilingkupi kebisuan.

Waktu terus berjalan di dalam lembaga pemasyarakatan ini, tapi Joel dan Jaloe tetap menunggu vonis yang akan segera dibacakan. Hukuman 20 tahun penjara sudah menanti mereka. Namun, lebih dari itu, mungkin yang sedang menunggu adalah takdir yang lebih besar. Joel mungkin akan terus bergulat dengan kemarahannya, sementara Jaloe perlahan meraba-raba jalan menuju penemuan spiritual yang ia dambakan.

Seperti yang dikatakan Ustadz Rahman, penjara ini adalah tempat di mana banyak orang terjebak dalam kegelapan, tetapi juga tempat di mana cahaya bisa menemukan jalan masuk, meski melalui celah-celah kecil. Aku pun teringat pada sebuah kutipan lama yang pernah kudengar, “Kadang-kadang, kita harus tersesat dulu sebelum bisa menemukan jalan pulang.” Joel dan Jaloe, bagaimanapun, sedang menjalani perjalanan mereka masing-masing, dan hanya waktu yang akan menjawab ke mana perjalanan itu akan membawa mereka.

Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruang bimbingan rohani dengan hati yang penuh renungan. Di luar sana, kebebasan tampak begitu jelas, tapi di balik tembok ini, ada kehidupan yang terus berjuang mencari arti. Ustadz Rahman memandangku dan tersenyum tipis, seolah ia tahu apa yang sedang kupikirkan. “Setiap jiwa punya jalannya sendiri untuk pulang,” ucapnya lembut. Aku pun mengangguk, merasakan makna mendalam dari kata-katanya.


Cerbung Bagian III: Cahaya Di Negeri Asing

Indah memang suasana senja menjelang Maghrib di kota ini. Tapi sayang isteri dan tiga anakku yang lain belum bisa menemani kami sore ini karena isteriku masih harus menemani anak ketiga di tempat kursusnya. Sementara anak pertama dan kedua sudah mulai bisa mandiri. Tak perlu antar jemput. Waktu Maghrib hampir tiba saat aku dan Adika berjalan menyusuri jalan-jalan di sekitar lingkungan tempat tinggal kami yang baru. Kami tidak akan sempat pulang tepat waktu, jadi aku memutuskan untuk mencari masjid terdekat. Beruntungnya, hanya beberapa ratus meter dari sini, terdapat sebuah Islamic Center yang besar, tempat umat Islam setempat sering berkumpul. “Kita maghrib di sini aja, ya, Nak,” kataku sambil mengarahkan langkah ke pintu masjid.

Nampaknya masjid ini cukup aktif, terlihat dari banyaknya orang yang sudah bersiap untuk shalat berjamaah. Ketika kami masuk, suasana tenang langsung menyelimuti, rasa damai menyebar di seluruh ruangan. Kami segera mengambil wudhu dan bersiap di saf terdepan. Di sela-sela waktu menunggu adzan, aku memperhatikan jamaah lain—beberapa wajahnya asing, dengan berbagai latar belakang, tapi semuanya bersatu dalam niat yang sama.

Di akhir shalat Maghrib, seorang pria yang duduk di sebelahku menyapa dengan senyum hangat. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pengurus masjid, sekaligus pimpinan PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) cabang Amerika Serikat. "Nama saya Pak Rahman," katanya, memperkenalkan diri. Aku terkejut, tak menyangka bertemu dengan seseorang yang ternyata memimpin organisasi Islam di Amerika. Kami pun berbincang sebentar setelah shalat, saling bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing di negeri orang.

Orang-orang yang datang ke masjid ini ternyata bukan hanya dari latar belakang warga lokal. Aku bertemu dengan beberapa brothers dari negara-negara Timur Tengah, bahkan ada juga dari Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tengah hingga Afrika. Mereka tampak sangat bersahabat dan ramah. Tidak ketinggalan, ada beberapa bule yang baru saja menjadi mualaf, wajah mereka tampak penuh dengan semangat baru dalam mempelajari Islam. Aku merasa sangat terharu melihat perkembangan Islam di sini.

Nyata bahwa di Amerika, Islam tumbuh dengan wajah yang lebih damai, lebih dikenali sebagai agama yang membawa kebaikan dan bukan ancaman seperti yang sering dipropagandakan oleh segelintir orang di media. Tentu, ini adalah perubahan yang sangat menggembirakan. Pak Rahman bercerita, dalam tiga dekade terakhir, ia telah menyaksikan transformasi besar dalam bagaimana masyarakat Barat memandang Islam. Mereka mulai memahami Islam yang sebenarnya, jauh dari stereotip negatif.

Enak rasanya mendengar cerita tentang Islam di Amerika. Ini membuatku semakin bersyukur atas kesempatan bertemu dengan komunitas Muslim yang kuat dan berkembang. Pak Rahman juga bercerita bagaimana selama 30 tahun ia tinggal di Amerika, setelah menyelesaikan pendidikannya di Al Azhar, Mesir. "Dulu, saya sekolah di Mualimin Muhammadiyah di Jogja sebelum melanjutkan studi ke Mesir," katanya mengenang masa mudanya. Kisahnya penuh inspirasi dan membuatku kagum akan dedikasinya dalam menyebarkan ajaran Islam.

Selain menjadi pimpinan PCIM, Pak Rahman juga aktif memberikan ceramah dan pendampingan kepada para mualaf di berbagai kota besar di Amerika. “Islam di sini memang masih minoritas, tapi banyak orang yang tertarik karena melihat kedamaian dan keadilan yang diajarkan Islam,” tambahnya. Ia juga mengatakan bahwa mualaf-mualaf bule itu sering kali datang dengan pertanyaan mendalam tentang kehidupan dan agama, dan Islam memberikan jawaban yang mereka cari.

Ingatanku melayang pada perjalanan kami sendiri selama tinggal di Amerika. Aku pun menceritakan kepada Pak Rahman bahwa aku sudah empat bulan tinggal di sini, bukan untuk menetap, tetapi untuk menjalankan tugas dari perusahaan. "Saya dipercaya untuk membantu mengembangkan bagian Operations, mulai dari fulfilment, warehousing, sampai last mile delivery," jelasku. "Tapi, kami belum meluncurkan produk secara komersial. Insya Allah dua bulan lagi produk kami akan siap diluncurkan," lanjutku.

Aku merasa senang bisa berbagi cerita dengan komunitas Muslim di sini. Meskipun kami berada jauh dari tanah air, kebersamaan dengan sesama Muslim membuat jarak terasa lebih dekat. Di sela-sela perbincangan, Adika yang awalnya terlihat lelah mulai menunjukkan rasa ingin tahunya dengan bertanya kepada beberapa anak kecil yang juga sedang berada di masjid. Mereka pun mulai bermain di sekitar halaman masjid, berlari-lari kecil sambil tertawa.

Interaksi dengan komunitas Muslim di Amerika ini memberikan pengalaman berharga bagiku. Aku belajar banyak dari cerita Pak Rahman dan jamaah lainnya tentang betapa pentingnya menjaga identitas Muslim di negeri orang. Selain itu, aku juga merasa lebih termotivasi untuk menjalankan tugas pekerjaanku dengan sebaik-baiknya, sembari tetap menjaga prinsip-prinsip Islam dalam setiap langkah yang kuambil.

Setelah obrolan yang cukup panjang, kami pun berpisah. Pak Rahman menyarankan agar aku ikut aktif dalam kegiatan masjid ini, terutama dalam mendukung perkembangan dakwah Islam di Amerika. "Kita butuh lebih banyak orang yang siap memimpin dan berbagi ilmu di sini," katanya. Aku mengangguk setuju, meskipun aku tahu waktuku di sini terbatas karena tanggung jawab pekerjaan. Tapi, aku berjanji akan mencoba terlibat lebih banyak selama aku masih di Amerika.

Malam semakin larut saat kami berjalan pulang ke apartemen. Di jalan, aku masih memikirkan perbincangan tadi. Ternyata, Islam di Amerika berkembang jauh lebih baik daripada yang kubayangkan sebelumnya. Banyak yang mulai memahami nilai-nilai Islam dengan cara yang lebih positif dan damai. Rasanya, aku mendapatkan kekuatan baru untuk terus menjalani hari-hari di sini dengan optimisme yang tinggi.

Yang menjadi sorotan bagiku adalah betapa masyarakat Muslim di Amerika tetap menjaga keimanan mereka dengan penuh semangat, meski mereka jauh dari pusat-pusat peradaban Islam. Hal ini mengajarkan aku untuk tidak pernah melupakan nilai-nilai agama di manapun berada, apalagi ketika berada di lingkungan yang mungkin tidak selalu mendukung.

Cahaya lampu dari apartemen terlihat dari kejauhan, dan Adika mulai tampak lelah setelah berlarian di halaman masjid. Aku tersenyum melihatnya, bersyukur karena meskipun kami jauh dari rumah, ada tempat-tempat seperti Islamic Center ini yang memberikan rasa kedamaian dan kenyamanan bagi kami.

Orang-orang di sini tampaknya cukup terbuka terhadap Islam, bahkan beberapa yang bukan Muslim pun sering datang ke Islamic Center untuk bertanya-tanya. Ini salah satu bukti bahwa Islam bisa diterima di mana saja jika disampaikan dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Aku merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari komunitas ini, meskipun hanya sementara.

Untuk beberapa saat, aku membiarkan pikiran mengalir, mengenang masa-masa awal aku tiba di Amerika. Semua tampak asing saat itu, tapi kini perlahan semuanya mulai terasa lebih akrab. Aku semakin yakin bahwa di mana pun aku berada, Islam selalu bisa menjadi pegangan yang menuntun langkahku ke arah yang benar.

Nikmatnya memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan komunitas Muslim yang kuat di Amerika ini membuatku merasa lebih bersyukur. Meskipun tantangan selalu ada, aku melihat betapa pentingnya peran setiap individu Muslim dalam menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat yang mungkin belum sepenuhnya mengenal Islam.

Tantangan yang kuhadapi di Amerika mungkin tidak hanya terkait pekerjaan, tetapi juga bagaimana aku bisa mempertahankan identitasku sebagai seorang Muslim. Ini bukan hal yang mudah, tapi dengan dukungan dari komunitas di sini, aku merasa lebih kuat dan percaya diri untuk terus melangkah.

Rasanya, aku mendapatkan banyak pelajaran dari pengalaman maghrib kali ini di masjid. Bukan hanya tentang spiritualitas, tetapi juga tentang bagaimana berinteraksi dengan komunitas baru dan menjaga prinsip-prinsip Islam di lingkungan yang berbeda. Aku pun berharap, perjalanan ini akan membawa berkah bagi masa depan keluargaku.

Yang pasti, pertemuan dengan Pak Rahman dan komunitas Muslim lainnya telah mengajarkanku untuk selalu berpegang teguh pada keimanan, apapun yang terjadi. Aku pulang dengan hati yang lebih tenang, siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan semangat baru.